Perjalanan menuju ‘The City of Love’, 1958
Norma merasakan sebuah emosi yang menggelitik perutnya ketika mendengar Richard mengucapkan nama gadis dari masa lalunya itu. Norma sudah tahu sejak lama, tapi ia tidak pernah mendengarnya langsung dari Richard. Meskipun begitu, Richard masih menyimpan semua barang-barang milik gadis itu di dalam peti yang tertutup rapat-rapat di dalam lemari. Norma hanya pernah melihatnya sekali secara diam-diam. Kalaupun Richard mencurigainya selama ini, laki-laki itu tidak pernah mengatakan apa-apa. Tapi Norma juga tidak pandai berpura-pura. Itu bukan kali pertama ia mendengar nama Alda, meskipun begitu puluhan tahun rasanya sudah meredam keinginannya untuk memprotes dan hanya menyisakan sedikit ruang di dalam benaknya untuk benar-benar mendengarkan Richard.
“Saat itu usiaku sekitar dua puluh lima tahun ketika aku berlayar menuju pelabuhan untuk mengantar belasan ton batu bara. Kami menjualnya pada seorang pemilik pabrik kaya raya yang sudah menjalani bisnisnya selama dua belas tahun. Atasanku mempercayakanku untuk memimpin ekspedisi, jadi hari itu aku mengepalai lima orang awak kapal, berlayar menyebrangi pulau untuk sampai di pelabuhan dimana kami bisa menurunkan batu bara itu disana dan kembali pada hari berikutnya. Aku cukup sering berlayar jadi aku tahu itu akan mengambil waktu sekitar dua hari untuk sampai di pelabuhan. Aku mengambil jalan pintas untuk sampai lebih cepat, tapi sayangnya cuacanya tidak mendukung. Kupikir hari cukup cerah sampai badai datang dan mengacaukan perjalanan kami. Sisi pinggir kapal mengalami kebocoran sehingga dua sampai tiga ton batu bara terendam air. Salah satu awak kapalku mengatakan kalau mesin kapal akan segera mati dan aku harus memutuskan dengan cepat sebelum kami benar-benar tenggelam. Akhirnya kuputuskan untuk singgah di pelabuhan terdekat dan mencari bantuan. Kami mempertaruhkan segalanya dalam perjalanan itu, maksudku.. jika batu bara tidak datang tepat waktu, maka pabrik tidak akan mau membayar biayanya sepeserpun. Aku tahu masalah itu akan kuhadapi cepat atau lambat, jadi lebih baik memikirkan keselamatanku dan lima awak kapal yang pergi bersamaku lebih dulu. Setelah berdiskusi, kami akhirnya sepakat untuk mencari pelabuhan terdekat dan menetap disana. Percayalah, tu bukan tempat yang cukup terawat, ada banyak kapal yang terdampar dan rusak disana. Hanya sebagain yang berfungsi, sisanya dibiarkan begitu saja. Para nelayannya menggunakan kapal-kapal itu untuk mengantar pasokan garam dan ikan ke pelabuhan terdekat, tapi setidaknya disana ada makanan dan tempat penginapan yang cukup murah untuk ditempati selama beberapa hari..”
Pelabuhan, 1914
Mesin kendaraan berdesing di tengah suara ribut dan dengungan percakapan di tengah kerumunan orang yang berkeliaran di sekitar pasar. Asap mengepul keluar dari kendaraan-kendaraan itu. Orang-orang berjalan tergesa-gesa untuk sampai di tempat tujuan mereka lebih cepat. Bangunan bertingkat yang berjejer rapi di pinggir jalan. Sejumlah kios pedagang yang berjualan di pinggir jalanan telah dipenuhi oleh belasan pembeli. Aroma wangi kue apel menguar dari salah satu ruko dengan cat dinding hijau yang berdiri di salah satu sudut jalanan. Richard memandanginya dengan perut keroncongan yang terus menyampaikan protesnya sejak ia singgah di pelabuhan, tapi ia tidak menghentikan langkahnya dan terus bergerak menyusuri pinggiran kota untuk mencari tempat penginapan.
Kota itu tidak hanya kecil tapi juga padat. Puluhan kendaraan yang berlalu lalang membaur di tengah jalan seperti ngengat yang saling berkejaran. Bau bahan bakar kendaraannya tercium dimana-mana. Orang-orang yang berada disana tidak begitu terganggu dengan kepadatan kota itu. Mereka terbiasa dengan rutinitas pagi yang cukup sibuk.
Di salah satu sudut jalan, sebuah gedung bertingkat dengan cat dinding coklat berdiri megah. Di depannya dipasang sebuah plang dengan tulisan besar berupa pengingat untuk menghadiri pertunjukan opera besok malam. Richard melihat puluhan orang sedang mengantre di depan loket untuk membeli tiket masuk. Wajah yang dipajang di permukaan itu adalah sebuah potret wanita berambut merah yang tersenyum lebar dengan menampilkan sederet gigi putihnya yang rata. Satu tangannya menyilang di antara tulang pinggulnya yang ramping dan ia mengenakan dress hijau yang sangat cocok dengan warna matanya. Tidak heran semua orang rela mengantre panjang untuk membeli satu tiket pertunjukkan itu. Kalau cukup beruntung, Richard akan menjadi salah satu orang yang berdiri depan panggung untuk menyaksikan opera itu.
Terlepas dari rasa penasarannya tentang pertunjukan opera, Richard memutuskan untuk melanjutkan langkahnya sampai ia menemukan sebuah bangunan dengan cat dinding putih yang telah mengelupas setelah dimakan usia. Bangunan itu menyewakan kamar untuk menginap. Letaknya tidak jauh dari kota dan pelabuhan sehingga Richard tidak berpikir panjang untuk menyewanya.
Seorang yang menyewakan bangunan itu juga cukup ramah. Ia memberitahu Richard dan kelima awak kapalnya tempat mana yang bisa mereka tuju untuk mendapatkan makanan dan hiburan. Malam itu, Richard memutuskan untuk pergi mengelilingi kota. Di pelabuhan orang-orang sedang menggelar pesta, sementara Richard dan awak kapalnya sedang bekerja untuk memperbaiki mesin kapal mereka yang terendam air.
Suara musik dimainkan, dari tempatnya berdiri, Richard menyaksikan puluhan lilin dipasang membentuk sebuah barisan yang rapi di pelabuhan. Kemudian orang-orang mulai bersorak menyambut kedatangan gadis yang dilihatnya dalam poster teater di kota. Selama sesaat Richard lupa apa yang hendak dilakukannya. Ia meletakkan tumpukan potongan kayu yang telah dikumpulkannya begitu saja kemudian berjalan mendekati kurumunan untuk melihat gadis itu lebih dekat. Ketika ia datang, orang-orang telah membentuk lingkaran besar dimana tiga pasangan kekasih menari di tengah-tengahnya. Tepat di seberang tempatnya berdiri, ia menyaksikan gadis itu tersenyum lebar sembari memandangi pasangan yang tengah menari di tengah lingkaran.
Keributan kembali pecah ketika lima orang aktris panggung lainnya datang untuk bergabung dalam pesta. Sorakan menggantung di sekelilingnya, kerumunan orang saling berebut mendapat giliran untuk mendekati para aktris panggung itu, sementara Richard berdiri terpaku di tempatnya memandangi gadis berambut merah yang tersenyum ke arahnya itu. Sepasang mata hijaunya berkilat, wajahnya yang merona menunduk karena malu, kemudian gadis itu menghilang untuk meninggalkan kerumunan.
Richard tahu seharusnya ia membawa potongan kayu-kayu itu dan kembali pada awak kapalnya, tapi ia malah menuruti naluri untuk mencari gadis itu di dekat pantai. Ada sebuah tenda kecil disana, dimana dua orang pria sedang berdiri di depan untuk berjaga. Richard menyaksikan saat gadis itu masuk ke dalam tenda dengan kepala ditundukkan. Tatapannya yang kosong tampak berkaca-kaca. Tapi ia tidak mendapat kesempatan untuk membaca emosinya lebih jelas karena ketika Richard berjalan mendekati tenda, dua penjaga itu langsung menghentikannya.
“Apa yang mau kau lakukan?”
“Gadis itu..” ucap Richard sembari menunjuk ke dalam tenda dimana gadis itu berada. “Siapa namanya?”
Dua penjaga yang menahannya saling bertukar pandang sembari mengerutkan dahinya. Salah satu dari mereka kemudian bertanya, “kau tidak mengenalnya?”
“Sebenarnya aku baru disini.”
“Jika kau ingin tahu siapa dia, kau bisa datang ke pertunjukkannya besok. Sekarang berputarlah! Tempat ini tidak bisa dilewati untuk sementara.”
Richard enggan membantah. Ia menuruti persis seperti yang dikatakan oleh penjaga itu. Sesekali ia memutar wajahnya untuk menatap tenda dari atas bahunya dan bertanya-tanya apa yang membuat gadis itu menangis.
-
“Jadi itu adalah saat pertama kali kau melihatnya secara langsung?” tanya Norma dari kursinya di seberang meja.
Richard mengangguk. “Ya. Sepanjang malam aku tidak bisa tidur memikirkan gadis ini. Aku harusnya melakukan sesuatu untuk memperbaiki kapal kami, tapi aku malah beripikir untuk menyaksikan pertunjukan opera itu.”
“Kau tidak suka menyaksikan pertunjukkan opera..”
Richard mengerutkan dahi saat memikirkannya. “Aku menyaksikan opera beberapakali saat aku masih muda. Kurasa kita pernah pergi ke pertunjukan opera sebelum Lily lahir.”
“Itu bukan opera!” bantah Norma dengan cepat. “Lagipula itu juga tidak bisa disebut pertunjukan. Itu hanya pertunjukan musikal sederhana yang diadakan di panggung kecil.”
“Benarkah?”
“Ya, Richard. Kita sangat sibuk dengan urusan rumah tangga. Perekonomian sedang krisis, kau digaji sangat minim sementara kita harus menyekolahkan Arthur. Kita tidak punya uang untuk membeli tiket pertunjukan semegah itu.”
“Aku ingat itu, Norma. Ketika kau keluar dari pekerjaanmu dan krisis itu datang tak lama setelahnya. Itu adalah keputusan terburuk yang pernah kita buat.”
“Ya.”
“Tapi, jika aku mampu membayarnya, apa kau akan pergi ke pertunjukan opera?”
Norma tidak segera menjawab pertanyaan itu. Matanya menatap ke sekeliling gerbong kemudian kembali pada Richard dengan lesu. Ada kebimbangan dalam suaranya saat wanita itu berkata, “aku tidak tahu, Richard. Aku tidak tertarik pada Opera.”
“Tapi apakah suatu saat kau ingin menyaksikannya?”
“Ya, mungkin. Aku pernah berpikir untuk menyaksikan pertunjukan opera, tapi aku tidak pernah benar-benar melakukannya.”
Kini Richard bergeming di atas kursinya. Cahaya matahari yang menyusup masuk melalui jendela menyorot kesedihan dalam raut wajahnya. Saat itu Norma menjulurkan tangannya ke seberang meja dan meraih tangah Richard selagi bertanya, “ada apa?”
“Aku baru saja berpikir kalau aku tidak memberi pengalaman yang cukup untuk Arthur dan Lily. Mereka tumbuh besar dalam kekurangan. Kalau saja aku tidak mengacau, hidup kita mungkin bisa lebih baik saat itu. Aku sudah mengecewakanmu, kan, Norma?”
“Siapa bilang begitu?” bantah Norma dengan tegas. “Aku tidak menyalahkanmu atas apa yang terjadi pada kita dalam tahun-tahun yang sulit itu, Richard.”
“Ya, tapi putra kita.. dia bisa saja hidup seperti anak-anak lain seusianya. Tapi aku tidak bisa memberikan itu padanya. Dia tidak punya kebebasan untuk memilih, dan aku bertanggungjawab atas hal itu. Kurasa itulah sebabnya dia membenciku. Kau sebaliknya, kau adalah ibu yang sangat baik. Kau mengurusnya lebih baik dari pada aku. Terkadang aku menjadi begitu kacau dan tidak bertanggungjawab dengan meninggalkanmu sendirian di tahun-tahun pertama setelah kelahiran Arthur. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan saat itu, tapi aku hanya ingin menjauh dari semua itu. Bekerja untuk menghidupi keluarga nyatanya tidak semudah yang kukira. Aku merasa seperti urusan pekerjaan dan rumah tangga benar-benar menguras energiku dan aku hanya ingin menjauh tanpa memikirkan perasaanmu.”
“Kita sama-sama bukan orangtua yang baik untuk putra kita, kau tahu itu, Richard. Ingat ketika aku berteriak di depan wajah Arthur? Dia sangat marah padaku, dia tidak mau berbicara padaku saat itu. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Kau juga tidak ada disana untuk menolongku, jadi aku lepas tangan dan menyerahkan masalah itu pada ibuku. Harus kuakui itu bukan tindakan tepat yang seharusnya dilakukan seorang ibu. Jika aku ibu yang baik untuknya, maka seharusnya aku tidak melibatkan orang lain hanya untuk membujuk putraku.”
Senyum tipis muncul di wajah Richard. Kini laki-laki itu menumpukkan satu tangannya yang bebas di atas punggung tangan Norma kemudian mengusapnya pelan. Tangan Richard terasa kasar, tapi juga memberinya kehangatan. Melihatnya membuat Norma teringat masa-masa sulit yang mereka telah lalui di tahun-tahun awal pernikahan. Masalah datang bertubi-tubi. Terkadang sifat egois mengalahkan akal sehat. Sifat itu masih bertahan selama belasan tahun. Tidak hanya sekali Norma menumpahkan kesedihannya dengan menangis sendirian. Sementara Richard melakukannya dengan cara lain. Laki-laki itu lebih memilih pergi untuk menenangkan diri. Norma suka mendiskusikan masalah di atas meja, meskipun seringnya hal itu tidak berjalan mulus, Richard sebaliknya. Jika diberi pilihan, laki-laki itu mungkin akan memilih untuk tidak membahasnya sama sekali.
Waktu berlalu, setidaknya mereka memiliki dua anak yang harus dibesarkan sebagai alasan untuk mempertahankan pernikahan itu. Norma pernah mendengar sebuah suara di saluran radio yang diputar pada pertengahan musim panas. Suara itu memberitahunya bahwa waktu akan menyembuhkan luka dari masa lalu yang tidak terobati. Norma selalu mengingatnya. Setiap kali ia menatap pada bangunan kayu sederhana yang telah menjadi rumahnya bersama Richard selama lebih dari dua puluh tahun, tempat dimana perdebatan dan kehangatan terjadi, Norma akan menitihkan air mata mengingat betapa menyesal sekaligus beruntungnya ia memiliki semua itu.
Waktu yang menyembuhkan lukanya hingga pada satu hari dalam satu momen tertentu Norma menyadari bahwa keluarga kecilnya yang tidak sempurna adalah semua hal yang dibutuhkannya di dunia. Norma tidak membutuhkan hal lain untuk merasa lebih bahagia di dalam rumah kayu sederhana itu.
“Bagiku kau tetap ibu yang baik untuk Arthur dan Lily. Aku tidak akan mendapat yang lebih baik lagi,” ucap Richard dengan lembut.
Norma yang tanpa sadar sudah menitihkan air mata, langsung menyekanya dengan satu tangan kemudian tersenyum lembut ke arah laki-laki tua yang duduk di seberangnya. Kedua mata biru yang selama puluhan tahun ditatapnya itu kini tampak sendu. Keriput mengelilinginya. Rambut ikal gelap yang tebal yang dulu memanjang, jatuh di atas dahi secara tak beraturan hingga terkadang Norma harus mencukurnya, kini telah menjadi tipis dan memutih. Sepasang mata sendu itu menyimpan banyak cerita yang ingin selamanya dijelajahi Norma, tidak peduli kemanapun mereka pergi.
“Sekarang, Richard, kenapa kau tidak mengatakan padaku apa yang terjadi setelah pesta malam di pelabuhan itu?”
Richard menggeser tubuhnya. Masih memandangi Norma, laki-laki itu kemudian membuka mulutnya dan mulai berbicara..