Bab IX

1210 Words
"Semalem nggak jadi dateng kamu, Han?" Rutinitas Farhan setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah adalah membersihkan sepedanya. Mengelap, mengecek apakah ban nya kurang angin, apakah remnya kurang minyak, apakah rantainya kurang oli, semuanya dia cek. Dan saat sedang asyik - asyiknya, memoles sepadanya, yang sebenarnya second, tapi terlihat masih amat bagus karena dirawat itu, Panji datang menyapa, membuatnya sedikit terlonjak. Sekarang jam lima pagi, dan melihat mata Panji yang memerah, seperti mengantuk, Farhan menyimpulkan bahwa pemuda itu baru pulang dari acaranya semalam. Farhan jadi bertanya - tanya sendiri, kalau dia ikut, apa jam segini juga dia pulang? Dia nggak tidur dong? Terus nanti di sekolah dia bagaimana? Sedikit dalam hatinya dia bersyukur dia tak ikut. Walaupun suara kecil itu kalah oleh suara - suara memberontak yang lebih keras, menyesali kenapa semalam dia tak bisa ikut. Karena pasti akan menyenangkan sekali berkumpul bersama teman - teman barunya itu. "Ibu, Mas Panji." Dia berbisik sambil melirik ke dalam rumah. Takut jika Ibunya tiba - tiba keluar dari rumah dan memergokinya berbicara demikian. "Ibu abis maghrib udah pulang. Aku kan ndak bisa ke mana - mana kalau ada ibu." Panji yang berada di depannya, masih nangkring di atas sepedanya mengangguk paham. "Yo ngerti aku sih, Han, paham (aku tahu sih, Han, aku juga paham) Cuma semalem Rolis nanyain. Katanya dua hari lagi ada aksi. Kalo bisa melu o (ikutan) ya." "Aku usahain ya, Mas. Nanti aku coba cari alasan buat ijin Ibu." Jawabnya. "Ya wis kalau gitu. Aku pulang dulu ya. Aku rodok mendem (agak mabuk) ini. Bar ngombe rong mbotol (habis minum dua botol). Aku pulang dulu, ya." "Ya oke, Mas. Ati - ati." Farhan menatap pada punggung Panji yang menjauh. Benar ternyata dugaannya kalau pemuda itu sedang tak sepenuhnya sadar. Terlihat dari matanya yang merah dan pandangannya yang agak kurang fokus. Ada bau tak sedap juga menguar dari mulutnya saat berbicara, padahal mereka lumayan jauh, tapi masih tetap dapat tercium. Farhan menggeleng. Dia suka aksi mereka. Merasa hidup, bersemangat dan berapi - api saat beraksi. Tapi bagian merokok dan mabuk... entahlah. Mungkin karena dia masih di bawah umur? Dia tak begitu tertarik dengan dua hal itu. Malah, kalau mau jujur, dia tak suka pada orang mabuk dan mereka yang sedang merokok. Farhan menggeleng. Setelah selesai dengan sepedanya, dia berdiri, menatap pada ufuk timur sejanak saat bias pertama matahari pagi yang menyapa kawasan tempatnya tinggal. Gang kecil di depan rumahnya yang hanya muat dua motor saling berpapasan itu mulai ramai lalu lalang orang yang baru pulang dari pasar, mau berangkat kerja dan lain sebagainya. Dia di sana selama beberapa saat sebelum mencuci tangannya pada padasan (Wadah air yang biasanya terbuat dari tembikar) yang sudah berlumut di pojok rumahnya dan meraih handuk untuk mandi. Dia harus sekolah. Dia sampai di dapur saat Ibunya mengeruk nasi yang sudah matang di dalam magic com. Itu dilakukan karena magic com mereka masih versi lama. Jika setelah matang nasi tak segera diaduk, maka nasinya akan keras dan gosong di bagian bawah teflon nya. Jadi setiap kali selesai memasak nasi, ibunya akan melakukan hal itu. Farhan berjalan melewati ibunya menuju ke bilik kecil kamar mandi yang ada di pojokan. Eyang dan kakungnya sudah mandi sejak subuh tadi. Katanya itu kebiasaan orang jaman dulu. Sedangkan Ibunya selalu mandi setelah semua pekerjaan rumahnya selesai dan dia harus berangkat untuk mencuci atau menyetrika di rumah tetangganya. Jadi jam segini, kamar mandi selalu kosong, untuk Farhan bersiap - siap. "Le." "Iya Bu?" "Ibu lihat tadi di depan kamu ngobrol sama Panji. Kemaren juga kamu bilang lagi nonton bola di rumahnya. Sejak kapan kamu jadi akrab sama Panji?" Ibunya bertanya. "Nggak akrab banget kok Bu. Kebetulan aja kemaren ngajakin nobar di rumahnya bareng anak - anak lain di kompleks ini." Lagi - lagi Farhan berbohong saat mencari alasan. Memang benar kata orang bijak. Sekali berbohong, dia akan melanjutkannya dengan kobohongan - kebohongan lain yang bisa mendukung kebohongan pertama. Dan itulah yang dilakukan Farhan saat ini. Rasa bersalahnya masih tetap muncul, tapi entah bagaimana, tak sebesar saat pertama kali kemarin. "Kenapa, Bu?" Ibunya menggeleng, selesai mengaduk nasi dan berbalik padanya. Farhan tak pernah menyangka Ibunya ternyata terlihat setua ini dari dekat. Dia yang tak perhatian atau bagaimana? Ibunya baru tiga puluh lima tahun. Ibunya terlihat seperti sudah tua sekali. Bahkan dengan Nenek Atta, tetangga depan rumah yang sudah berumur lima puluh tahun lebih itu, tetap lebih tua ibunya. Kata Eyang, Ibunya masih amat belia saat melahirkan dia dulu. Ya, itu yang dikatakan Eyangnya. Saat melahirkannya, bukan saat Ibunya menikah. Entah kenapa, topik pernikahan Ibunya tak pernah diungkit. Tapi dia tahu dia bukan anak hasil hubungan macam macam. Kata tetangganya yang anaknya tek dhung (hamil) duluan dan sekarang sudah melahirkan, susah bagi mereka untuk mengurus akta bayi tanpa Bapak. Harus berani keluar uang bahyak untuk sogok sana sini. Tapi Farhan punya akta lahir. Ada nama Bapaknya di sana; Rossyidin, namanya. Tapi apapun tentang orang bernama Rosyidin ini tak pernah dibicarakan di rumah ini. Dulu Farhan kecil pernah bertanya siapa Bapaknya, tapi Ibunya menangis, dan Kakungnya memarahinya, katanya laki - laki sejati tak membuat perempuan menangis. Jadi karena itulah Farhan berhenti bertanya. Selain dia tak ingin melihat Ibunya menangis, dimarahi Kakungnya juga bukan hal yang menyenangkan. Pikirnya, pasti suatu saat, cepat atau lambat, dia kan bertemu dengan Ayah kandungnya yang entah di mana keberadaannya sekarang itu. "Kamu tau kan, Panji itu terkenal nggak baik. Putus sekolah, tukang mabuk, sampai sekarang juga belum punya pekerjaan bener padahal umurnya sudah mau dua puluh, Ibu cuma nggak pengen kamu nanti terpengaruh sama dia jadi anak yang nggak baik." Ibunya berkata dengan nada pelan. Ibunya jarang marah pada Farhan. Saat ibunya ingin marah, dia akan meminta Farhan masuk ke dalam kamarnya sendiri dan melarangnya keluar sampai kemarahan ibunya benar - benar reda. Atau jika dia sedang super bandel tak bisa dibilang, Ibunya yang akan mengurung diri di kamar, dan keluar saat kemarahannya sudah mereda. "Ya, Bu. Farhan kan cuma ngobrol aja sama Mas Panji. Sama numpang nonton di rumahnya karena TV nya besar. Nggak main yang aneh - aneh." Lagi - lagi dia berbohong. Bukan tentang ngobrol dan numpang nonton di rumah Panji. Karena toh itu benar adanya. TV di rumah Panji besar sekali sehingga menyenangkan untuk ditonton. Dia berbohong tentang tak main yang aneh - aneh dengan Panji. Panji sebenarnya adalah anak orang kaya. Kedua orang tuanya pegawai. Rumah mereka besar. Punya beberapa sepeda motor dan mobil juga meskipun harus menyewa lahan untuk parkir di pinggir jalan besar karena gang ini tak bisa untuk mobil lewat. Sepeda Panji pun bagus. Tak seperti sepedanya yang hanya second, Farhan tau sepeda Panji harganya hampir puluhan juta. Selain Panji, ada adiknya perempuan yang masih kelas lima SD. Berbeda dengan Panji, adiknya ini pintar dan menjadi kesayangan semua orang di gang ini. Panji di cap jelek begitu karena dia terlinbat tawuran antar sekolah, membuat lawannya luka hingga koma masuk rumah sakit sehingga dia di drop out dari sekolah saat kelas dua SMA. Dan sampai saat ini dia tak pernah melanjutkan sekolah lagi. "Ibu cuma mengingatkan, Le. Ibu nggak pengen kamu terlibat hal - hal yang buruk." "Ibu tenang aja. Farhan nggak kaya gitu kok. Nggak akan pernah kaya gitu, Farhan kan pinter jaga diri, tau mana yang bener dan mana yang salah. Ibu percaya ya, sama Farhan. Sudah, Farhan mau mandi dulu, Bu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD