BAB VII

1162 Words
"Le, Farhan, bangun, Le. Sekolah." Farhan menggeliat di atas kasur tipisnya. Dipan kayu yang sudah mulai sedikit lapuk berkeriat seiring gerakan tubuhnya. Dia masih mengantuk. Semalam dia pulang sekitar jam dua subuh. Masuk diam - diam ke rumah dan langsung ke kamarnya. Rumahnya hampir tidak pernah dikunci. Hanya ditutup saja. Seperti yang sudah dia bilang, tak ada barang berharga di sini sehingga maling, atau siapa pun yang memiliki niat buruk akan merasa menyesal sudah membuang - buang waktunya masuk ke sana. Mungkin rumah itu akan dikunci sepenuhnya jika semua penghuninya pergi bersama - sama. Tapi tentu saja, itu hampir tak mungkin terjadi. Mereka berempat punya jadwal yang berbeda - beda dan hampir tak pernah meninggalkan rumah secara bersamaan. "Le..." "Iya Bu, Sudah bangun, kok." Farhan menjawab pelan dengan suara serak khas bangun tidur. Mendudukkan tubuhnya sambil mengucek mata mengantuknya di atas dipan yang berkeriet lirih dimakan usia. Ibunya ikut duduk di pinggiran ranjangnya, mengusap rambut cepaknya. "Kamu selamam di mana, Le?" Tangannya yang mengucek mata terhenti. kantuk yang sedari tadi menggelayuti matanya pun langsung kabur menghilang. Dia sama sekali lupa bahwa Ibunya punya kebiasaan untuk menengok kamarnya setelah pulang kerja sebelum beranjak ke kamarnya sendiri untuk beristirahat. Sehingga dia juga lupa tak menyiapkan alasan jika ditanya hal - hal seperti ini oleh Ibunya. "Eee... Itu Bu, semalam nonton bola di rumahnya Mas Panji." Jawabnya setelah beberapa saat. Setidaknya dia tak berbohong bagian tentang dia Sedang bersama Panji. "Maaf, Farhan nggak ijin dulu." Untuk pertama kalinya dia berbohong pada Ibunya. Farhan bukan anak yang super baik. Dia berkali - kali bohong juga. Pada temannya, gurunya, guru BK nya, sering. Tapi pada Ibunya, ini adalah yang pertama kali. Dan dia merasakan perasaan tak enak menyelinap di relung dadanya. Dia jadi merasa bersalah. Tapi itu sudah seharusnya dia lakukan, bukan? Dia tak mungkin juga mengatakan yang sebenarnya apa yang dia lakukan semalam pada Ibunya. "Ooo ya sudah kalau begitu, Ibu kira kamu ke mana. Lain kali pamit. Eyang sama Kakung sampai ikut nyari kamu di mana. Ya wis, sana mandi. Sudah jam setengah enam. Ibu di dapur siapin sarapan sama Eyang." "Nggih, Bu." Farhan mengangguk, Sepeninggal Ibunya, dia tak langsung beranjak dari kamar. Dia sedang merenungkan kehidupannya. Farhan bagai raja di rumah ini. Semua kebutuhan dan hampir segala keinginannya akan segera dipenuhi oleh Ibu, Eyang dan Kakung. Dia ingat saat pertama kali diterima di SMPnya sekarang. Ada sejumlah uang yang harus dia bayarkan untuk bisa mendapatkan seragam, seragam olahraga, topi dan dasi. Jumlah yang mungkin bagi sebagian orang sedikit, tapi baginya dan keluarganya, itu jumlah yang besar karena Ibunya harus memgambil banyak pekerjaan dan menabung untuk mengumpulkan uang tersebut. Malam sebelum batas akhir p********n, dia melihat sendiri Eyang, Kakung dan ibunya mengumpulkan uang mereka da memberikannya pada Farhan. Dia adalah anak yang cukup bahagia dari luar. Tanpa beban. Tapi justru karena ketiadaan beban itu Farhan merasa hidupnya amat monoton. Dia ingin tantangan. Ingin sesuatu yang memompa adrenalin agat hidupnya lebih berwarna. Itulah kenapa dia memilih untuk melakukan hal ini. Merasa kebingungan tak akan habis hanya dengan dipikirkan saja, dia beranjak dari kamarnya menuju ke teras untuk mengambil handuk dan bergegas menuju kamar mandi. Bersiap untuk menjalani hari - hari normalnya. *** Siang yang panas dan terik. Gerahnya membuat keringat menetes di kulit tiada henti. Farhan mengayuh sepedanya pelan tanpa semangat menyusuri jalanan pulang. Dia haus dan lapar. Uang sakunya sudah habis, jadi dia tak bisa mampir ke angkringan atau warmindo (warung indomie) untuk membeli es teh. Dia berhenti dan turun dari sepedanya untuk menyeberang, meskipun seharusnya titik sebrang gang menuju rumahnya masih sekitar setengah kilometer lagi jauhnya dari tempatnya saat ini. Bukan tanpa alasan dia melakukan hal tersebut. Itu karena di dekat tempatnya seharusnya menyebrang ada pasar, dan di sana banyak preman mangkal. Preman yang suka memalak tanpa pandang bulu. Tua muda, bahkan anak - anak sekalipun tak luput dari aksi mereka. Maka untuk menghindari hal tersebut, beginilah cara ibunya dan orang - orang tua lain menasehati anak - anak mereka agar tetap aman sampai mereka tiba di rumah. Farhan sudah selesai menyeberang. Dia kembali menaiki sepedanya dan mengayuhnya pelan melawan arus hingga di tikungan gang rumahnya. Dia juga melewati warung mie ayam tempat Ibunya bekerja mencuci piring dan bantu - bantu. Seperti biasa, selalu saja ramai. Warungnya buka dari jam sebelas siang, tapi tak sampai jam lima sore, mereka sudah tutup karena kehabisan. Ibunya berangkat ke sana setelah mencuci di rumah - rumah tetangganya dan setelahnya, Ibunya akan pulang sejenak sebelum mulai lagi bantu - bantu di warung bakmi jawa jika dibutuhkan, dengan pekerjaan yang sama hingga jam sepuluh malam. Dia sempat melihat Ibunya di depan membereskan meja. Biasanya, saking ramai warung tersebut Ibunya selalu di belakang dengan tekun mencuci piring. Mungkin karena hari ini dia pulang sedikit terlambat dari biasanya. Ini sudah jam tiga, tapi panasnya kota Jogja masih amat terasa. Dia pulang sesore ini karena tadi ada piket dilanjut dengan belajar kelompok. Dia bersekolah di SMP negeri inpres kecil pinggiran kota yang tak terlalu populer. Dia sebenarnya tak menyangka bisa diterima di sana. Tapi Ibunya luar biasa senang saat mendengar kabar bahwa dia diterima di sana. *Masuk sana saja, Le. Prospeknya lebih bagus buat masa depan kamu." Kata ibunya saat itu. Padahal meskipun spp dan uang pangkal gratis, tapi banyak biaya lain - lain yang jumlahnya tidak sedikit. Tapi Ibunya bersikeras. Jadilah Farhan menurut saja apa kata Ibunya itu. Lagipula, dia sama seperti beberapa orang di lingkungannya. Sekolah hanya untuk ijazah saja. Syukur - syukur bisa untuk bekal masuk ke SMA, dan kembali mendapatkan ijazah dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Yang nantinya bisa dia jadikan bekal untuk mencari kerja dan memperbaiki kondisi perekonomian keluarga mereka. Jam pulang sekolah Farhan, normalnya adalah jam satu siang. Biasanya dia akan pulang berbondong - bondong bersama dengan anak - anak lain yang bersekolah di daerah dekat sana. Tapi kali ini, dia harus pulang sendirian saja. Saat sudah masuk ke gang rumahnya ada satu sepeda yang menjajarinya. "Dab." Sapa orang yang menjajarinya laju sepedanya tersebut. "Oh, Mas Panji." Ternyata itu Panji. "Nanti malem okut lagi tho? Wah sangar (keren) lho! Semalem kamu nggak ada takut - takutnya!" Dia berseru tertahan menjaga agar suaranya tetap rendah. Hal - hal ini memang seharusnya menjadi rahasia. "Aku aja dulu tuh ndredeg (gemetaran) pas pertama kali." "Hehehe." Farhan cengengesan. "nanti malem g bisa janji, Mas. Nanti tak kabari lagi aja." "Loh kenapa?" "Semalem Ibuku nyariin. Takut malam ini dicariin lagi. Kata Farhan memberikan jawabannya. "Owalah." Panji mengangguk - angguk. "Emang Mas Panji nggak pernah dicariin?" Panji menggeleng. " Nggak ini. Aku yo heran. Kenapa ya " "Mungkin orang tua Mas Panji udah percaya sama Mas. Oiya Mas. Aku wis sampe. Duluan, ya." Kata Farhan saat kayuhan sepedanya berhenti di rumahnya. TV sudah menyala. Pertanda Eyang tau Kakung mungkin sudah sampai di rumah. "Oke. Nanti malam kabari lagi ya!" Farhan mengangguk. Di kepalanya dia sudah mulai menyusun alasan apa yang akan dia katakan pada Ibunya nanti malam. Serta berdoa semoga Ibunya tak curiga padanya apa pun alasan yang nanti dia berikan
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD