Edwin menggerutu, sangat kesal aktivitas 'menyenangkan' bersama Firza --pacarnya-- berakhir gagal total akibat kedatangan Nayla yang tiba-tiba. Prediksinya meleset, ia berpikir gadis berjilbab itu akan datang lebih lama lagi, sebab belum cukup satu jam ia mengirimkan soal-soal itu. Kenyataannya, Nayla sangat cepat menyelesaikannya.
Usai mengantarkan Firza, Edwin bergegas pulang ke rumahnya. Ia melangkah masuk dengan malas-- seperti biasa.
"Pulang lambat lagi, Ed?" Mommy Keisya menyambutnya dengan pandangan menyelidik.
Edwin hanya mengibaskan tangan abai, lalu beranjak naik ke kamarnya di lantai dua.
"Ed, bisa nggak kamu dengerin, Mommy?" Edwin berjengit kaget, tidak menyadari ibunya mengekor di belakang.
Mereka masuk kamar beriringan. Edwin membuang tasnya asal, lalu membanting diri di kasur tanpa melepas seragamnya.
"Bersihkan diri dulu, ganti baju. Ubah kebiasaan burukmu itu, Ed," tegur sang ibu sambil mendudukkan b****g di sisi ranjang.
"Mom, aku capek, mau istirahat." Edwin tidak peduli. Ugh, kenapa Mommy begitu menyebalkan mengikuti sampai ke kamar?
"Mommy cepat-cepat pulang dari Singapura, karena kepala sekolahmu menelepon, mengeluhkan sikapmu lagi, Ed." Keisya menghela napas kesal melihat Edwin masih bergeming, bahkan menutup kepalanya dengan bantal.
"Ed!" bentak Keisya sambil menarik bantal dari kepala putranya.
"Huh!" desah Edwin dengan wajah berlipat-lipat. "Mommy kalo cuma ke sini buat ngomongin itu, mending keluar aja, deh. Nggak guna, nggak ngaruh buat aku."
"Edwin!"
Edwin bangkit dengan malas, menatap tajam ibunya. "Sejak kapan Mommy peduli sama aku?! Yang penting aku bawa nilai bagus pas ujian nanti, lulus dengan nilai tinggi, selebihnya nggak usah campuri kehidupan pribadi aku."
"Setiap orang berhak menentukan sendiri hidupnya, aku punya kehidupanku sendiri yang bikin aku semangat menjalani hari. Selama aku nggak minta macam-macam, nggak usah banyak ngatur-ngatur aku." Edwin berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Aku juga nggak pernah protes saat Mommy harus berbulan-bulan ninggalin aku ngurusin bisnis."
Keisya terdiam demi mendengar penuturan Edwin yang sarkastik. Sebuah kenyataan yang tak bisa ia elakkan. Bisnis adalah impiannya, napasnya sejak dulu, butuh usaha keras untuk bisa meraih dan mengembangkannya hingga seperti sekarang. Tapi ia juga tidak menelantarkan Edwin, menyayangi sepenuh jiwanya. Memberikan pendidikan terbaik, mendatangkan guru privat terbaik, dan segala fasilitas hidup yang semuanya terbaik. Lantas, apa yang salah?
"Mommy sudah melakukan yang terbaik untukmu, Edwin. Mommy cuma minta pengertian kamu, hargai cara Mommy memperlakukan kamu. Dengan kamu melakukan semua kekacauan itu, sama saja, artinya itu bentuk protes kamu ke Mommy."
Edwin tidak mau mendengar apa pun lagi dari ibunya. Ia kembali menutupkan bantal --kali ini dua bantal-- ke atas kepalanya.
Keisya dengan wajah kesal akhirnya meninggalkan kamar putranya, menutup pintunya dengan pelan. Selalu seperti itu. Percakapan dengan Edwin tidak pernah berlangsung baik sejak anak itu masuk usia sekolah dasar.
Sepeninggal sang ibu, Edwin menurunkan bantal yang menindih kepalanya. Menghela napas kasar, lalu bangkit membuka tasnya, memeriksa pekerjaan Nayla tadi. Dan bola matanya membulat saat mendapati lima nomor berikutnya belum dikerjakan.
"Pantesan cepet banget kau kerjakan soal itu, ternyata masih ada sisa. Awas aja besok, habislah kau!" Edwin menyeringai memandang lembar jawaban di atas meja.
***
Pagi-pagi sekali Edwin sudah berada di depan perpustakaan, menunggu seseorang dengan gelisah. Berkali-kali ia melihat jam di tangannya, tinggal tiga puluh menit lagi waktunya mengumpulkan tugas.
Dan ketika melihat gadis berkerudung sepinggang berjalan dengan riang memasuki gerbang sekolah, ia bernapas lega. Dari kejauhan pun gadis itu terlihat begitu anggun, meski tertutup ia tetap bisa menebak jika bentuk tubuhnya langsing, juga tubuhnya yang tinggi membuatnya semakin menarik. Apa yang kau pikirkan, Edwin?! Enyahlah kau! makinya dalam hati.
Nayla tampak melempar pandang padanya, lalu menghentikan langkahnya sejenak. Sesaat kemudian dia mengambil jalan lain memutar, yang tentu saja lebih jauh jaraknya menuju ruang kelasnya.
Menyadari orang yang ditunggu-tunggu tidak berjalan ke arahnya lagi, Edwin segera berjalan cepat menyusulnya.
"Mau ke mana, hem? Mau hindarin aku?" Dengan mudah Edwin sudah mensejajarkan langkahnya dan mencekal lengan Nayla membut gadis itu terhenti.
Nayla tidak menatapnya, membuang pandangan ke arah lain membuatnya semakin kesal. Pesonanya sebagai cowok paling tampan di SMA Bina Karya seolah terabaikan begitu saja.
Sejujurnya Nayla sangat ilfeel melihat sosok Edwin. Kejadian kemarin sore di gedung olahraga tidak bisa ia hapus begitu saja dari memori otaknya. Takut, ngeri, jijik, bercampur menjadi satu, membuat hormon-hormon di tubuhnya mengirim perintah untuk menjauhinya, sejauh-jauhnya. Bila perlu jangan pernah bertemu lagi. Biarlah foto itu tersebar, ia akan membuat klarifikasi.
Dan pagi ini, saat baru saja menginjakkan kaki di depan sekolah, cowok itu sudah muncul di depan hidungnya. Tentu saja hal yang harus ia lakukan adalah... menghindar.
"Kau sengaja cari gara-gara sama aku? Aku sudah bilang kemarin, kerjakan soal-soal itu semuanya. Kenapa kau sisakan lima nomor, hah?" Bentakan Edwin menyadarkan lamunannya.
"Tolong lepaskan. Aku tidak punya waktu untuk bicara sama kamu," ucap Nayla datar.
"Kau pikir cuma kau yang tidak punya waktu? Sekarang kerjakan sisa soalnya, itu sangat penting buat aku, waktunya tinggal dua puluh lima menit lagi!"
"Sorry." Nayla kembali melanjutkan langkahnya, lupa jika lengannya masih dicekal cowok di sampingnya itu.
Tanpa berkata-kata lagi, Edwin menarik Nayla ke lorong sempit pemisah ruang Bimbingan Konseling dengan ruang Unit Kesehatan Sekolah. Lalu memblokir lorong sempit itu dengan tubuhnya, tangannya bertumpu pada sebelah dinding, sementara tangan lainnya masih mencekal lengan gadis itu. Secara refleks, Nayla segera menutup wajah dengan sebelah tangannya yang bebas sambil menunduk dalam-dalam.
"Kenapa, takut?" Edwin menarik sebelah sudut bibirnya tinggi-tinggi. "Aku udah pernah bilang, kan? Setiap orang yang pernah berurusan denganku nggak akan bisa lepas dengan mudah. Kerjakan soalnya sekarang juga, atau kejadian di belakang sekolah akan terulang lagi. Atau... kau mau kayak di gedung olahraga kemarin sore?"
Spontan Nayla melepaskan sebelah tangan dari wajahnya, lalu...
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Edwin meninggalkan bekas merah. Edwin segera mengusap pipinya yang terasa panas.
"Jaga mulutmu! Kalo kamu tau tugas itu sangat penting, harusnya belajar dan selesaikan sendiri. Apa kamu selalu merepotkan orang lain begitu dari dulu? Jangan hanya karena kamu liat aku murid baru dan lemah, seenaknya saja memperlakukan aku. Aku tidak selemah yang kamu pikirkan. Minggir!" tegas Nayla, ia sudah teramat kesal.
Nayla menerobos tubuh Edwin hingga bisa keluar dari lorong itu. Ia tidak peduli sebelah dadanya terasa sakit akibat membentur lengan Edwin. Ia berjalan cepat, takut cowok itu kembali mengejarnya.
Sementara Edwin masih terdiam di tempatnya. Jujur saja, barusan itu... sesuatu yang empuk mengenai lengan kirinya, ia tahu apa itu. Dan tentu saja membuatnya semakin penasaran. Bagi cowok player sepertinya, semakin cewek itu membuat penasaran, akan semakin menyenangkan untuk diperjuangkan.
"s****n!" umpatnya sambil berlalu meninggalkan lorong.
Ia segera menemui teman-temannya di kelas yang sudah menunggunya.
"Gimana? Udah selesai?" tanya Edwin. Ia menarik kursinya, lalu duduk dengan santai. Balin dan Dava segera mengerubunginya dengan wajah penasaran.
"Belum," jawab Balin sembari menghempaskan diri di kursi.
"Matilah kau!" ujar Dava sambil tertawa terbahak-bahak.
Edwin mengeluarkan kertas-kertas jawaban yang ditulis Nayla kemarin. Oh my God, lihatlah, bahkan anak berandal itu tidak menyalinnya sama sekali. Balin dan Dava spontan memelotot melihat tulisan rapi berisi jawaban soal-soal itu.
"Gila, kau dapat dari mana? Nggak mungkin kau yang kerjakan, ini bukan tulisanmu!" seru Dava menyambar kertas-kertas itu.
"Mau apa enggak?! Kalo nggak aku mau antar sekarang jawabannya!" sergah Edwin dengan gaya seperti pahlawan.
"Iya, iya! Tega banget sama teman sendiri!" Dava segera mengeluarkan kertas dan bolpoin dari dalam tasnya, lalu dengan penuh khidmat menulis ulang jawaban itu. Demikian juga dengan Balin mengikuti jejak Dava.
"Yaelah! Masih ada lima nomor belum dikerja! Percuma ditulis tapi nggak selesai juga," celetuk Balin menepuk jidatnya.
"Yang penting ada yang dikerja. Kuylah, kumpul! Dari pada nggak sama sekali." Edwin sudah berjalan lebih dulu.
Dengan setengah berlari Balin dan Dava menyusulnya, mereka berjalan cepat menuju ruangan matematika dengan kertas-kertas jawaban yang isinya sama persis di tangan mereka.
Bersambung...
Maafkeun lambat update... Maklum masih suasana lebaran hehehe...
Selamat hari raya Idul Adha 1442 H bagi yang merayakan...
Sebagai gantinya, aku up dua bab hari ini...