Bab XIII

1128 Words
Musik di stel kencang, suara tawa bersahutan dan suara dentingan botol yang saling beradu terdengar di ruangan besar bekas lumbung tak terpakai. Lokasinya yang jauh dari mana - mana membuat yang ada di sana tak khawatir akan mengganggu orang lain yang sedang merajut mimpi di bawah buaian sinar rembulan. Tapi meskipun ada yang mendengar pun mereka tak ambil pusing. Itu salah telinga mereka saja yang sok mendengar musik dan suara mereka. Sebagian dari mereka sudah teler karena miras dan sebagian lagi karena mariyuana. Sebagian besar dari mereka yang butuh dorongan nyali, sudah dalam kondisi teler seperti itu saat mereka berangkat untuk beraksi. Lalu di lanjutkan lagi dengan pesta miras setelahnya, Hanya satu orang di sana yang tak minum dari awal datang. Tetap sadar saat beraksi. Sedari tadi dia hanya membawa botol teh yang baru habis separuhnya saja. Dia adalah Farhan. Dia tetap ikut berpesta. Lebih lega dari sebelum - sebelum untuk tetap tinggal karena sudah mengantongi ijin Ibunya. Walaupun bohong. Tapi Ibunya kan nggak tau kalau dia bohong. Yang penting di beri ijin buat keluar rumah dan buat nggak pulang malam ini. Tadi sore dia sudah menyogok temannya yang bernama Hamdan kalau - kalau ibunya bertanya tentang tugas kelompok mereka. "Lho cah gemblung! Ape lapo kowe? Goroh karo mbok e (mau apa kamu? Bohong sama ibumu)." Kata Hamdan siang tadi saat dia tiba - tiba merangkul bahunya dan mengajaknya ke belakang sekolah. "Wis tah manut (udah nurut aja), Arep ora PR mu tak garapke seminggu? (Mau nggak PR mu seminggu aku yang ngerjain?" Farhan bertanya. Dia tahu semua kelemahan teman - temannya. Dia tipe anak yang tak banyak bicara, tapi mata dan memorinya aktif mengamati sekitar. Itu membuat dia hafal kebiasaan dan hal - hal yang tidak sengaja dibocorkan temannya saat mengobrol sambil lalu. Contohnya si Hamdan ini. Farhan tau Hamdan nyaris dapat kartu kuning dari wali kelas mereka karen sering tak mengumpul tugas. Padahal mereka sebentar ujian akhir semester kenaikan kelas. Ibunya Hamdan galak, jadi kalau tak naik kelas mungkin Hamdan akan dipondokkan di jawa timur sana biar jauh dari keluarga. Biar kapok, terus lama - lama jadi bisa mandiri. Menurut Hamdan yang sudah mendapatkan bisikan setan dari para tetangganya yang sesat, mondok berarti dibuang oleh orang tuanya. Dan dia tak mau itu terjadi tentu saja. Farhan anak yang pintar. Dia bisa mendapatkan ranking berapa saja asal dia mau, meskipun biasanya hanya mempertahankan rangkingnya di rangking tiga agar tak perlu membeli buku atau peralatan sekolah lainnya. Tawaran seperti ini tentu saja seperti angin segar bagi dirinya yang sedang terlunta lunta di gurun keputusasaan. "Tapi nanti kalau ketahuan gimana?" Tanyanya khawatir. "Ojo kuatir, tho. nyoh (jangan khawatir, nih)." Farhan memberikan secarik kertas pada Hamdan. "Opo iki? (Ini apa?)" "Kepek'an nek ibukku telpon. Wis ah, luwe aku, meh madhang selak jam istirahat e entek (contekan kalau ibuku telpon. Udah, ah. lapar aku, mau makan dulu sebelum jam istirahat habis)." Begitulah ceritanya kira - kira bagaimana Farhan bisa lolos dari kurungan Ibunya malam ini. Selain senang karena bisa berkumpul bersama teman - teman sefrekwensi, dia juga sedang bersemangat karena aksinya lagi - lagi berakhir dengan sukses. Meskipun tadi agak sedikit lebih lama dari perkiraan waktu yang ditentukan saat briefing sebelum beraksi, tapi akhitnya berakhir dengan mulus. Malah, dia sedikit senang karena korban melawan juga, tak pasrah seperti korbannya yang pertama. Ternyata saat korban melawan, rasanya jadi berkali - kali lipat lebih membakar semangat. Rasanya, sampai saat ini, tiga jam berlalu sejak kejadian tadi, Farhan masih merasa segar dan bugar, tak lemas sama sekali. Mungkin seperti ini lah seharusnya perasaan para pekerja setelah minum minuman penambah stamina agar lebih giat bekerja. Semua di sana berpesta, tanpa tahu nasib apa yang akan menunggu mereka esok hari. *** Karena gelisah, dia tak bisa tidur di rumah malam ini. Bolak balik memiringkan tubuhnya bergantian ke kiri dan ke kanan di atas kasur. Barus ekitar lepas tengah malam dia akhinya terlelap. untuk dibangunkan kembali sekitar jam empat pagi. Tepat sebelum adzan subuh, ponselnya bergetar membuatnya langsung terbangun dan langsung siaga meskipun sebelah matanya masih merem dan separuh nyawanya belum kembali ke tubuhnya. "Aditama." Jawabnya dengan suara serak, menempelkan ponsel pipih tersebut ke telinganya. Dia bahkan tak tahu siapa yang menelponnya dini hari begini. Dia mengucek matanya sambil menungggu siapa pun yang menelponnya di seberang sana menjawab. "Selamat pagi Iptu Aditama. Saya Rudi, melapor bahwa salah satu anggota dewan dinas pariwisata Jogja yang semalam mengawal Pak Menteri saat ini berada di rumah sakit dengan kondisi cukup serius karena menjadi korban Klitih di daerah Potorono." Matanya langsung terbuka lebar dan posisinya langsung duduk tegak. "laporan lengkapnya." "Sudah ditangani. Korban berada di rumah sakit Hidayatullah Jogja." "Saya segera ke lokasi. Terima kasih infonya, Rudi." "Siap, Iptu!" Telpon tertutup bersamaan dengan adzan subuh yang berkumanadang, membuatnya beristighfar beberapa kali untuk menenangkan detak jantungnya yang melaju dengan kencang. Setiap kali kasus klitih terjadi, rasanya seperti dirinya yang kembali menjadi korban. Perasaan melecos yang sama saat menerima beritanya, rasa panik dan harap - harap cemas sementara melaju menuju TKP atau tempat korban, dan kemarahan yang sama terhadap para pelaku. Semuanya masih sama. Tak pernah berubah meskipun sudah belasan tahun berlalu. Bukan dia tak mau sembuh, tapi dengan menghadapi ini berkali - kali, dia berharap bisa sedikit kebal, sehingga dia bisa melanjutkan kehidupannya lagi. Itulah sebabnya dia selalu menolak mutasi ke divisi lain. Divisi kriminal tindak pidana memang bukan divisi elit seperti penjinak bom atau reserse. Tapi dia bangga dengan posisinya saat ini. Dia bangun dari tempat tidurnya dan beranjak ke kamar mandi untuk menggosok gigi, mencuci muka dan sekalian berwudlu untuk melaksanakan ibadah subuh. Selain kewajiban, dia juga memerlukan waktu sebentar berbincang dengan penciptanya sejenak di pagi buta begini untuk meminta ketenangam dan ketabahan sebelum menangani sesuatu yang paling dibenci dan ditakutinya. Setelah semua selesai, dia segera berganti dengan baju dinas, lalu bergegas mematikan semua lampu yang masih menyala di rumahnya karena pagi segera menjelang dan keluar dari rumah. Dia berhenti saat melewati meja kecil di lorong koridor kamarnya menuju ke ruang tamu. Di sana ada box dan sticky note. Dia meraih sticky note tersebut dan bolpen lalu menulis sesuatu di atasnya. Setelahnya, dia mengeluarkan dompetnya dan menaruh beberapa lembar uang pecahan lima puluh ribu di kotak tersebut, menutupnya dan menempel stick note yang berisi tulisannya tadi di atas tutup kotak tersebut. Setelah semua yakin beres, dia keluar dari rumah, menutup pintu dan segera melaju menuju TKP yang sudah di share oleh Rudy melalui salahs atu aplikasi chat di ponselnya, Dia merasa sedikit tenang karena setidaknya, satu kewajibannya sudah terlaksana. 'Jo, aku berangkat pagi. Tolong kalau kamu beberes rumah, kamar sekalian diberesin. Baju kotor sudah di cuci. Tolong di setrikakan, ya. Ini uang jajan buat kamu kalau lapar, soalnya di rumah nggak ada makanan. Jangan protes, kalau protes besok aku tambahin dua kali lipat. Yang rajin ya, Jo. Sehat selalu. Adit.'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD