Nayla berlari dengan tergesa menuju gerbang belakang sekolah di mana Edwin memintanya membawakan sarapan. Sepanjang perjalanan ia terus berpikir dan bertanya-tanya tentang apa yang dilakukannya saat itu, kenapa ia harus menuruti keinginan cowok berandal itu? Memangnya kenapa kalau dia menolak?
Nayla menghentikan langkah, mengatur napas agar tidak terlihat tersengal-sengal. Tidak lama lagi ia sampai di gerbang belakang. Dari tempatnya berdiri ia sudah melihat Edwin bersama dua orang temannya sedang duduk-duduk sambil memegang sesuatu, entah apa itu, hanya saja mengepulkan asap yang membubung tinggi ke udara.
Setelah jarak cukup dekat, barulah ia menyadari bahwa mereka sedang merokok!
"Astaghfirullah! Kenapa mereka merokok di sekolah?" Nayla tertegun di tempatnya, ragu untuk mendatangi ketiga cowok di dekat gerbang itu.
"Hei, kau sudah datang! Mana pesananku?!" seru Edwin.
Nayla berjalan mendekat, memperhatikan satu per satu siswa-siswa yang sedang merokok itu.
"Ini," ucap Nayla menyodorkan satu kotak sandwich yang ia bawa dari rumah.
"Tolong jangan suruh-suruh aku lagi," ucap Nayla.
Mendengar ucapan itu, Edwin membulatkan bola matanya, lalu tertawa terbahak-bahak.
"Kau siswa baru, kan? Semua siswa baru di sini harus merasakan diksar (pendidikan dasar) dari kami dulu sebagai bintang sekolah," ucap Edwin dengan gaya yang dibuat-buat, ia menyapu rambutnya yang jatuh ke dahi hingga terangkat ke belakang.
"Kalo kamu nggak mau juga nggak apa-apa, tapi jangan salahkan aku kalo aku sebarkan foto ini." Edwin memperlihatkan layar ponselnya, tampak gambar Edwin sedang mencium Nayla yang diambil dari belakang sehingga terkesan bukan pemaksaan, seolah mereka melakukannya atas dasar suka sama suka.
Nayla melebarkan bola matanya melihat foto itu, lalu segera merampas ponsel itu dari tangan Edwin, tapi gerakan cowok itu jauh lebih gesit dari gerakannya, ponsel itu sudah kembali masuk ke dalam saku Edwin. Kini tinggal senyum jahil Edwin kembali menghiasi wajah tampannya.
"Ayo, ambil di dalam sini," tunjuk Edwin ke dalam saku bajunya sambil tertawa.
"Grrrrr!!!" Nayla menggeram kesal, lalu berbalik meninggalkan Edwin dan kawan-kawannya dengan langkah cepat. Ia sangat murka pada mereka bertiga.
Sepeninggal Nayla, Edwin dan teman-temannya tertawa terbahak-bahak, lalu kembali menyesap rokok masing-masing dan saling beradu mengepulkan asapnya di udara. Aktivitas yang sangat menyenangkan bagi anak-anak seusia mereka.
"Eh, berani sekali kau ganggu wanita shalihah, kena karma nanti kau!" seru Balin, teman Edwin dengan gaya paling berantakan, rambutnya jatuh hampir sampai di bahu.
"Ah berisik kau! Ayo makan! Lumayan kan kalo tiap hari begini." Edwin tidak menanggapi ucapan Balin, lebih memilih mengambil sepotong sandwich, mereka pun tertawa bersama lagi.
"Gimana si Yoga itu? Tidak keliatan batang hidungnya kemaren," ujar Dava, teman lainnya dengan rambut cepak, wajahnya juga lumayan tampan dibanding Balin.
"Paling juga kabur, awas aja berani muncul di depan aku, bakalan rontok tuh gigi!" tukas Edwin sembari memasukkan sandwich ke dalam mulutnya.
Mereka beranjak meninggalkan tempat persembunyian setelah mendengar bel tanda pelajaran pertama dimulai. Bagi mereka, tidak ada hal paling menyenangkan memasuki waktu sekolah selain berkumpul bersama teman-teman nonkrong. Sekolah bukan saja hanya menjadi tempat menimba ilmu, tapi lebih dari itu, menjadi tempat menghilangkan segala beban dan meluapkan eksistensinya sebagai pria yang baru beranjak dewasa.
***
Ketika waktu istirahat pertama tiba, Nayla, Chaca, dan dua orang teman lainnya hanya duduk-duduk di dalam kelas sambil mengobrol, sementara teman-teman lainnya pergi ke kantin untuk sarapan. Nayla membuka bekalnya untuk dinikmati bersama ketiga teman barunya itu.
"Enak, Nay! Kamu yang buat kah?" ucap Chaca, ia kembali mencomot sepotong sandwich setelah menghabiskan dua potong sebelumnya.
"Bukan, ummiku yang buat," jawab Nayla.
"Wah, hebat! Mama kamu pasti jago masak, rasanya beda sama yang biasa aku makan," ucap Chaca lagi. Nayla hanya tersenyum, masakan ummi Ningsih memang yang paling enak di dunia, batinnya.
Perhatian mereka teralihkan ke tengah lapangan, dimana terdapat tiga orang siswa sedang dihukum oleh guru piket. Tiga siswa itu berlari-lari mengelilingi lapangan, sambil sesekali dimarahi oleh sang guru.
Nayla sangat penasaran melihat mereka, apalagi ketiga siswa itu adalah Edwin dan dua temannya yang ia temui pagi tadi di tembok belakang sekolah.
"Mereka kenapa?" tanya Nayla, ia juga heran kenapa teman-temannya hanya santai saja melihat pemandangan itu.
"Biasa, Nay. Mereka bertiga emang langganan dihukum. Kalo ada si Yoga, dia juga salah satunya. Mereka itu siswa-siswa yang sering buat onar ato melanggar tata tertib," jawab Gisa.
"Ada ya siswa begitu?" Nayla berdecak keheranan. "Kenapa nggak dikeluarkan aja?"
Mereka bertiga serentak mengangkat bahu. "Paling juga karena orang tua mereka donatur tetap di sekolah ini."
"Udahlah, abaikan saja mereka. Yang penting kamu jangan sampai bermasalah dengan anak-anak berandal itu, bisa berabe urusannya," ujar Jenny sambil menyeka mulutnya dengan tisu. Jenny siswi paling stylish dan modis di kelas mereka, barang-barang miliknya menunjukkan brand yang sedang tranding.
"Paling juga ketahuan bawa rokok atau video bokep." Chaca menukas sambil tertawa.
Nayla hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar ucapan teman-temannya. Ia semakin illfeel pada Edwin. Masalahnya adalah sekarang ia sudah berada dalam perangkap anak berandal itu.
Di antara ketiga teman baru Nayla itu, Gisa paling pendiam, tapi otaknya lumayan lancar dibanding Chaca dan Jenny. Sementara Chaca paling moderat di antara Gisa dan Jenny, dari segi penampilan dan gaya dia biasa saja, dari segi otak juga biasa saja. Sepertinya mereka bertiga saling melengkapi satu sama lain sehingga cocok menjadi teman dekat.
Jam pelajaran berikutnya adalah pelajaran matematika, tetapi gurunya tidak masuk. Anak-anak kelas IPA-2 bersorak gembira karena bisa bersantai dan bersenang-senang di dalam kelas. Mereka segera duduk berkelompok-kelompok untuk merumpi bersama teman satu gengnya. Termasuk Chaca, Gisa, dan Jenny.
Nayla memanfaatkan waktu itu untuk mengantar formulir keanggotaan Rohis yang belum sempat ia serahkan kemarin. Ia keluar kelas dan menuju masjid yang letaknya cukup jauh dari kelasnya.
Sekretariat pengurus Rohis bersebelahan dengan bangunan masjid sekolah. Ia mengamati sekeliling, bangunannya besar dan bagus dengan cat dinding berwarna soft green. Pintu dan jendela-jendelanya yang berwarna deep green itu terbuka, menandakan di dalam ruangan ada penghuninya.
"Assalamualaikum," salam Nayla.
"Wa'alaikumsalam," jawab sebuah suara pria dari dalam. "Silakan masuk."
Nayla masuk ke dalam.
Ternyata di dalam ruangan itu terdapat meja tinggi dan panjang, persis seperti lobi. Nayla mendekati meja itu dengan menunduk, sebab ia memasuki kawasan yang bernuansa agamis, tentu harus menerapkan pengetahuan agama yang sudah melekat dalam dirinya.
"Saya mengantar formulir keanggotaan Rohis," ucap Nayla, lalu meletakkan berkasnya di atas meja.
"Oh, baik," jawab pria itu, lalu mengambil berkas yang diserahkan Nayla.
"Ruangan akhwat (wanita) ada di bagian belakang, kamu bisa masuk lewat lorong di sebelah gedung ini," ujar pria itu menginformasikan.
Oh, jadi ada pintu masuk khusus untuk wanita? Bagus, jadi dia tidak perlu selalu bertemu dengan pengurus ikhwan (laki-laki).
"Bo...."
"Nan...."
Mereka bersamaan membuka suara, lalu terdiam bersama juga.
Hal itu membuat Nayla mendongak karena mulai merasa canggung, saat itulah ia melihat siapa pria di balik meja tinggi itu. Dia adalah pria yang ditabraknya di depan perpustakaan kemarin!
Rupanya pria itu juga memperhatikannya, pandangan mereka bertemu beberapa saat.
Nayla cepat-cepat kembali menunduk, tidak ingin menikmati wajah tampan di depan matanya itu. Dalam hati ia merutuk, kenapa selalu bertemu dengan cowok tampan di sekolah baru itu.
"Kamu pindahan?" tanya pria itu sambil membaca formulir yang diserahkan Nayka.
"Iya," jawab Nayka singkat.
"Baik. Aku Rasya, ketua Rohis di sekolah ini. Jika ada yang perlu dibantu silakan informasikan saja, atau bisa juga menemui pengurus akhwat di gedung belakang," ucap Rasya dengan nada tegas berwibawa.
"Terima kasih. Saya permisi dulu." Nayla berpamitan, lalu keluar dari sekretariat itu.
Ketika sudah berada di luar ruangan, ia memperhatikan lorong yang disebutkan Rasya tadi.
"Nanti kapan-kapan aku pasti ke sana," gumam Nayla sambil tersenyum. Ia bakal punya tempat untuk bersembunyi nantinya.
Bersambung...
Halo sahabat Nayla...
Jangan lupa tekan love dan follow akun aku ya, dan tinggalkan komentar tiap babnya
I love you all...
Big hug for you...
You are my biggest inspiration!
Ikuti sss dan Ig aku untuk menikmati karya-karyaku yang lain...
Fb & Ig : @winafaathimah