Bagai Sandiwara

963 Words
Cora berjalan menuruni anak tangga rumahnya, sudah dua hari ini ia tidak masuk bekerja, hal yang selama ini tidak pernah ia lakukan. Baginya tidak ada hari tanpa bekerja, pekerjaan adalah nyawanya, ia merasa ada yang kurang jika sehari saja ia tidak pergi bekerja. Tetapi saat ini ia tidak memiliki semangat untuk bekerja, semua akal sehatnya telah dihancurkan oleh lelaki berwajah dua itu, lelaki itu membuat hari-harinya yang terasa begitu damai terasa bagaikan neraka. “Sayang Mama kok bangunnya siang banget.” Charista memeluk pundak putrinya dan menuntun putrinya itu ke ruang makan mereka. “Cora cuti, Ma … lagi pengen males-malesan di rumah.” “Yang bener sayang? tumben kamu mau males-malesan?” Charista menautkan kedua alisnya, kata-kata yang selama ini tidak pernah didengarnya keluar dari mulut putrinya itu membuatnya merasa heran. “Kamu mau bantuin Mama ngurusin acara pernikahan kamu nanti ya?” Charista melanjutkan perkataannya, ia tersenyum lebar menatap anaknya yang terlihat tidak suka dengan pertanyaannya itu. “Nggak, Mama sayang … aku nggak berminat untuk ngurusin acara yang nggak penting itu, Cora mau mandi dulu ya, Cora mau jalan-jalan.” Cora mendengus kesal, nafsu makannya hilang begitu ibunya mengatakan soal pernikahannya, kenyataan yang selama ini selalu dihindari olehnya. “Jangan gitu, sayang … kita makan dulu ya, temani Mama sarapan.” Charista menarik lengan Cora dan meminta Cora untuk duduk pada bangku kosong yang berada di balik meja makan mereka, Charista duduk di sebelah Cora dan tersenyum manis kepada putrinya itu. “Papa udah berangkat, Ma?” Cora mencairkan keheningan di antara mereka, ibunya tidak pernah makan dalam suasana hening, tetapi entah mengapa saat ini ibunya menyantap makanannya dalam keheningan, membuatnya merasa sedikit heran saat melihat ibunya itu bisa terlihat begitu senyap. Sesekali ia melihat tatapan bersalah di mata ibunya itu dan  tatapan mata ibunya itu membuatnya sedih. “Sudah … Papa ada kerjaan, Sayang.” Charista tersenyum tipis dan mengalihkan pandangannya pada sepiring nasi goreng yang berada di depannya. “Sebenarnya Mama mau kasih tahu kamu, kalau hari ini kamu foto pre-wedding dengan Tony.” Charista melanjutkan perkataannya dengan setengah berbisik. Cora membulatkan kedua matanya saat mendengarkan perkataan ibunya itu, ia mengacak rambutnya dengan frustasi. “Apaan sih, Ma! Ngapain harus pake foto-fotoan, nggak perlu foto, Ma. Pokoknya Cora cuma mau hadir di altar dan di resepsi, Cora nggak mau pake acara foto-fotoan begitu.” Cora mendengus kesal, ia menyendokkan nasi goreng ke dalam mulutnya. Ia frustasi, sangat sangat frustasi, ia tidak ingin dan tidak berminat sedikit pun untuk berfoto dengan lelaki seperti Tony. “Cuma foto kok, Sayang … selesai foto kamu bisa langsung pulang, tadi Mama itu niatnya mau minta izin dari kantor kamu, ehh … tau-taunya kamu sendiri sudah ambil cuti, kebetulan banget kan, sayang.” Charista tersenyum polos dan menatap putrinya dengan tatapan yang berbinar-binar. Cora menarik napas panjang dan menghelanya, kalau sudah seperti ini ia tidak mungkin bisa menolak keinginan ibunya itu. z z z Menit demi menit telah berlalu, Cora sudah menyiapkan dirinya untuk menunggu calon suaminya itu datang menjemputnya.Sedari tadi hatinya berdebar dengan kencang, ia tidak tahu bagaimana harus berhadapan dengan lelaki yang telah menghancurkan hidupnya itu. Tidak lama menunggu  lelaki yang di tunggunya itu telah tiba di rumahnya dan tengah berbicara santai dengan ibunya. Ia kesal saat melihat lelaki tampan itu berbicara akrab dengan ibunya sendiri. “Kita pergi sekarang sayang.” Tony menarik lengan Cora untuk berdiri di sebelahnya, ia tersenyum manis kepada wanita itu. ‘Dasar sok manis,’ gumam Cora di dalam hatinya. “Ma … kita pergi dulu ya.” Tony berpamitan kepada ibu Cora dan mencium kedua pipi calon mertuanya itu. “Iya hati-hati ya Nak,  jangan nakal ya, Cora sayang.” Charista mengedipkan sebelah matanya kepada Cora. “Apaan sih, Ma!” Cora berkata dengan ketus. Jika ia tahu hari ini adalah hari pemotretan, ia akan lebih memilih untuk menghabiskan waktunya dengan bekerja di kantor. z z z “Outdoor atau indoor?” Cora melayangkan sebuah pertanyaan pada Tony setelah keduanya sudah duduk di dalam mobil lelaki itu. “Maksud kamu apa?” Tony menaikkan sebelah alisnya dan menatap Cora dengan tatapan bingung. “Ganteng-ganteng kok lemot, pemotretannya!” Cora berkata dengan sarkastis. Ia ingin kebersamaan mereka ini segera berakhir, ia akan menjadi gila jika mereka berada dalam keadaan ini lebih lama lagi. “Di sebuah studio foto, aku nggak mau ribet dan aku cukup sibuk. Foto itu juga hanya sebagai formalitas.” Tony berkata dengan datar, ia menyalakan mobilnya dan mulai fokus pada jalanan di hadapannya. “Kalau nggak mau ribet ngapain harus pake acara foto-foto? dasar aneh.” Cora bergumam dengan pelan, gumaman yang dapat di dengar Tony dengan jelas. “Biar ada kenang-kenangan, kan sudah aku bilang itu hanya formalitas.” Mereka berdua kembali larut dalam keheningan di sekitar mereka, tidak ada satu pun dari mereka yang ingin membuka mulut mereka saat ini. Cora menatap ke luar jendela, memperhatikan kendaraan yang tengah berada di jalanan itu, entah mengapa kendaraan di luar sana lebih terlihat menarik dibandingkan lelaki yang duduk di sebelahnya. Ia tidak tahu mengapa lelaki di sebelahnya itu bisa terlihat hangat dan dingin secara bersamaan. Jika saja saat ini ia bisa memilih, ia akan memilih untuk tidak pernah bertemu dengan lelaki yang membuat hidupnya yang damai dan tenang itu berubah drastis. Hati dan pikirannya sangat kacau saat ia berada di dekat lelaki itu dan ia tidak suka dengan perasaannya yang berubah-ubah saat bersama dengan lelaki itu. Mereka tiba di sebuah studio foto yang telihat mewah dan besar. Tony turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Cora, Cora mengucapkan terima kasih dan keluar dari mobil Tony. Tony menggenggam tangan Cora dan mengajaknya masuk ke dalam studio foto itu. Cora menatap sekelilingnya. Studio foto yang lebih terlihat seperti sebuah kastil klasik itu terlihat mewah pada bagian dalamnya, nuansa kastil yang didominan dengan warna broken white itu membuatnya terpukau, ia menatap kagum ke sekelilingnya.Begitu banyak foto-foto yang menghiasi setiap dinding studio itu. Ada juga beberapa bingkai kosong yang ikut menghiasi dinding studio itu, bingkai dengan ukiran yang indah pada bagian tepinya itu sengaja dibiarkan kosong dan menjadi hiasan yang tampak cantik pada dinding berwarna broken white itu. Membuat dinding itu terlihat menarik dan lebih berwarna dengan aneka ragam warna dari bingkai foto yang menghiasinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD