It's All 'bout Business
Pria itu, Samudra Nandana Wira, pengusaha sekaligus pewaris tahta dari Wira Group, sudah berkali-kali melirik arloji di pergelangan tangannya. Waktu yang tersisa hanya sekitar dua puluh menit lagi, sebelum ia melangkahkan kakinya keluar dari ruang VIP sebuah restoran, untuk menuju sebuah acara penganugrahan yang diadakan oleh salah satu stasiun televisi swasta. Namun hingga saat ini, gadis itu, Jingga Denallie Sultan belum juga menampakkan batang hidungnya.
Pria itu, kembali menyandarkan tubuhnya dan mendesah sedikit lelah dengan segala rutinitas tanpa henti yang setiap hari harus ia lakoni. Ia pun melepas jas yang sedari tadi dipakainya, menyampirkannya dengan rapi pada kursi kosong yang terletak di sampingnya. Lengan kemeja putihnya kini sudah ia linting sampai mendekati siku. Jemarinya mengetuk meja tanpa henti hingga suara handle pintu mengalihkan tatapannya.
“Sorry, I’m late.” Ucap gadis itu dengan terengah, lalu menatap pria di depannya dengan wajah penyesalan. “He’s cute.” Ucapnya dalam hati.
Pria itu bangkit dan tersenyum ramah. “It’s oke.” Tanpa segan ia menjulurkan tangannya. “Samudra Wira.” Ucapnya memperkenalkan diri.
Sejujurnya Samudra sedikit terkejut melihat penampilan dari putri mahkota dari keluarga Sultan itu. Dalam pikiran Samudra, gadis yang datang nantinya sama seperti gadis-gadis yang biasa ia temui. Berpenampilan elegan, make up flawless yang tak lepas dari wajah, memakai segala aksesoris mahal dan branded yang melekat dari ujung rambut sampai kaki.
“Ah ya! You can call me Jin!” Ucapnya lalu membalas uluran tangan Samudra dengan sedikit canggung.
Tapi Samudra salah, Jin atau Jingga tidak seperti kaum jetset yang sering ia temui. Bahkan di pertemuan pertama mereka ini, Jin hanya memakai kemeja biru dibalut dengan sweater sederhana dan celana jeans dilengkapi dengan sneaker putihnya yang sedikit kotor pada sisi bagian bawah. Rambutnya pun hanya gadis itu ikat seadanya dengan rambut yang berhambur tak rapi di wajah. Ahh … tidak lupa ia juga membawa ransel laptop di punggungnya. Namun, dibalik semua itu, Jin adalah sosok gadis yang … cantik.
“Jin?”
“Yap, anak-anak kantor manggilnya gitu.” Jin terkekeh lalu berjalan mengitari meja dan menarik kursi bersebrangan dengan Samudra. “Dan, kalau kamu lihat inisial jin saat baca Metro Ibukota, maka akulah yang menulis beritanya.” Lanjut Jin dengan senyum manisnya.
“You can call me Sam, then.” Ucap Samudra seraya mengangguk-angguk berusaha mengakrabkan diri.
Jin melepas ransel, menaruhnya pada kursi kosong di sampingnya lalu ia duduk berhadapan dengan Sam. “Well, how much time do we have left?”
“Lima belas menit, apa itu cukup?”
Jin mengangguk. “Kalau begitu kita langsung saja.” Namun Jin menjeda kalimatnya berfikir, lalu ia kembali terkekeh. “Tapi … apa yang akan kita bicarakan?”
Sam tersenyum, lalu mengambil sesuatu dari kantong jas yang ia letakkan di sebelahnya. Sebuah kotak berwarna putih bertuliskan Alexandre Christie. Sam menyodorkan kotak tersebut kepada Jin. “Untukmu.”
“A gift? For me?” Jin reflek memukul dahinya. Ia lupa bahwa mamanya sudah mengingatkan untuk mampir ke rumah dan membawa hadiah yang sudah dipersiapkan untuk pertemuan pertama mereka ini. Gadis itu membuka kotaknya dan hanya tersenyum sekilas, melihat jam tangan berwarna hitam dengan list berwarna gold yang melingkarinya, begitu elegan. “Thank you so much, tapi maaf, as you see, I have nothing to give.” Gadis itu tertawa kecil, sedikit mencondongkan tubuhnya. “Sebenarnya, mamaku sudah mempersiapkan sebuah hadiah untukmu, tapi, aku lupa mampir ke rumah untuk mengambilnya.”
Sam lalu ikut tertawa mendengarnya, kenapa ada gadis sepolos dia. Seharusnya Jin tidak perlu mengatakan hal itu, berbohonglah sedikit atau paling tidak, cukuplah dengan kata ‘maaf’ saja.
Jin berdehem, kini wajahnya tampak serius. “Jadi, tentang pertunangan kita. Apa kau menyetujuinya?” lalu ia berdecak. “Bentar deh, bisa kan kita gak usah formal kalau ngomong, aku berasa lagi di dalam telenovela kalau gini, bisa keseleo lidahku lama-lama.”
Sam tertawa. “Yaya, baiklah.” Ia pun berdehem, kembali kepertanyaan Jin tadi. “Aku gak punya alasan untuk nolak, dan kamu sendiri?”
Jin mendengkus pelan. Tidak sopan sebenarnya tapi dia merasa tidak penting menjaga image di depan Sam. “Aku gak pernah tau kalau keluarga Sultan dan keluarga Wira itu saling kenal, bahkan orang tua kita bersahabat.”
Keluarga Sultan, merupakan pengusaha Mall yang juga mememiliki banyak cabang department store yang tersebar baik dalam dan luar negeri. Sedangkan keluarga besar Wira, merupakan pengusaha property dan konstruksi yang sudah terkenal dan ternama. Sudah tak terhitung berapa banyak proyek yang mereka tangani dan semuanya selalu berhasil.
“Kamu gak tau?” Tanya Sam menautkan alisnya, terkejut.
Jin menggeleng. “Mungkin, itu karena aku jarang pulang ke rumah.” Ia kembali terkekeh. Jelas sudah, Orang tuanya pasti menjodohkannya dengan Sam terkait untuk meneruskan usaha mereka. Jin sudah tidak bisa di harapkan, karena dirinya sama sekali tidak tertarik dengan urusan bisnis.
“Apa semua wartawan seperti kamu? Jarang pulang ke rumah?”
“Kenapa? Apa kamu mulai berfikir tentang rumah tangga kita nanti, kamu khawatir kalau istrimu nantinya bakal jarang pulang karena lebih mementingkan liputannya daripada kamu?” telak Jin.
“Well, Kind of. Apa kamu mengatakan semua ini karena kamu gak menginginkan pertunangan ini?”
Jin menutup matanya, menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. “Kind of, because it's all, ‘bout business, right?”
Sam mengangguk, dan terlihat menunggu Jin untuk melanjutkan kalimatnya.
“Gak ada yang namanya cinta.” Lanjut Jin menegaskan.
“Itu, sebuah pertanyaan atau pernyataan?”
“Buatku gak ada bedanya, Sam. Aku juga gak bisa menolak pertunangan ini. Meskipun aku sudah berkomitmen untuk selibat. Andai Nila -adik Jin- sudah cukup umur, mungkin aku bakal rayu dia untuk menikah denganmu.” Jin kembali terkekeh namun kali ini wajahnya terlihat sendu.
Sam sedikit terkesiap mendengarnya, ia pun memajukan tubuhnya. “Did something happen?”
Jin mendesah lelah. “Sam, ada yang mau aku sampaikan, mungkin setelah itu kamu bisa mempertimbangkan lagi tentang pertunangan ini.” Wajah keduanya berubah semakin serius. “Pertama, kalau nantinya kamu jadi menikah denganku, mungkin … aku gak akan bisa menjadi istri seperti yang kamu inginkan, prioritas utamaku adalah pekerjaanku sebagai pencari berita. I Love my job!”
“Yang kedua?” Tanya Sam terkesan menuntut.
Jingga menghela, ia terlihat berfikir sejenak sebelum memutuskan mengatakan hal yang terakhir. “I’m not a virgin. Kalau kamu seorang pria yang menuntut kesucian dari istrimu, maka jangan teruskan pertunangan ini. Batalkan dan lupakan karena aku gak bisa memberimu hal itu.”
Sam tidak terlihat terkejut mendengarnya, ia hanya memasang wajah datar, tanpa ekspresi apapun. Sehingga Jin tidak bisa menebak apa sebenarnya yang ada di pikiran pria itu.
“Oke!” Sam berucap singkat.
Ada kelegaan di dalam hembusan nafas Jin. Gadis itu berfikir bahwa Sam akan membatalkan pertunangan dan tidak jadi menikah dengannya.
“Time’s up.” Ujar Sam setelah melihat jam tangannya.
Jin tersenyum dan mereka berdiri berjalan bersisihan menuju parkiran dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Sam mengernyit heran saat menyadari bahwa ia dan Jin sedang berjalan menuju ke parkiran motor. “Kamu, ke sini … bawa motor?”
Jin menghentikan langkahnya lalu tertawa kecil. “Apa kamu berharap aku pergi keliling cari berita dengan menggunakan Land Rover? Ahh, atau mungkin Ferrari?”
Sam tidak bisa menahan tawanya lagi kali ini. Mereka kembali berjalan menuju di mana motor Jin terparkir. “Oke, maksudku bukan begitu, aku cuma …” Sam kehabisan kata, ia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Hanya karena hal remeh seperti itu, ia sampai tidak bisa berbicara melanjutkan kalimatnya.
“Never mind.” Jin baru saja mengambil helm dan hendak memakainya, namun Sam merebut helm itu darinya. “Hei, give it back!” Protes Jin.
“Kosongkan jadwal mu sabtu depan, aku jemput jam tujuh.”
“WHAATT!!!” Ucap Jin setengah berteriak. Untuk apa lagi Sam memintanya bertemu, bukankah tadi, pria itu sudah mengatakan ‘oke’ padanya. “But … why? Bukannya kamu udah bilang ‘oke’ tadi?”
“Oke dalam artian aku mendengar dan paham dengan semua yang kamu bilang.” Sam tersenyum lembut, menjulurkan tangannya untuk meraih anak rambut Jin yang berhabur tertiup angin, lalu menyelipkan di belakang telinganya. “Aku gak pernah bilang kalau aku akan membatalkan pertunangan ini.”
Jin memutar bola matanya, hatinya kesal merasa dibodohi oleh pikirannya sendiri. “Yayaya … I think I get it, it’s all ‘bout business.”
Wajah Sam berubah datar mendengarnya.
“Aku harap, kamu gak akan menyesal dengan keputusanmu, Sam.”
“Gak akan.” Balas Sam. “Tapi kalau kamu menganggap aku bertahan hanya karena urusan bisnis, maka pikiranmu salah.” Sam lalu mendekat membuat Jin membeku dan menahan nafasnya. Lalu sebuah kecupan lembut dari bibir Sam sudah mendarat sempurna pada pipi Jin. “Pergilah, hati-hati di jalan.” Sam memakaikan helm yang sedari ia pegang ke kepala Jin.
Sebuah tawa kecil yang terkesan sinis lolos dari bibir gadis itu. ”Ini baru pertemuan pertama, dan kamu sudah berani nyium aku, apa kamu memang laki-laki seperti itu?”
Sam mengeryit tidak paham serta tidak suka akan kalimat yang dilontarkan gadis itu. “Jangan terlalu cepat menilaiku, Jin.”
Kali ini terdengar desahan kesal dari bibir Jin. “Oke, then. I’ll see you next week, Sam.”