Bab XIV

1101 Words
Aditama sampai di tempat kejadian. Di sana sudah banyak berkumpul massa yang berasal dari masyarakat setempat dan orang - orang yang kebetulan lewat di sana. Hal ini tentu tak bagus, Ini menghambat penyeterilan TKP dan membuat beberapa jejak yang seharusnya bisa menjadi barang bukti dan petunjuk yang kuat menghilang. Apalagi kondisinya, saat ini baru selesai hujan. Harus cepat - cepat kalau tak mau bukti dan petunjuknya raib tersapu air hujan. Beberapa petugas berusaha menghalau dan memperingatkan agar tak berkerumun terlalu dekat, Tapi, masyarakat Indonesia bagian mana yang gampang dibilangi? Semua ngeyel dan ngotot, dan malah ada yang adu mulut dengan petugas. Riuhnya suasana membuat kepalanya berdenyut sakit, Jika saja tak ada larangan, pasti dia sudah mencabut pistolnya dan menembakkannya ke udara untuk membuat mereka semua diam. Tapi itu melanggar peraturan. Dia bisa ditegur dan bahkan dicopot dari jabatannya gara - gara hal sepele seperti tak bisa mengendalikan emosi. "Iptu." Beberapa petugas yang sudah berada di sana memberi hormat saat dia datang. Dia juga memberi hormat kepada atasan yang sudah lebih dulu berada di sana. Karena yang menjadi korban bukan orang sembarangan, petinggi - petinggi ini juga harus turun tangan untuk mengawal bahkan ikut menangani. "Dit." Atasannya menyapa balik. Wajahnya terlihat gusar. "Anak - anak ngawur. Mereka salah sasaran." Desahnya dengan suara berat yang tak menyembunyikan kekesalannya. Meskipun Aditama tak sepenuhnya setuju karena menurutnya setiap korban klitih adalah mereka yang tak beruntung karena kengawuran bocah tak bertanggung jawab, tapi dia juga paham maksud atasannya itu kali ini. "Beban kita berat, Dit." Tambahnya lagi. "Kita harus berhasil mengusut kasus ini sampai tuntas. jika tidak, kita akan dianggap tak becus menjaga keamanan kota Jogja." Ya, dampaknya akan besar sekali jika kali ini mereka gagal mengusut kasus ini. Karena korbannya bukan sembarang orang, maka perkembangan kasus ini akan banyak yang memperhatikan. Dan itu menambah beban mereka. Salah seorang kepala penyidik yang bekerja sama dengannya datang mendekat, menarik perhatian mereka semua. Wajahnya kuyu dan matanya merah. Wajah - wajah tak tidur sepanjang malam ditambah kesal dan capek. "Pak." Sapanya. "Gimana Pak Toro?" "Hujan, Pak. Sebelum kita datang udah banyak yang lewat juga pas korban di larikan ke rumah sakit. Nggak banyak yang tersisa." Kesahnya. "Sudah selesai ini, Pak. Kami lagi nunggu mobil datang buat bawa mobil ini ke kantor buat diperiksa lebih lanjut." Jawab Pak Toro. Atasannya mengangguk dan menepuk bahu mereka berdua. "Saya berharap banyak pada kalian dalam kasus ini. Kalau ada apa - apa, lekas hubungi saya. Karena sudah tak ada yang kita lakukan di sini, setelah mobil di bawa, segera bubarkan. Aneh - aneh saja warga ini. Banyak darah sampai bau amis begini kok malah pada lihatin. Nanti saya atur pers konference dengan divisi komunikasi. Siapkan apa yang harus kita beberkan pada publik dan apa yang tidak. Saya pamit pulang dulu." "Siap, Pak!" Atasannya masuk kembali ke dalam mobil, dan perlahan mobil alphad hitam itu meluncur mulus meninggalkan TKP. Setelah mobil mewah berwarna hitam itu tak lagi terlihat, Adit berbalik menatap Pak Toro. "Ya sudah, Pak. Di sini sudah selesai. Saya mau langsung ke rumah sakit ya. Mau ngecek di sana sudah ada yang mengumpulkan info dari korban belum." "Nggih, Pak. Monggo (Silakan)." *** Rumah sakit di Jogja tetap saja ramai di hari selasa. Banyak yang riwa riwi. baik berobat maupun pasien yang wajahnya berbinar senang karena sudah diperbolehkan pulang. Aditama ingat, di kota asalnya, yang berada di Jawa Tengah, ada mitos dan kepercayaan untuk tidak keluar dari rumah sakit aat hari selasa. Dimulai dari hari senin ba'da ashar hingga hari ashar di hari selasa, tak ada pasien yang keluar dari rumah sakit. Mereka percaya jika mereka akan cepat kembali masuk rumah sakit lagi jika pulang keluar dari rumahs akit di hari selasa. Selain itu, jangan pula dijenguk pada hari tersebut. Kepercayaan di tempatnya bilang kalau kita menjenguk orang sakit di hari selasa maka si sakit akan cepat dipanggil Yang Maha Kuasa. Meskipun secara medis dan logika tak pernah terbukti dan tak ada hubungannya, tapi masih banyak yang mempercayai hal itu hingga sekarang. Kata mereka, lebih baik menghindari yang tak perlu, daripada kenapa - kenapa. Bukan mencoba untuk menduakan kuasa Tuhan, hanya saja, mereka berusaha untuk menghormati tradisi yang sudah ada. Sudah dua hari berlalu sejak kejadian Klitih terakhir yang menelan korban anggota dewan daerah. Beberapa bukti sudah berusaha dikumpulkan dan pemerikasaan terus berlanjut. Ada tiga korban, Supir yang terkena lemparan serta pecahan kaca mobil, seorang wanita yang penuh luka lebam, tapi tak ada luka sayatan karena benda tajam, istri dari anggota dewan yang dimaksud. Dan yang paling parah adalah si anggota dewan itu sendiri. Dia babak belur dipukuli dan disayat dengan dalam di punggungnya, hingga lebih seperti luka bacok. Dia dan orang - orangnya tak diperbolehkan untuk menemui mereka dan meminta kesaksian serta keterangan mereka secara langsung saat itu karena mereka bertiga masih shock. Sehingga mereka harus mau menunggu hingga diperbolehkan oleh tenaga kesehatan yang berwenang. Dan tadi dia diberi tahu bahwa pasien sudah siap untuk bertemu dengan petugas yang berwajib untuk ditanya - tanyai dan dimintai keterangan, Katakanlah dia terlalu terobsesi. Atau perfeksionis. Dia tak bisa mempercayakan hal ini pada anak buahnya. Dia ingin menjadi yang pertama mendengar tentang hal itu langsung dari pada korbannya, seperti saat kasus minggu lalu dan kasus - kasus sebelumnya jika tentang Klitih. Rasanya jika ada kasus seperti ini, jiwanya langsung berkobar penuh semangat membara untuk segera memberantas dan memusnahkannya. Dia sampai di salah satu kamar rawat kelas dua. Kata pihak rumah sakit, si istri tak mau dipisahkan dengan suaminya, jadi mereka di taruh di dalam satu kamar yang sama, sementara supirnya ditempatkan di kamar dengan kelas yang berbeda. Dia sudah membawa dua petugas dan satu orang penggambar sketsa untuk menemaninya hari ini. Sebelumnya, beberapa analisa dan pemeriksaan terkait kasus ini sudah dilakukan. Adanya jejak ban motor dan mobil memberitahu mereka bahwa rombongan tersebut menaiki kendaraan, bukan berkonvoi dengan jalan kaki ke lokasi terjadinya perkara. Meskipun tidak banyak membantu, tapi setidaknya itu memberi tahu mereka kalau kelompok tersebut tak berasal dari dekat - dekat sana. Sayangnya hanya itu saja yang mereka dapatkan. Jogja hampir semua jalannya beraspal, jadi jejak lumpur yang ditinggalkan oleh kendaraan mereka menghilang di atas aspal, tersapu hujan dan terinjak - injak oleh massa yang kepo yang berkumpul hanya untuk mencari tahu ada kejadian apa di sana. Dia sampai di kamar pasien yang dituju dan mengetuk pintunya sebanyak tiga kali sebelum menggesernya ke kanan agar terbuka. "Pak Aditama, akhirnya datang juga. Saya dan istri sudang menunggu kedatangan anda dan tim dari tadi. Biasakan On time ya, pak. Meskipun anggota dewan lain suka ngaret, tapi saya menjunjung tinggi ketepatan waktu, karena itu menunjukkan value kita sebagai manusia dan penghargaan kita terhadap manusia yang lain."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD