Perjalanan menuju ‘The City of Love’, 1998
Ponsel Jesse bergetar di atas meja. Seseorang yang berusaha menghubunginya adalah Harry, namanya tercantum jelas di depan layar. Begitu jelas bahkan sampai-sampai Karen masih bisa membacanya dari sudut mata. Jesse hendak menjawab panggilan itu, tapi kemudian mengurung niatannya dengan cepat begitu melihat bagaimana Karen bereaksi. Sementara itu, keheningan yang menggantung di sekitar mereka terasa amat menggangu. Ditambah lagi dengungan ponsel Jesse. Panggilan itu sempat berhenti sebentar, tapi kemudian getaran ponsel di atas meja kembali terdengar dan lagi-lagi nama Harry muncul di layar utama. Karen yang merasa ganjil dengan situasi itu bergeser dengan tidak nyaman di atas kursinya, hingga ketika Jesse tidak juga tergerak untuk menganggat panggilan telepon itu, Karen mencetusnya dengan berkata, “tidak apa-apa, angkat saja! Mungkin itu penting..”
Jesse yang sedari tadi duduk gelisah, tampak gatal untuk menjawab panggilan itu akhirnya menyerah pada keputusan untuk mengangkat ponselnya kemudian bergerak menjauh untuk menerima panggilan. Sementara itu Karen duduk di tempatnya sembari mengawasi laki-laki itu. Sesuatu seakan mengocok seisi perutnya, membuat Karen mau muntah. Padahal ia merasa baik-baik saja pagi tadi. Perjalanan yang dipikirnya dapat ditangani tiba-tiba berubah menjadi mimpi buruk yang enggan ia hadapi. Yang dibutuhkan Karen saat itu adalah privasi, dimana ia dapat menangis dan memprotes segalanya. Namun tampaknya sudah terlambat untuk kembali ke kota. Kalaupun Karen meluruskan niatnya, ia masih harus menginap untuk menunggu kereta yang berbalik ke kota datang.
Satu hari di kota cinta tidak akan membuat sebuah perbedaan besar, pikirnya. Kate, terapis pernikahan mereka, tampaknya terlalu melebih-lebihkan perjalanan itu. Ketika Kate menyebut tentang ‘the City of Love’ Karen langsung bergegas mencaritahunya melalui internet. Beberapa artikel menyebutkan kalau kota itu memang sering dikunjungi oleh pasangan muda maupun tua. Mereka pergi kesana untuk menikmati momen tertentu yang mungkin tidak akan ditemukan dimanapun. Tidak ada gambar apapun mengenai tempat itu karena setiap pengunjung yang datang dilarang untuk mengambil gambar atau mengabadikan momen. Lantas jika momen itu tidak diabadikan, untuk apa mereka datang kesana? Pertanyaan itu masih menggantung di kepalanya sejak kemarin.
Meskipun begitu, sejumlah pasangan yang pernah datang kesana membagi pengalaman mereka selama berada di kota cinta. Sesuatu yang ajaib terjadi di sebuah tempat terpencil yang cahayanya tidak segermerlap kota, keindahannya tidak menyandingi surga, dan nilai estetik bangunan-bangunannya tidak seelegan restoran mewah. Namun, kota itu menyimpan sejuta cerita. Disanalah tempat peristirahatan bagi para pria maupun wanita lanjut usia, berdiri. Bangunannya tidak sebesar gedung bertingkat atau semewah hotel bintang lima, itu hanya berupa bata yang disusun rata satu persatu hingga membentuk sebuah rumah sederhana bagi mereka yang memutuskan untuk tinggal disana.
Karen tidak tahu gagasan apa yang lebih menarik bagi Jesse mengenai tempat itu. Apakah karena cerita-cerita sejumlah pasangan yang pernah datang kesana? Atau karena tempatnya? Bagi Karen, tidak satupun dari semua alasan itu telah menarik minatnya untuk datang kesana. Sementara menolak saran Kate mentah-mentah rasanya terlalu kasar. Ditambah lagi antusiasme Jesse untuk pergi kesana.
Lamunannya buyar seketika begitu Jesse kembali ke kursinya. Laki-laki itu menatap layar ponselnya sembari mengerutkan dahi, kemudian mengetikkan sesuatu untuk membalas pesan yang masuk. Karen masih mengamatinya sampai Jesse meletakkan ponselnya di atas meja dan mulai bergumam, “itu Harry lagi. Dia mau naskah baruku dirilis dalam waktu dua bulan, aku bilang tidak karena aku belum mempersiapkan segalanya. Naskahnya juga belum matang dan dia bilang kalau itu adalah waktu yang tepat untuk mendorong penjualan naskah yang lain. Aku harus menolaknya, tapi dia tetap bersikeras. Aku ingin tahu bagaimana pendapatmu tentang itu?”
Seolah Karen benar-benar tertarik untuk membahas topik itu di atas meja, persis di dalam gerbong kereta yang sedang bergerak entah kemana. Kelihatannya Jesse tidak memedulikan hal itu.
“Aku tidak tahu,” sahut Karen setelah lama terdiam.
“Apa?”
“Aku tidak tahu, Jesse. Kau mau aku bilang apa? Kalau kau menang ingin menundanya, katakan saja. Jika tidak, terima apa yang dia minta.”
“Kau tahu hal ini sangat penting untukku, kan? Aku ingin tahu pendapatmu. Kau tahu aku tidak akan melakukannya tanpamu. Maksudku, jika kau pikir kalau sebaiknya aku mengikui apa yang diminta Harry..”
“Jesse, apa hubungannya semua itu denganku? Kenapa juga kau harus mendengar pendapatku..” ucapan Karen disela dengan cepat oleh Jesse yang sudah mencondongkan tubuh di atas meja dan memiringkan wajah untuk menatapnya lebih dalam.
“Kau akan menandatangani kontrak itu denganku,” Jesse menegaskan sembari menangkup satu tangan Karen di atas meja dan membawanya mendekat.
“Apa..?”
“Dengar aku butuh bantuanmu!” potong Jesse dengan cepat. “Ini proyek besar, naskahku akan masuk dalam daftar buku terbaik dan akan ada banyak tur setelah ini. Itu akan memakan waktu sekitar satu sampai dua bulan, itu juga berarti aku akan mendapat penghasilan dua kali lebih besar daripada sebelumnya. Mereka ingin aku menandatangani kontrak itu dan aku akan membawamu sebagai pihak kedua..”
Kedua mata Karen berkaca-kaca. Hawa yang panas menjalar naik ke atas wajahnya membuatnya menarik tangan dari genggaman Jesse dengan cepat. Dengungan mesin dan suara percakapan samar di dalam gerbong kian menganggu, sementara itu kepalanya mulai berdenyut-denyut tak keruan.
“Kau tidak mengatakan soal kontrak itu sebelumnya?”
“Ya, aku berencana untuk mengatakannya padamu nanti setelah semua urusan ini selesai..”
“Urusan?” ulang Karen dengan ketus. “Urusan apa maksudmu?”
Sembari memejamkan kedua matanya, Jesse memperbaiki kalimat itu dengan cepat. “Maksudku perjalanan.”
“Jadi kau akan memberitahuku setelah perjalanan ini usai?”
“Dengar aku..”
“Tidak, Jesse. Biarkan aku memperjelas semuanya. Ini semua adalah bagian dari rencanamu. Aku bahkan tidak tahu kapan kau mulai melibatkanku dalam segalanya. Dan kau pikir, semuanya akan baik-baik saja setelah perjalanan ini berakhir? Kita bahkan belum sampai kemanapun dan aku sudah tidak sabar untuk mengakhirinya.”
“Karen.. dengarkan aku!” ucap Jesse pelan. Laki-laki itu menjaga suaranya untuk tetap tenang. Karen menyadarinya karena beberapa orang di dalam gerbong yang sama mulai mencuri-curi pandang ke arah mereka. Pikirnya mereka seperti lelucon disana. Pikiran itu sekaligus memicu rasa mualnya pada tingkat yang tidak dapat ditoleransi lagi.
“Dengarkan aku! Beri aku waktu untuk menjelaskannya, oke? Aku tahu kau sedang tertekan dengan urusan pekerjaan akhir-akhir ini, akupun begitu. Ditambah lagi kita harus menghadiri konseling dengan terapis. Aku berpikir kalau itu bukanlah waktu yang tepat untuk mendiskusikan masalah kontrak buku-ku, jadi kuputuskan untuk mengatakannya nanti. Lagipula, kemungkinannya masih lima puluh persen, tergantung pada keputusanku apakah naskah itu siap diterbitkan atau tidak. Aku baru membicarakan masalah kontraknya dengan Harry dua hari yang lalu, aku memang sengaja tidak memberitahumu karena kondisimu..”
“Kondisiku? Ada apa dengan kondisiku?”
“Kau tidak stabil.. kau tidak..”
Untuk kesekian kalinya sejak berada di dalam gerbong itu, Karen menertawai ironi yang disampaikan Jesse. “Ya Tuhan, Jesse.. kau perhatian sekali tentang kondisiku. Kau begitu perhatian sampai merasa tidak perlu untuk mendiskusikan apapun denganku dan mencantumkan namaku begitu saja dalam kontrak yang bahkan tidak pernah aku tahu!”
“Aku melakukannya karena kau istriku. Aku tidak akan menempatkan nama siapapun dalam surat kontrak itu dengan atau tanpa persetujuanmu, kau sudah tahu itu.”
“Tanpa memberitahuku?”
“Tolong pahami ini, ini proyek besar untukku, Karen..”
“Tanpa memberitahuku?” Karen mengulangi dengan suara yang lebih tegas. Tiba-tiba keheningan menyelimuti mereka. Mereka menatap satu sama lain dengan kecewa. Kernyitan muncul di dahinya. Ketika keheningan itu tak tertahankan, Karen mengalihkan tatapannya dengan cepat keluar jendela, sementara kepalanya kian berdenyut-denyut tak keruan. Di luar angin meneboros masuk ke celah jendela kereta yang terbuka, kemudian menyentuh lembut kulit wajahnya. Kereta bergerak cepat di atas rel, melewati hamparan ladang kosong seluas berhektar-hektar di satu disisinya. Di sisi lain bukit-bukit berdiri tinggi. Kabut putih tebal menyelimutinya dan dahan-dahan pohon besar melambai-lambai ke arah mereka.
Karen mengamati semua itu selagi merasakan embusan angin perlahan bergerak melewati wajahnya. Pikirannya meluap, kali ini berputar pada semua urusan di rumah: tentang Myra yang akan memulai sekolahnya dua bulan ke depan, dan juga urusan penjualan properti. Karen sempat mendiskusikannya dengan Jesse beberapa minggu yang lalu, ia mengatakan kalau sebaiknya menyelesaikan pembagian harta dan properti segera sebelum surat permohonan cerai itu sampai di tangan mereka. Dan setiap kali membicarakannya, Jesse selalu memalingkan wajah. Dua hari yang lalu, Karen bertemu dengan Paul, pengacara perceraian mereka untuk mendiskusikan surat pembagian harta bersama Karen. Paul mengatakan kalau Karen sebagai penggugat hanya akan mendapat sedikitnya tiga puluh persen dari keseluruhan hartanya bersama Jesse dan hak asuh bergantian jika Karen lulus tes untuk mengonfirmasi bahwa darahnya bersih dari alkohol dan obat-obatan. Paul meminta Karen untuk memikirkannya kembali dan menunda perceraian itu sampai Jesse benar-benar setuju dan mengajukan gugatan yang sama. Jika begitu peluangnya untuk mendapatkan pembagian harta dan hak asuh akan lebih besar, tapi Karen menolaknya dengan cepat dan mengatakan kalau ia akan menyetujui kesepakatannya meskipun itu berarti bagiannya lebih sedikit dari pada Jesse. Karen sudah menunggu lama untuk momen itu, ia tidak akan menundanya hanya karena uang dan properti. Lagipula alasannya untuk meninggalkan Jesse dan pernikahan mereka sudah lebih besar dari apapun yang mungkin didapatkannya jika ia tetap tinggal.
Jadi ketika tekanan untuk menyelesaikan urusan itu lebih cepat telah merasuki kepalanya yang semakin pening, Karen segera membuka releting tas berpergiannya dan mengeluarkan sebuah map hijau dimana tumpukan surat resmi pembagian harta dan properti yang diberikan Paul padanya berada. Karen membuka map itu di atas meja, membiarkan isinya berserakan disana selagi ia membolak balik kertasnya untuk mencari halaman dimana pernyataan perjanjian itu berada. Sementara itu, Jesse mengamati Karen dengan skeptis dari seberang meja. Dahinya mengerut, tiba-tiba ekspresinya mengeras. Karen sudah melihatnya jauh sebelum ia menyodorkan surat perjanjian itu ke arah Jesse.
Laki-laki itu tidak segera menyambut pemberiannya, alih-alih menatap Karen sebelum akhirnya menegakkan tubuh dari sandaran dan membaca surat itu dengan cepat.
“Apa maksudnya ini?”
“Itu surat penjanjian pembagian properti. Aku sudah mepelajarinya kemarin, aku mau kau membacanya baik-baik. Paul bilang isinya bisa direvisi, jadi kita bisa mendiskusikannya sekarang.”
Jesse bergeming menatap surat itu tanpa mengedipkan mata, kini tubuhnya menegang dengan kaku di atas kursi. Laki-laki itu kemudian mengalihkan perhatiannya ke luar jendela. Ekspresinya tampak ganjil, seperti ada sesuatu yang benar-benar menganggunya, tapi Karen menolak untuk bertanya. Ia memberi Jesse waktu sebanyak yang dibutuhkan laki-laki itu untuk memproses emosi apapun yang dirasakannya. Jelas kalau Jesse tidak senang. Ketika laki-laki itu berpikir bahwa mereka akan duduk tenang menikmati perjalanan menuju kota cinta dan memperbaiki apa yang sudah rusak sejak lama, Karen justru menyodorkannya surat perjanjian ke arahnya, meminta ia untuk mempertimbangkan semua itu sudah matang disaat ada kontrak besar yang menyita perhatiannya. Hanya saja Karen sudah tidak tahan lagi. Ia telah menunggu begitu lama, tidak ada alasan untuk menundanya lagi.
Akhirnya setelah lama berdiam diri dengan seisi pikirannya, Jesse mengepakkan semua surat-surat itu kembali ke dalam map dengan kesal kemudian menutupnya rapat-rapat.
“Kau serius? Aku baru saja ingin merayakan keberhasilanku bersamamu dan kau menyodorkan semua itu padaku?”
“Ini waktu yang tepat, aku tidak bisa menunggu lagi..”
“Ini bukan waktu yang tepat!” bantah Jesse. “Sama sekali bukan waktu yang tepat, Karen.”
“Sekarang kau bersikap egois..”
“Aku? Egois?”
“Ya, Jesse! Kau memyeretku dalam urusanmu bahkan tanpa mendiskusikannya denganku, tanpa memedulikan perasaanku..”
“Aku peduli padamu, Karen.. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi aku menyakinkanmu.”
“Pikirmu kau peduli, tapi aku tidak merasa begitu.”
“Begitu?” Jesse mengangguk, kemudian melipat kedua tangannya di depan d**a dan kembali bersadar di punggung kursi. “Jelaskan padaku!”
“Kau tidak ada disana ketika aku benar-benar membutuhkanmu – kau selalu sibuk dengan urusan pekerjaanmu. Kita jarang menngobrol lagi. Kau melewatkan makan malam bersamaku. Kita bahkan sudah tidak melakukan seks selama hampir tujuh bulan! Aku tahu kau sibuk, dan kau tidak punya waktu untuk mendiskusikan masalah di rumah lagi. Setiap kali aku berusaha untuk mendiskusikannya, kau akan berpaling dengan mengatakan kalau kau memercayai semua urusan itu padaku. Maksudku.. hubungan seperti apa itu? Tidak berbicara, tidak ada seks, tidak ada perasaan apa-apa.. Aku tidak bisa hidup seperti itu – aku tidak ingin.”
“Kau bilang aku tidak melakukan apa-apa? Aku mengantar Myra ke tempat latihannya beberapa kali dan setiap kali kau sibuk di galeri, aku mengurus semua pekerjaan rumah. Aku membersihkan garasi, aku memastikan semua yang kita butuhkan tersedia. Kau tidak memasukkan itu dalam hitungan? Apa aku pernah menolak panggilanmu sekali saja, sekalipun aku sedang sibuk? Apa aku pernah melewatkan waktu untuk menjemputmu? Apa aku melarangmu untuk melakukan sesuatu yang kau suka? Itu tidak masuk hitungan?”
Jesse menggeleng dengan kecewa dan tanpa menunggu reaksi Karen, laki-laki itu kemudian melanjutkan. “Kau berpikir kalau kau sendiri yang berjuang untuk pernikahan ini, tapi itu tidak benar, Karen! Sama sekali tidak. Aku menjalankan peranku juga, untukmu dan Myra. Sebisa mungkin aku akan menjaga kalian tetap aman. Aku menyetujui kontrak besar dengan Harry, karena aku tahu itu akan memperbaiki situasi. Karena dengan begitu aku bisa menyekolahkan Myra di tempat yang lebih bagus dan membayar semua les-nya. Karena dengan begitu, kau tidak perlu bekerja ekstra di galerimu. Kita bisa membeli rumah baru dengan penghasilanku dan mewujudkan mimpimu untuk memiliki rumah danau. Apa kau masih berpikir kalau aku tidak mengambil peran apa-apa disini?”
“Itu berbeda!” kilah Karen dengan keras. “Kau bekerja untuk dirimu. Semua itu adalah mimpi-mimpimu. Kau tidak pernah merasa keberatan dengan semua itu dan itu berbeda.”
“Apa maksudmu?” lempar Jesse, pelan tapi mengintimidasi. “Kau bekerja di galeri itu karena kau menyukainya. Kau bilang itu adalah pekerjaan impianmu sejak dulu. Kau tidak pernah keberatan untuk bekerja ekstra. Kau bilang bisnismu berjalan lancar disana..”
“Aku berbohong,” potong Karen jauh sebelum Jesse menyelesaikan kalimatnya. Tiba-tiba keheningan yang mencekam itu kembali mengelilingi mereka. Kini Jesse duduk termangun di atas kursinya, menatap Karen sembari mengerutkan dahi.
“Apa? Kau berbohong? Setelah bertahun-tahun?”
Karen menunduk menatap kuku-kuku jarinya di atas pangkuan. Ada sesuatu yang membuatnya berpikir ulang sebelum akhirnya ia mengungkapkan apa yang terbesit dalam kepalanya.
“Semuanya tidak berjalan lancar. Ada masalah. Aku tidak bermaksud membesar-besarkannya. Kupikir aku akan mengatasinya, kupikir itu akan berakhir, tapi kenyataannya tidak begitu. Yang terjadi masalah itu semakin melebar. Sekarang mereka berniat untuk menyingkirkanku dari sana. Mereka juga telah membayar seseorang untuk menggantikan posisiku.”
Seolah baru saja melihat petir di siang bolong, wajah Jesse tiba-tiba berubah pucat.
“Sejak kapan?”
“Sudah hampir tiga bulan yang lalu. Sebenarnya masalah itu datang sejak tahun kemarin, baru-baru ini menjadi semakin melebar.”
“Kenapa kau tidak mengatakannya padaku?”
“Aku tidak tahu, kupikir kau sibuk. Kau selalu bekerja sampai larut malam dan kau tidak punya waktu untuk berbicara, jadi..”
“Ya Tuhan, Karen.. jika kau mengatakannya sejak awal..”
“Dengar, Jesse! Bukan itu poin pentingnya. Apa yang terjadi, sudah terjadi. Itu sudah berlalu dan aku tidak bermaksud untuk mendiskusikannya sekarang. Poinnya adalah.. itu berbeda. Situasi kita berbeda. Aku tidak bertahan untuk diriku, aku bertahan untuk putriku.”
“Dia putriku juga, Karen..” tegas Jesse. “Dan kupikir kau keliru. Jika kau mengatakannya padaku lebih awal, kita akan berusaha mencari jalan keluar terbaik. Tidak seperti ini.”
Kedua mata Karen terasa perih. Ia mengerjapkannya dengan cepat untuk mengusir kesedihan yang hinggap disana. Sembari menggeleng, Karen menundukkan wajah, bingung untuk mengungkapkan emosi yang sudah tertahan di ujung lidahnya. Pikirnya jika ia mengungkapkannya sekarang, hal itu tidak akan membawa perubahan apapun. Karen tetap pada keputusan awalnya, entah bagaimanapun situasinya, sudah terlambat untuk mengubah pikiran.