Pemilik Pesona

1313 Words
Kini Nayla sudah memiliki tempat nongkrong paling menyenangkan di sekolah barunya, di dalam masjid dan sekretariat Rohis. Ia disambut dengan baik dan langsung akrab dengan para pengurusnya. Ya, di sanalah dunianya. Berkutat dengan kegiatan keislaman, ceramah agama, belajar tajwid, perpustakaan islami, dan lain sebagainya. Sudah dua pekan bersekolah di sana, hari terasa amat cepat berlalu, sebab sosok Edwin yang menyebalkan tidak tampak batang hidungnya, terakhir kali ia bertemu dengannya saat membawakan sarapan pagi waktu itu. Entah kemana cowok berandal itu pergi, Nayla bersyukur dan berharap Edwin tidak pernah muncul lagi. "Kamu rajin banget di sekret, jarang-jarang ada pengurus yang mau berlama-lama di sini. Masuk aja jadi pengurus, Nay, mau?" Zahrani, koordinator kemuslimahan menyapa. Nayla menoleh, lalu tersenyum pada gadis manis berjilbab seperut itu. "Makasih, Kak. Aku masih baru di sini, belum terlalu paham berorganisasi. Cuma senang aja di sini nyaman, nggak bercampur baur dengan lawan jenis." Nayla menyimpan buku yang dibacanya ke tempat semula, menghargai percakapan dengan wanita berkharisma itu. "Nggak apa-apa, nanti reshuffle pengurus pertengahan semester aku masukin nama kamu, supaya kamu sekalian belajar jadi pengurus," ucap Zahrani yakin. "Makasih banyak, Kak." Nayla mengangguk senang, ia tidak menyangka akan secepat itu diterima di lingkungan anak-anak elite. Zahrani beranjak menuju sebuah jendela kecil di sudut sekretariat, lalu mengetuk perlahan. "Assalamu'alaikum, 'afwan (maaf)! Apakah ada pengurus ikhwan?" tanya Zahrani dengan suara sedikit keras. Nayla memperhatikan, mempelajari tata cara komunikasi yang unik itu. "Wa'alaikumsalam, iya ada." Tidak lama kemudian terdengar jawaban dari ruangan sebelah. "Untuk kelas tajwid muslimah, banyak peserta baru yang mendaftar, tapi di akhwat kekurangan pengajar. Apakah ketua akan merekrut pengajar dari luar?" "Baik, nanti saya pertimbangkan dulu," tukas Rasya dengan lembut. Suara yang seolah mampu menenangkan hati ribuan wanita dalam satu waktu. Nayla merasa tertarik dengan percakapan ketua Rohis dan koordinator kemuslimahan itu. Ia yang belum mengetahui tata cara berkomunikasi antar pengurus, langsung menyela pembicaraan mereka. "Mmm, maaf, mungkin aku bisa bantu. Aku sudah biasa ngajar ngaji sejak SMP," selanya. "Oya? Siapa itu?" Rasya menyahut. "Nayla, siswi baru dari kelas X-IPA-2," jawab Zahrani. "Coba saya dengarkan bacaan Al-Qur'an-nya," pinta Rasya. Nayla memindahkan posisi duduknya mendekati Zahrani, lalu meraih mushaf Al-Qur'an kecil dari dalam tasnya. Zahrani turut mengambil mushaf dari dalam tasnya. "Baca surat Al-Fatihah," perintah Rasya. Nayla berdehem sejenak. Lalu mulai fokus menatap tulisan-tulisan kecil di dalam mushaf. "A'udzubillahiminasyaithaanirrajiim, Bismillahirrahmanirrahim." Nayla memulai bacaannya dengan fasih dan suara yang sangat merdu. Bahkan Zahrani terkesima mendengarkan bacaannya. "Alhamdulillahirabbil 'aalamiin. Arrahmaanirrahiim. Maalikiyaumiddiin." Nayla melanjutkan hingga akhir surat Al-Fatihah. Mereka semua terdiam menyimak penuh penghayatan. Bacaan Nayla sangat sempurna dengan hukum-hukum tajwidnya dan nada yang sangat nyaman di telinga. "Bagus." Rasya menilai. "Punya hafalan Al-Qur'an?" "Iya, punya," jawab Nayla mantap. Bukan mau menyombongkan diri, tapi ia merasa senang jika bisa berbagi. "Berapa juz?" "Mmm. Apakah perlu diketahui juga?" Nayla ragu. "Ya. Seorang pengajar tajwid setidaknya memiliki satu juz hafalan Al-Qur'an," tukas Rasya. "Enam juz," jawabnya lirih. "Enam juz, Nay?" Zahrani melotot, ia berdecak kagum pada gadis di sebelahnya itu. Nayla hanya tersipu sambil meremas mushaf kecilnya. Akhirnya mereka sepakat mengangkat Nayla menjadi salah satu pengajar tajwid untuk muslimah. Setelah memberikan jadwal waktunya yang bisa digunakan untuk mengajar tajwid, mereka akhirnya kembali pada kesibukan masing-masing. *** Nayla baru saja selesai mengikuti mata pelajaran terakhir ketika ponselnya berdering. Ia buru-buru mengacak isi tasnya mencari ponsel akibat telah tertimbun di bawah barang-barang dalam tas. Ugh, mungkin saja pak Abidin sudah menunggunya di depan sekolah. "Ah, ketemu!" ujarnya lega menemukan benda pipih yang masih terus berdering, lalu cepat-cepat mengamati layarnya bersiap untuk mengangkat telepon. Tapi wajahnya seketika berubah mengkerut saat melihat nama yang tertera di layar adalah Monster EBK (Edwin Bina Karya). Ia terus menatapnya tanpa berniat mengangkat, setelah panggilan berhenti, ia bernapas lega. Tapi sesaat kemudian Edwin kembali memanggil. "Hemh!" Ia menghela napas kasar. "Halo," jawabnya. Terdengar suara tawa dari seberang, juga beberapa suara lain. "Kamu anak IPA, kan? Kerjakan tugas-tugas yang aku kirim ini. Aku tunggu di gedung olahraga sore ini juga!" "Astaghfirullah!" Nayla mengelus d**a mendengar perintah dadakan itu. Kenapa ada anak semenyebalkan itu, sih? Nayla menggerutu. Lalu membuka ponselnya, sudah masuk sebuah chat dari Edwin, ia segera mengunduhnya. Soal : 1. Seorang penjual komputer telah merakit komputer dengan biaya selama seminggu sebesar Rp 37.500.000,-. Hasil rakitannya selama seminggu dipasarkan dan terjual dengan sisa 3 unit. Jika hasil penjualan komputer adalah Rp 36.000.000,- dengan keuntungan tiap komputer Rp 500.000,-, tentukan berapa jumlah komputer yang dirakit selama seminggu? Nayla menatap soal itu sejenak, lalu geleng-geleng kepala. "Ini anak malas apa nggak ngerti, sih? Bikin aja perumpamaan jumlah komputer yang dirakit itu adalah x, nanti juga ketemu hasilnya!" Ia bersungut kesal, meski begitu ia tetap mengerjakannya. Hanya dalam waktu kurang dari tiga menit Nayla sudah berhasil menyelesaikan soal itu. Tidak lama kemudian, masuk pesan-pesan beruntun lainnya berisi soal-soal hingga lima nomor. Bola matanya seketika membulat membaca soal-soal itu. "Awas aja kamu nyuruh aku ngerjain soal-soal yang lain!" ancamnya sambil menunjuk-nunjuk ke arah ponsel. Dengan cekatan ia mengerjakan lima nomor soal itu tanpa hambatan. Ketika bersiap melipat kertas jawaban, ponselnya kembali berbunyi, masuk chat baru berisi lima soal lainnya. Ia semakin kesal, jam sudah mendekati waktu ashar, ia harus bersiap untuk shalat, lalu pulang. Pak Abidin sudah terlalu lama menunggunya. Ia menutup ponselnya, tidak menghiraukan lima soal lagi yang belum ia kerjakan. Ia menghubungi sopir pribadinya agar menunggu sebentar, selesai shalat ia akan segera menuju ke mobil. Di kelas tinggal ia seorang diri, semua teman-temannya sudah pulang sejak usai mata pelajaran terakhir. Nayla beranjak meninggalkan kelas menuju ke masjid sekolah. Ia tersenyum melihat papan nama masjid bertuliskan, Masjid Al Fata, lalu dibawahnya tulisan semboyan "The next intelectual moeslem" terpampang dengan warna biru tua, tampak begitu kokoh penuh percaya diri di antara bangunan sekolah yang sangat dinamis itu. Ia memeriksa sekret, sudah terkunci, berarti pengurusnya sudah pulang semua. Terpaksa ia membawa serta tasnya ke dalam kamar mandi, tidak berani meninggalkannya di dalam masjid dalam keadaan kosong. Usai shalat, Nayla bergegas mengemasi alat shalatnya, lalu keluar dari masjid. Ketika berjalan meninggalkan area akhwat dan berbelok ke jalan utama, bertepatan dengan Rasya juga berbelok di sana. Mereka terhenti, bertatap sejenak. Ada sebuah desiran aneh yang tiba-tiba melintas di hati kala melihat pemuda tampan dan shalih itu berdiri tepat di hadapannya. "Maaf." Ucapan mereka keluar bersamaan. Nayla cepat-cepat berjalan lebih dulu meninggalkan Rasya yang masih berdiri mematung. *** Gedung olahraga juga sudah sunyi ketika Nayla tiba di sana. Ia melangkah masuk. Bahkan langkah kakinya terdengar menggaung sangat jelas di dalam gedung sangat besar itu. "Mana si Monster itu?" gumamnya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling gedung. Ia melangkah ke sisi-sisi gedung, mencari jejak Edwin di antara kursi-kursi yang berserakan. "Sshhh." Terdengar suara desisan yang samar-samar di telinganya. Nayla menajamkan pendengaran. Apakah Edwin ada di ruangan itu? Ia melangkah mendekati sebuah ruangan yang diprediksi menjadi sumber suara samar-samar itu. Semakin dekat, suara desis itu semakin jelas. Desis aneh yang membuat bulu kuduknya meremang. Apakah itu manusia atau... Brak! Ia membuka pintu dengan keras, sekaligus bersiap merapalkan doa-doa jika ternyata itu bukan manusia. "AAAAAAA!!!" Ia rekfeks berteriak sangat keras plus menutup wajah dengan lembaran kertas yang digunakan untuk mengerjakan tugas tadi. Karena ternyata apa yang dilihatnya lebih mengerikan dari hantu. Edwin dan seorang siswi spontan menoleh dengan terkejut begitu pintu terbuka dan berdiri sosok Nayla di depan pintu. Gadis itu cepat-cepat menaikkan kembali seragamnya yang sudah melorot memperlihatkan area d**a yang menantang dengan Edwin berada di atasnya. "Kamu tidak bisa mengetuk dulu?!" salak Edwin dengan geram. "Ya Allah, kamu suruh aku ngerjain soal-soal itu dan kamu...!" Nayla tidak melanjutkan ucapannya, tidak sanggup lagi bertahan di tempat yang sangat menakutkan itu. "Ambil ini!" serunya. Dengan gusar melemparkan kertas berisi tugas matematika tadi. Nayla dengan tergesa berlari meninggalkan dua remaja yang berbuat sangat memalukan itu. Tubuhnya gemetar hebat mengingat pemandangan itu. Sepanjang perjalanan ia terus ber-istighfar agar pikirannya tidak mengembara ke mana-mana. Bersambung... Hai... Semoga suka dan terhibur... Jangan lupa klik LOVE dan FOLLOW akun aku baut yang belum...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD