Bab VIII

1171 Words
Aditama berdiri depan kaca kamar tidur di rumahnya. Rumah tipe 54 yang dia beli dengan cara mencicil saat baru diangkat menjadi polisi dulu. Rumah ini baru saja lunas tuga tahun yang lalu. Rumah besar yang dia beli dengan harapan akan penuh tawa dan canda dari dia, istri dan anak - anaknya, kini hampir tak ada bedanya dengan kuburan. Sepi. Bahkan dia sendiri tak sering berada di rumah ini. Yang lebih sering di sini sebenarnya malah Pak Parjo, seorang tunarungu yang hobi bebersih dan sering dianggap tak waras oleh beberapa anak - ana kecil yang orang tuanya malas memberikan edukasi tentang perbedaan antara orang dengan gangguan jiwa dan orang tungarungu. Meneladani apa yang dilakukan oleh beberapa tetangganya, dia meminta Parjo untuk membersihkan rumahnya juga. Parjo memegang satu kunci cadangan dan dia sendiri memegang satu kunci lain. Setiap dua hari sekali pria berusia hampir enam puluh tahun yang masih bugar itu akan datang dengan sepeda gunungnya dan mulai membersihkan rumah orang - orang yang kuncinya dia pegang. Setelahnya dia baru mau jika di suruh merapikan pagar tanaman, membersihkan masjid dan musholla setempat dan lain - lain. Parjo bekerja tanpa gaji yang pasti. Kadang tak dibayar, hanya mendapatkan makan saja. Tai Aditama tak mau mengambil banyak keuntungan dari pria itu. Jadi kadang dia memberikan lima ratus hingga delapan ratus ribu meskipun pria itu akan menolak setiap kali dan akan marah - marah dengan gayanya yang khas. "Saya masih ingat wajah orag yang menglitih saya, Pak." Kalimat Pak Muhdi terus saja terngiang di kepalanya. Entah kenapa tak bisa enyah dari sana. Dia sudah meminta bawahannya untuk mengirim orang yang pandai membuat sketsa wajah ke rumah sakit. Seharusnya sore nanti, laporan tersebut akan sudah ada di mejanya. Dia mengusap wajahnya dengan telapak tangan, lalu beranjak dari tempatnya berdiri. Dia baru saja sholat ashar. Hal yang kembali dilakukannya setelah hampir dua tahun penuh dia berduka dalam karena kehilangan istri dan anaknya. Dia menyalahkan Tuhan bahkan menantangnya saat itu sehingga dia tak lagi melakukan kewajibannya sebagai seorang muslim yang taat. Perkataan Ibunyalah yang saat itu menamparnya keras. "Ibu tahu kamu sedih, kamu marah, tapi apa dengan nggak beribadah begini kamu jadi lebih tenang, Le? Coba pikirkan lagi, bukan Ibu mengecilkan arti istri dan anakmu, tapi dibandingkan dengan apa yang Gusti Pengeran kasih ke kamu, gedean mana? Seharusnya kamu masih bersyukur. Kamu masih sehat, masih bisa kerja, ketemu temen - temen, menikmati hidup. Artinya kamu masih diberi kesempatan buat nambah bekal. Apa mau kamu sia - siakan aja? Lalu kalau Ibu ini dipanggil pulang, ketemu sama Bapakmu, terus ditanya sama Malaikat, Ibu kudu jawab pie, Le? Ibu takut Bapak kecewa karena Ibu gagal didik kamu jadi orang yang baik, yang sholeh. Lalu apa kamu pikir istri dan anakmu di sana bahagia melihat kamu seperti ini? Sekecap doa untuk mereka pun kamu nggak pernah kirim. Ziarah ke makam mereka pun kamu tak pernah sempatkan. Mau kamu itu gimana? Seberapa kuat kamu sampai menantang Gusti Pengeran begini?" Kalimat yang diucapkan dengan mata basah dan bibir gemetaran itu yang akhirnya bisa menggerakkan hatinya untuk kembali ke jalan yang benar. Memang, kembali pada Sang Pencipta tak langsung membuat hati damai dan tenang tanpa masalah, tapi membuat kita jadi punya pegangan saat diterpa masalah. Seperti saat ini. Dia merasa, meskipun usahanya ini nanti tak berhasil, dia pasti akan menemukan cara lain untuk mengatasi kasus yang nyaris tak pernah berhenti terjadi ini. Dia sedang mengganti pakaian beribadahnya; sarrung, baju koko dan kopiah dengan baju rumahan saat ponselnya yang berada di atas tempat tidur berdering. Dia perlu beberapa waktu untuk menemukan benda pipih tersebut di antara selimut yang berantakan jam dan bantal - bantal yang berserakan. "Aditama." Jawabnya begitu benda pipih tersebut akhirnya ketemu dan menempel sempurna di telinganya. "Lapor, Pak! Sketsa yang bapak minta sudah ada di kantor. Bapak meminta untuk dihubungi segera setelah..." "Ya, saya tau. Taruh di meja saya. Sebentar lagi saya berangkat ke kantor." *** Farhan menatap jam dinding yang berdetak lemah di tembok rumahnya. Sudah jam sepuluh lewat, dan dia terancam tak bisa pergi ke mana - mana malam ini. Ibunya ternyata tak mengambil pekerjaan apa pun lagi setelah maghrib. Alhasil, dia akan selalu diawasi dan jadi tak bisa ke mana - mana. Sekedar untuk keluar ke rumah Panji untuk memberitahu pemuda itu bahwa dia tak bisa ikut saja tak bisa. Ibunya memang begitu, protektif terhadap Farhan. Padahal dia adalah anak laki - laki, tapi setelah malam tiba nyaris dia tak boleh ke mana - mana selain mengaji di musholla. Itu pun sekarang sudah tidak lagi karena dia sudah khatam Qiro'ati dan Al-qur'an. Jadi sekarang, setelah matahari terbenam dan adzan maghrib berkumandang, dia hanya bisa diam mengerjakan PR dan menemani penghuni rumah lain menontot TV. Dia juga sedikit tak bersemangat karena aksinya semalam tak sampai masuk berita di TV. Apa kurang sadis, ya? Tapi kalau sadis - sadis nanti mati, batinnya bertanya - tanya. Dia ingin bersenang - senang, bukan ingin membunuh orang. Jadi dia hanya mengincar bagian - bagian yang dia yakin tak akan menyakiti korbannya dengan serius dalam jangka waktu yang lama. Misalnya, paha, bagian belakang betis, dan lengan bagian atas. Sebisa mungkin dia menghindari persendian dan bagian - bagian vital yang lain. "Le? Kok belum tidur? Ayo tidur. Udah malem. Besok kamu masih sekolah, tho." Ibunya yang baru saja kembali dari kamar mandi dan hendak menuju ke kamarnya menegur Farhan yang masih saja setia di depan TV. Itu membuat Farhan yang tadinya bersemangat langsung ciut. "Ya, Bu." Sahutnya pasrah sambil beranjak dari lantai yang sedari tadi menjadi tempatnya duduk, menuju ke kamarnya sendiri untuk tidur, seperti yang diinstruksikan oleh Ibunya. Padahal niat awalnya tadi, dia akan menunggu di depan TV sampai Ibunya masuk ke dalam kamar dan terlelap sebelum dia mengendap - endap keluar rumah untuk pergi ke rumah Panji yang jaraknya hanya sekitar lima rumah dari rumahnya. Dan kalau Panji ternyata sudah berangkat terlebih dulu, dia akan menyusulnya ke markas. Dan begitulah, dia jadi tak akan melewatkan keseruan mereka malam ini. Bukan, bukan untuk kembali beraksi. Kelompok - kelompok seperti ini biasanya memiliki pola. Jika mereka beraksi setiap hari, maka aparat yang berwajib akan mudah mengendus pergerakan mereka. Mereka memiliki pola yang diubah secara berkala sehingga tak ada pola pakem dalam operasi mereka. Tapi yang jelas, jarang sekali kelompok seperti mereka beraksi setiap malam berturut - turut. Kelompok mereka ditakuti bukan tanpa alasan. Kalau mereka melakukan aksinya setiap hari, artinya tak akan ada efek kejut yang membuat teror itu semakin nyata. Mereka berlu efek dramatis, sehingga tindakan tak terduga dan tak terlacak itu perlu. Farhan merebahkan tubuhnya di atas dipan. Merasa kesal karena rencananya untuk menyelinap keluar gagal. "Kapan sih, aku bisa kaya anak - anak lain. Nggak dikekang, nggak apa - apa nggak boleh. Aku lho bukan boneka India. Mana ada boneka India kok gosong gagah begini," Gerutunya kesal sambil berusaha memejamkan matanya untuk tidur. Sudah terlanjur tak bisa ke mana - mana, lebih baik tidur saja lah. Ada satu hal yang Farhan lupa, bahwa orang India pun tak semuanya putih, ada juga yang 'gosong' seperti dirinya. Jadi mungkin saja dia memang boneka India bagi ibunya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD