Bab XII

1589 Words
Di lain tempat, perasaan Aditama pun sedikit tak tenang sepanjang hari ini. Dia tugas pagi hari ini. Tapi dia sampai jam segini belum pulang. Padahal dia tak banyak pekerjaan. Hanya duduk saja berjaga sambil membaca ulang laporan - laporan kasus yang masuk di minggu ini. Selain kasus Klitih yang hampir seminggu ini berlalu, tak ada yang kasus yang istimewa. Hanya kasus - kasus kecil dan kasus klise penuh drama yang seharusnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan seperti sengketa tanah dan penculikan yang berujung pada ketidak puasan pada putusan hakim tentang hak asuh. Untuk beberapa polisi lain, kasus klitih seperti ini pun biasanya hanya dianggap kasus iseng sambil lalu saja. Bukan berarti rekan - rekan polisinya malas kerja, tapi karena ketidakjelasan tindakan hukum yang sebaiknya mereka ambil untuk menangani kasus ini. Tugas mereka adalah menegakkan hukum yang sudah berlaku, terlepas dari beberapa oknum polisi yang nakal, tapi masih banyak polisi baik di sini. Tapi, khususnya kasus klitih, apapun tindakan mereka selalu saja salah di mata masyarakat. Di tindak dan diadili, masyaralat protes karena banyak di antara pelaku Klitih adalah anak - anak di bawah umur. Dibiarkan saja, mereka juga protes karena meresahkan dan polisi dibilang tak bekerja, hanya makan uang rakyat saja. Bikin pusing! Tapi baginya, ini adalah kasus yang serius. Sama seriusnya dengan pembunuhan. Ya, kehilangan anak dan istrinya dalam kasus ini memang menjadi pemicunya. Beberapa temannya ada yang mengerti kerisauannya ini, tapi beberapa lainnya pun ada yang menganggap itu hanya obsesi gila. Sesuatu yang membuatnya jadi terus - terusan waspada dan pada akhirnya malah tak bisa menyikapi kasus - kasus yang ditanganinya dengan adil dan objektif. Itu pendapat mereka. Jika mereka tak mau mengerti dirinya, kenapa juga dia harus repot -repot mengerti mereka? "Pak Adit lembur? Ada kasus pelik?" Salah satu rekan polisinya dari devisi satlantas tampak terkejut karena menemukannya masih terduduk diam di kubikelnya pada jam segini. "Oh, Pak Jaiz. Tadi nunggu hujan reda aja, Pak. Taunya sampe malem begini." Kilahnya. Hujan memang turun sore tadi. Setelah panas yang gerah sepanjang hari membuat ubun - ubun panas sampai mendidih, akhirnya hujan deras turun juga menyiram Jogja. Mendinginkan udaranya dan menambah syahdu suasana Jogja yang selalu istimewa bagi para penduduknya. Operasi gabungannya hari ini ya, Pak?" Malam ini akan ada kunjungan dari Kementrian Pariwisata Pusat ke Jogja, Sehingga ada beberapa petugas lantas dan non lantas diturunkan ke jalan demi mengawal keamanan rombongan tersebut. Aditama bertanya sambil mengemasi barang - barangnya, bersiap untuk pulang. Lagipula, tak ada yang bisa dilakukannya di sini hari ini. Jadi, lebih baik dia pulang saja. Memberi tubuhnya waktu untuk benar - benar beristirahat setelah seminggu ini banyak hal yang datang padanya. Kasus Klitih baru hingga tiga kasus di wilayahnya bertepatan dengan hari kematian istri dan anaknya yang juga tewas karena klitih. dua hal yang saling berkaitan yang membuat emosinya naik turun. "Iya, Pak, Malam ini dateng. Besok sama lusa ngiring kegiatan langsung bablas bandara lagi buat pulang." "Wah, padat. Semoga lancar ya Pak, nggak ada kejadian apa pun." Aditama mendoakan dengan tulus. *** Tentu saja, doa yang naik ke langit tak selamanya mulus sampai pada malaikat pencatat doa. Nyatanya, doa Aditama malam itu agar operasi gabungan berjalan lancar terhalang karena rencana para pemuda yang menamakan diri mereka sebagai Moxy ini sudah amat matang dan tinggal menunggu eksekusi saja. Geng pemuda yang diketuai oleh pemuda bernama Rolis ini saat ini merupakan geng klitih terbesar di kota Jogja. Awalnya dia dan teman - temannya membentuk geng ini empat tahun lalu sebagai bentuk keisengan belaka. Motivasinya adalah agar dia bisa masuk ke dalam salah satu geng besar Jogja yang menguasai seluruh aspek dan pelosok Jogja mulai dari daerah, tata kota, politik bahkan preman dan polisi di Jogja. Siapa pun di Jogja tau dua genk ini. Saat mereka lewat, semuanya menunduk dan memberi jalan. Rolis ingin seperti itu. Kehormatan dan kekuasaan seperti itu. Itulah awal mula genk Moxy ini dibentuk. Dia merupakan salah satu dari empat punggawanya. Tapi ketika dia maju untuk menjadi anggota genk tersebut dia malah ditertawakan. "Kamu? Mau jadi anggota kita? Kamu dari mana?" Tanya salah seorang sesepuh genk. Konon katanya memang susah sekali menjadi salah satu anggota geng ini. Mereka tak semudah itu mengambil anggota. Tapi Rolis yang sudah merasa cukup berhasil memimpin genk Klitih SMA nya dan belum pernah sampai sekarang aksinya diendus oleh polisi. Dia merasa sudah sangat jago dan amat pantas masuk menjadi anggota. "Aku pemimpin kelompok klitih SMA XYZ, Mas." Jawabnya mantap dengan nada pongah. Tapi bukan respect yang dia dapatkan, dia malah ditertawai oleh semua yang anggota yang ada di sana. Hal itu membuat Rolis bingung dan sedikit tersinggung. "Woy, Dab! Reneo! (Sini, sini!) Hahahaha Iki ono cah klitih meh mlebu jadi anggota, Dab (ini ada anak klitih mau masuk jadi anggota kita, Dab!) Hahahaha." Salah seorang dari mereka yang tampak berwibawa dan tenang mendekat. Dari tadi orang ini sudah ada di sana. Hanya duduk menyendiri sambil merokok di pojokan ruangan. Rolis tak memperhatikan lebih jauh karena dia mengira saat itu bahwa orang ini mungkin hanya salah satu anggota kelompok yang dikucilkan. "Klitih?" "Ya, Mas." "Bangga kamu?" Jelas bangga! Karena tak melihat ada yang salah, dia langsung mengiyakan. Tapi jawaban orang yang baru bergabung tersebut begitu menohok harga diri Rolis sampai ke akar - akarnya. "Kita memang bukan kelompok yang cinta damai. Tapi, kita nggak pakai cara cemen kalau mau berduel. Kita di sini semua punya nyali. Kalo duel ya berangkat dengan tangan kosong. Bawa parang? Pedang? Hah! Cuma pengecut yang bernyali kerdil yang melakukan hal itu. Kamu belum masuk kriteria kita." Tak masuk kriteria, direndahkan sampai dibilang tak punya nyali, membuat Rolis meradang. Dengan membabi buta dia menjalankan banyak aksi Klitih sekaligus untuk membuktikan nyalinya. Aksi yang membuat mereka nyaris diringkus habis oleh polisi dan membuat tiga teman punggawanya mundur dari kelompok tersebut Tak masalah. Karena dia selalu menemukan bibit - bibit unggul yang bernyali besar. Farhan adalah salah satu yang terbaik yang pernah dia rekrut. Dia bisa menjadi salah satu eksekutor terbaik untuk semua aksi mereka. Salah satunya malam ini. "Han!" Farhan yang begitu datang langsung di briefing oleh orang - orang kepercayaannya, mendongak saat dia memanggil. "Yo, Mas! Pie? (Gimana?)" "Malam ini siap, kan?" Dia tersenyum puas saat melihat Farhan mengacungkan kedua jempolnya. Tak bernyali katanya, gerutu Rolis dalam hati. Lihat semua yang sudah dikumpulkannya sampai hari ini. Mereka tetap bersatu, dan masih aktif beraksi sampai sekarang. Apa yang membuat semua ini bertahan kalau bukan karena tekad dan nyali?! Mereka bersiap, seperti biasa, ada yang pakai motor butut dan sebagian yang tak memiliki motor seperti halnya Fathan, naik ke pick up brondol bersama peralatan mereka. Mereka berkonvoi menuju tempat aksi mereka. Kali ini di perbatasan kota. Kemarin mereka sudah beraksi di kota, maka kali ini, mereka akan beraksi di tempat yang sedikit sepi. Mereka sampai di jalan aspal yang dikelilingi oleh tumbuhan tebu dan jagung. Semuanya langsung turun, mengambil senjata dan bersiap di pos masing - masing. Sekarang Farhan paham, kenapa dia ditunjuk untuk beraksi tapi banyak juga selain dia yang memegang senjata. Hal itu untuk berjaga. Jika ternyata ada target susulan. Yaitu orang yang kebetulan melintas saat mereka sedang beraksi. Mereka tak masuk dalam list target, tapi mereka harus ikut dilumpuhkan. Sebuah mobil lewat setelah mereka menunggu selama beberapa saat. Kali ini berbeda dengan yang pertama dulu, mereka tak menyerang ban kendaraan untuk membuat target berhenti. Mereka akan melempar batu di kaca mobil. Beberapa orang termasuk Panji sudah bersiap di tempatnya dengan kedua tangan membawa batu berukuran besar. Mereka semua siaga, menunggu aba - aba. "Sekarang!" Rolis berseru. Panji dan rombongannya melempar batu hingga mengenai kaca depan. Mengaburkan pandangan si pengemudi. Tapi sepertinya pengemudi tau akan bahaya yang mereka dapat jika mereka nekad berhenti di tempat seperti ini, karenanya dia terus melaju. Tak kurang akal, mobil yang berjalan oleng tersebut dilempar tombak hingga mengenai bagian samping mobil, membuat tangki bahan bakar bocor dan berceceran ke mana - mana. Mobil terpaksa berhenti tak jauh dari sana. Semua langsung mengepung dan mengeluarkan target dari dalam mobil. Ada tiga orang ternyata di sana termasuk supir. Farhan menoleh saat ada yang menepuk pundaknya. Pemuda yang membimbing eksekusi pertamanya kemarin dulu. "Target dua." Katanya singkat yang langsung diangguki oleh Farhan. Dia sedikit lega karena tidak ada anak - anak di dalam mobil. Dia langsung menyergap pria paruh baya yang dilabeli sebagai target dua. Dan mengeluarkan belati andalannya. "Mau apa kamu?! Jangan macam - macam sama saya!" Bukan target yang mudah kali ini. Pria tersebut memberontak sehingga Farhan jadi sedikit kewalahan. Farhan tak punya skill beladiri yang mumpuni. Dia bisa menendang dan menunju, tapi tak pernah memiliki teknik khusus. Tangan targetnya berhasil meninju bagian samping helm yang dikenakannya malam ini. Entahlah, tak ada alasan yang jelas, tapi sebelum berangkat tadi, dia sempat meminta masker dan meminjam helm pada Rolis. Farhan terpukul mundur beberapa kali. Membuat aksinya tertunda. Hingga akhirnya ada dua orang temannya membantu memegangi pria itu dari depan, membuat pria targetnya tak bisa berkutik, menghadapkan punggungnya yang tidak terlindungi pada Farhan. Fathan ragu - ragu sejenak. Dia mengincar lengan bagian atas atau paha seperti kemarin, tapi dia tak bisa melukai lengan maupun paha orang tersebut karena kedua bagian tersebut bertautan dengan lengan dan kaki temannya. "Diem!" Salah satu temannya menempeleng kepala targetnya karena terlalu banyak memberontak. "Bro, cepetan! Capek kita!" Farhan menelan ludah dan mengencangkan pegangannya pada belatinya sebelum mengangkat dan menyabetkannya ke punggung targetnya. Target langsung jatuh berlutut ke tanah sementara mereka bertiga langsung berlari sambil tertawa - tawa menuju pick up brondol yang menunggu mereka untuk pergi dari sana. Tanpa mereka tahu siapa sebenarnya target mereka malam ini dan nasib seperti apa yang akan menunggu mereka setelah malam ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD