Zaman Siti Nurbaya

885 Words
Cora merutuk jam weker yang entah mengapa hari ini tidak berbunyi. Dengan terburu-buru ia bersiap. Kehadiran lelaki itu mencuri kantuk, memaksanya terus terjaga. Kata-kata lelaki itu terus terngiang di benaknya. Bagaimana mungkin ada kilat kerinduan di sepasang mata lelaki itu, jika mereka hanyalah dua orang asing yang baru mengenal? “Cora, Sayang. Kamu udah bangun?” pertanyaan disertai ketukan itu menarik Cora kembali ke alam nyata, “Kita sarapan dan harus cepat-cepat mempersiapkanmu.” Cora terkejut dan menghentikan langkah menuju kamar mandi. Ia mematung, mencoba mencerna kata-kata ibunya. Dirinya tidak boleh salah mengartikan setiap kata yang keluar dari mulut ibunya itu jika tak ingin malapetaka terjadi. Cora membuka pintu dan mendapati wajah ibunya yang tengah tersenyum manis. “Bersiap-siap? Kita mau kemana, Ma? Jangan macam-macam, Ma. Hari ini Cora ada rapat penting.” Cora sadar ada yang tidak beres dengan ibunya dan ia tahu bahwa ibunya merencanakan sesuatu yang sudah pasti tidak akan disukainya. “Mama udah nelpon Nita sekertarismu dan bilang kalau kamu nggak kerja hari ini.” Cora mengerutkan kening, memicingkan mata, dan menatap ibunya curiga. Pasti perjodohan lainnya! “Nggak bisa,” Cora terlihat gusar, “Mama pasti merencanakan sesuatu. Aku mohon hentikan rencana jahat Mama itu.” Cora menyatukan kedua tangan dan meletakkannya di hadapan wajah. Tatapannya memelas, namun Charista tersenyum licik. Ia berjalan mendekati puterinya yang masih terlihat bingung. “Tenang, Cora. Mama nggak mungkin menjerumuskanmu. Mama selalu memberikan yang terbaik untukmu. Cepat ganti baju dan dandan yang cantik. Banyak yang harus kita persiapkan hari ini.” “Tapi, Ma ….” Cora membalikkan tubuh dan memandang ibunya memelas. “Mama akan menceritakannya saat kita sarapan nanti.” Cora tidak ingin terus berdebat karna tahu tidak bisa menang melawan ibunya. Tidak ada kata penolakkan yang bisa diterima Charista. Umur Charista yang sudah mencapai kepala lima itu tidak menghilangkan sifat kekanak-kanakan dan egoisnya. Cora sempat bertanya-tanya apakah ayahnya mencintai ibunya? Ia sebagai anak saja selalu merasa kesal menghadapi sikap ibunya. Memang di dalam rumah tangga seorang istrilah yang menjadi bosnya, itulah yang selalu dipikir olehnya. Namun tidak bagi Sang ayah. Ayahnya selalu berkata; Cinta bukan sekedar mencari kesempurnaan, namun mengharuskan kita menerima kekurangan pasangan. Kita membutuhkan seseorang yang mencintai dengan tulus  untuk menyempurnakan. Begitu pun dengan pernikahan, nggak selalu manis dan bahagia, tapi dengan adanya cinta maka semuanya akan baik-baik saja. Perkataan yang selama ini membuat tanya menguasai benaknya. Masih adakah cinta seperti itu? z z z Cora berlari kecil menuruni anak tangga. Langkahnya terhenti saat mendengar suara yang begitu familiar. Ia mengendap dan mematung di tempatnya berdiri saat melihat sosok itu. Seakan malamnya yang sudah dihancurkan oleh lelaki itu tidak cukup untuk menyiksanya. Kini, lelaki itu kembali hadir. “Cora, Sayang. Kok, malah bengong di situ? Sini duduk.” Charista tersenyum dan melirik kursi di sampingnya, meminta Cora segera duduk. “Ada apa ini? Mama berhutang penjelasan padaku.” ketus Cora, ia menaikkan sebelah alis, memandang tidak suka lelaki yang duduk di depannya. “Kamu kok galak gitu, Sayang? Ini loh … Nak Tony berkunjung kemari untuk lebih kenal sama keluarga kita.” Charista tersenyum bahagia, namun Cora tak menyukai senyuman penuh kelicikan itu. Cora memijat-mijat pelipis. Pantas saja hatinya merasa tidak enak pagi ini. bunya benar-benar wanita berbahaya yang sangat suka memanipulasi orang disekeliling. “Pagi-pagi buta datang ke rumah orang, emang nggak ada kerjaan ya?” tanya Cora sarkastis. Charista menendang kaki Cora yang berada di balik meja, membuatnya meringis dan mengeluarkan raut wajah kesakitan. “Maafkan aku, Cora. Mungkin ibumu belum cerita kalau hari ini aku datang untuk memintamu  sebagai istriku.” Tony tersenyum manis sekali dan senyuman itu berhasil membuat Cora membeku. “Karna aku adalah seorang yatim piatu dan hanya memiliki Om James, jadi dia yang akan mewakili orang tuaku. Kenalkan, Om James Stapphord.” James mengulurkan tangan pada Cora. Pria paruh baya yang terlihat sangat tampan diusia senjanya itu tersenyum. Walaupun terkejut dengan apa yang dikatakan Tony, ia tetap menyambut tangan James dengan hangat.  Cora menatap Tony kesal, sedang lelaki itu terlihat tenang. Sayangnya, Cora tidak mempercayai wajah tenang lelaki itu untuk yang kedua kalinya. Ia juga tidak akan tertipu dengan semua muslihat ibunya. “Maafkan aku … apa kamu sakit? atau kamu adalah lelaki yang nggak waras? Gimana bisa kamu meminta orang yang baru kamu temui beberapa kali untuk menjadi istri?” “Bukannya, kamu bilang kalau pernikahan hanyalah ikatan untuk mengikat pasangan? Aku kira, kamu bukan wanita yang mengharapkan cinta dalam sebuah pernikahan,” ujar Tony. Mereka saling berpandangan dalam hening, terlihat jelas amarah yang begitu besar di mata Cora, tetapi Tony tidak peduli, ia memberikan senyuman terbaiknya untuk wanita itu. “Sudahlah, Cora. Bukankah ini baik bagimu karena akhirnya ada lelaki yang ingin menikahimu.” Charista mencairkan keheningan di meja makan itu dan menatap tajam ke arah putrinya. “Jangan terlalu memaksa Cora, Ma. Dia berhak memilih pasangan hidupnya.” Charley, ayah Cora, berkata lembut dan menggenggam erat lengan istrinya. Terlihat jelas kekecewaan di wajah kedua orangtuanya, membuat Cora merasa bersalah atas sikapnya. “Maafkan Mama, Nak Tony. Mama mau bicara berdua sama Cora.” Cora melirik Tony dan tersenyum sinis. Ada perasaan menggelitik di hatinya saat mendengar ibunya yang sudah terlihat akrab dengan lelaki itu, hingga memanggil dirinya dengan sebutan ‘mama’. Charista menarik tangan Cora dan membawanya masuk ke dalam kamar tamu yang terletak di lantai satu rumah. Charista duduk di tepi tempat tidur kamar tamu, menepuk bagian kosong di sampingnya dan meminta Cora melakukan hal yang sama. Cora menurut dan menarik napas panjang, lalu menghelanya. Saat merasa sudah cukup tenang, ia mulai mengutarakan semua kegundahan hatinya. “Apa maksud semua ini, Ma? Sekarang bukan zamannya Siti Nurbaya.” Cora menahan amarah yang membalut hati, “Aku nggak kenal sama dia. Gimana kami bisa menikah?” bibir Cora bergetar. Sungguh tak habis pikir jika ibunya bisa setega itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD