“Bang … Bang …” Jin menghalagi salah satu rekan kerjanya lebih tepatnya seniornya yang hendak bangkit dari meja kerja. “Sebentar Bang, gue ada perlu.”
“Cepek ceng dulu!” Ujar seniornya yang bernama Agus, pria itu merupakan redaktur madya di tempat Jin bekerja.
“Heulaah, gaji sama ceperan lo lebih besar dari gue, masa’ segitu aja pake malak.” Sewot Jin tidak terima.
“Gaji gue boleh lebih besar dari lo, tapi harta warisan lo kan beratus kali lipat besarnya dari gue.” Decak Agus. “Lo butuh apa? cepetan, bini gue dah nunggu di rumah!”
Jin menghabiskan jarak dengan Agus, berbisik di telinganya. “Gue butuh semua hal tentang Samudra dari keluarga Wira.”
Agus menarik diri, mundur selangkah, mengangkat kedua alisnya. “Samudra Wira, CEO yang baru diangkat di Wira Group?”
Jin mengangguk sembari mengerjabkan bulu mata lentiknya berkali-kali.
“Lo dipindah desk ke ekonomi bisnis?” Tanya Agus penasaran, karena sepengetahuannya, penugasan liputan Jin sementara hanya di desk Pendidikan.
“Gak sih, Bang.” Jin meringis. “Gue cuma pengen tau aja. Lo kan sering wawancara sama tu orang.”
“Ogah, lagian gak ada hubugannya sama lo.” Agus hendak melangkah pergi namun Jin segera menghalagi jalan pria itu dengan tubuhnya. Merentangkan kedua tangan di hadapan Agus.
“Ada, Bang! Please …”
Agus berdecak malas. “Ogah! Minggir!”
Jin menyeringaikan senyum. “Gue punya berita besar buat lo, dan lo bakal jadi orang pertama yang tau ini.”
“Apaan?! Kalau bohong, gue libas lo!” Ancam Agus.
“Gak berani lah gue bohong.” Jin kembali menghabiskan jarak dengan Agus dan membisikkan sesuatu di telinga pria itu.
“APA! LO MAU DINIKAMMM …” Jin membungkam mulut Agus secepat mungkin.
“Volumenya dikecilin, Bang!” Sergah Jin
Agus melepaskan tangan Jin dari wajahnya. Menatap Jin tidak percaya. “Lo serius?” pria itu memelankan suaranya, berbisik. “Lo dijodohin sama Sam?”
Jin mengangguk mantap. “Makanya gue minta semua info tentang tu cowok sama lo, Bang.”
Agus membuang nafas kasar. “Gue beri, dengan satu syarat.”
“Apaan?”
“Wawancara eksklusif bareng lo berdua.” Agus sudah duduk dan kembali menyalakan perangkat komputernya. “Gimana? deal?”
“Iya deh deal, tapi kalau gue jadi nikah loh ya.” Kekehnya cuek. “Kalau gak jadi, yaa, lo ngaplo Bang!”
Agus hanya mendengkus sebal mendengarnya. Ia lalu membuka email dan mengirimkan satu folder berisi semua data dan berkas wawancara yang pernah ia lakukan dengan Samudra Wira.
“Done! Go check your email!”
--
“What the hell! Jin! You gotta be kidding right!”
“No, I’m not.” Jin terkekeh
“Serius kita makan di sini? Di pinggir jalan gini?!” Seru Sam.
“Iyes, masa’ di tengah jalan.” Jin berkelakar dengan wajah datar.
Lalu Jin tertawa lepas menatap wajah Sam yang terlihat begitu … entahlah, Jin sendiri tidak bisa menjabarkan raut wajah pria itu saat ini. Yang jelas, dipertemuan kedua mereka kali ini, Jin lah yang mengatur ke mana mereka akan pergi. Dan, Jin mengajak Sam untuk makan malam di warung lalapan kaki lima di pinggir jalan, tempat langganan Jin.
Mereka masih berdebat di dalam mobil, karena Sam masih enggan keluar untuk makan di warung tenda dengan spanduk yang bertuliskan Lalapan Nasi Uduk Cak Gondrong itu.
“Ya udah, kalau kamu gak mau keluar, tunggu sini aja, aku laper mau makan dulu.” Jin yang sudah melepaskan seatbeltnya itu langsung ngeloyor keluar dari mobil begitu saja. Ia tidak lagi mempedulikan Sam yang memanggilnya berkali-kali.
Jin terkekek geli saat melihat wajah tertekuk Sam akhirnya menyusul, dan duduk bersebelahan dengannya.
“Pesen apa?” Tanya Jin melipat bibir menahan tawa.
Sam meraup wajah frustasi. “Di sini ada apa aja?”
“Ada lele, gurami, ayam, bebek, tahu, tempe, aduh … lihat sendiri deh tuh di sana.” Jin menunjuk meja yang berisi beraneka lauk di dalam kotak kaca. “Ada nasi uduk sama nasi biasa. Mau yang mana? Sama minumnya sekalian.”
Sam berpikir sejenak, seraya mengusap dagunya yang mulus tanpa ada rambut halus sedikitpun. “Gurame sama nasi uduk deh, sama espresso.”
Tangan Jin reflek memukul punggung Sam dengan tergelak. Pria itu terbatuk seketika.
“Kamu kira ini kafe? Ada barista yang bikini kamu espresso, americano, affogato atau piccolo?” Decak Jin terheran-heran.
Sam mengusap dadanya berulang kali, ia tidak pernah diperlakukan sekasar ini oleh wanita. Baru kali ini dirinya dipukul dengan kekuatan sedemikian rupa, padahal tubuhnya Jin besarnya tidak sampai separuh dari dirinya.
“Terus adanya apa?” Tanya Sam terlihat bodoh.
“Teh, kopi, sama itu.” Jin mengendik dagunya menunjuk air mineral di atas meja.
Sam membuang nafas berat. “Teh aja lah, tanpa gula.”
Sejurus kemudian Jin memesan makanan yang sudah mereka pilih.
Sam berdecak malas. “Next, kita fine dining, gak ke tempat beginian.”
“Enak makan di sini kali Sam, murah meriah, kenyang, mau pakai apapun bebas. Gak ribet kayak fine dining, pake sandal jepit aja gak bisa masuk.” Elak Jin yang tidak ingin direpotkan dengan segala peraturan yang ada di restoran yang mengusung konsep fine dining.
“Restorannya punyaku, nanti aku reservasi semuanya, kalau kamu mau nyeker juga gak masalah. Aku ganti peraturan nanti!” Sahut Sam berapi-api.
Jin bengong dengan takjub, lalu ia merogoh tasnya mengeluarkan sebuah kotak, mengalihkan topik pembicaraan. “Buat kamu, bukan dari aku, tapi dari mama.” Kekehnya malu. “Harusnya aku bawa itu waktu pertemuan pertama kemarin, tapi lupa.” Lanjutnya seraya nyengir.
Belum sempat Sam membukanya, pesanan mereka sudah datang. Dua buah nasi uduk, gurami bakar plus lalapan serta sambalnya.
Dari baunya saja, makanan yang telah tersaji sangatlah menggugah selera. Tapi, Sam hanya memandangnya saja, memiringkan bibirnya sambil mengerucut.
“Jin, where is the fish fork?”
Mulut Jin terbuka dengan lebar. “We don’t need that, Sam. Use your hand, both! Like this …”
Jin mencelupkan tangannya ke mangkuk berisi air, lalu mengeringkannya dengan tisu. Kemudian gadis itu mengambil secuil daging gurami bakar dan mencampurkannya dengan sejumput nasi uduk lalu melahapnya. Dengan mulut yang masih penuh ia berbicara. “See, your turn.”
“What?! Seriusly?”
Jin mengangguk mantap, mengulang kembali cara makannya tadi.
Sam menoleh ke kiri dan kanan, lalu mencodongkan tubuhnya ke arah Jin, berbicara dengan memelankan suaranya. “Aku harus makan semua ini pakai tangan, yang bahkan gak di cuci dengan sabun? oh God! Jin! Kamu bisa sakit perut nanti!”
“Nope, I’m not, aku sudah biasa.” Kekeh Jin dengan mulut yang masih penuh. “Ini enak banget loh, Sam.” Sambil mengecap nikmat jemarinya bergantian di hadapan Sam.
Sam hanya bisa menelan ludah, menatap makanan di meja lalu gadis itu secara bergantian. Perutnya sudah protes hendak di isi, namun ego serta gengsinya lebih besar daripada rasa laparnya.
“Yakin gak mau nyoba?” kedua bahu Jin terangkat sebentar. “Aku gak mau nemenin kamu ke restoran loh habis ini, aku mau langsung pulang, sudah kenyang soalnya.”
Jin tertawa puas di dalam hati. Pria seperti Sam memang harus diperlakukan seperti ini.
Some crazy funcking rich people like him should try this crazy f*****g food sometime. Oh gosh! This’s even not crazy food at all, this so yummy.
“Kamu pernah makan mi instan gak sih Sam?” Tanya Jin tiba-tiba.
Sam menggeleng. “Itu makanan gak sehat, gak baik buat tubuh.”
Satu alis Jin menukik tajam. “Gorengan? Cilok? Cireng? Cilor? Sempol?”
Sam memiringkan sedikit kepalanya. “Itu … semua makanan? Gorengan itu makanan yang di goreng kan?” tanyanya ragu.
Jin tersedak, memukul d**a berulang kali, lalu meminum teh hangatnya. “Aku libur hari rabu, bisa kosongin jadwal kamu gak?”
“Untuk?”
“Aku bakal kasih tau kamu semua makanan enak, yang kamu belum pernah makan sebelumnya.”
Kedua alis Sam terangkat tinggi, lalu tertawa meledek. “Aku sudah coba semua makanan enak di restoran bintang lima, mau itu di dalam atau luar negri Jin. Aku bahkan sudah masuk ke semua resto dengan predikat Michelin Star yang ada di dunia.”
Jin mendengkus sinis, beginilah kenapa ia enggan bergaul dengan kaum jetset di lingkungannya. Mereka saling meyombongkan diri dengan memamerkan semua hal dan keangkuhan yang tidak ada habisnya. Ia lelah hidup seperti itu, membeli atau mencoba sesuatu hanya untuk sebuah pengakuan serta gengsi.
“Sam.” Jin memberi kode dengan jemarinya agar Sam mendekat ke arahnya. “Buka mulut kamu.”
“Hah? Ap—”
Satu suapan nasi uduk bercampur gurami bakar dari tangan Jin, sudah sukses masuk ke dalam mulut pria itu. Sam hendak protes, namun tatapan tajam serta dingin dari Jin mampu menciutkan nyali pria itu.
“Kunyah! Terus telan!” perintah Jin dengan tatapan mengintimidasi.
Ah! Entah sihir apa yang digunakan oleh gadis itu sehingga seorang Samudra Wira mau saja makan makanan dari tangan yang bahkan tidak dicuci menggunakan sabun.
“Moga aja lo diare habis ini!” Jin menyumpah geli di dalam hati.