Bab 6

1795 Words
Perjalanan menuju ‘The City of Love’, 1998 “Hei, Karen!” ucap Jesse dari seberang meja. Lamunan Karen buyar. Selama sesaat ia baru sadar kalau sedari tadi Jesse sedang berbicara dengannya. Cairan kopi di dalam gelasnya sudah setengah kosong. Sementara itu mereka masih duduk berhadapan di gerbong nomor tiga. Selagi Jesse meninggalkan Karen untuk menelepon rekan kerjanya melalui telepon kabel yang disediakan di kereta, Karen menatap keluar jendela dengan kosong. Pikirannya berada di tempat lain, sebuah tempat di tengah kota yang dipenuhi oleh hiruk-pikuk orang banyak. Sesekali ia mengingat galerinya, kemudian dengan cepat pikiran itu buyar, digantikan dengan masalah di dalam rumah. Putri semata wayangnya, Myra, akan masuk sekolah tahun depan. Karen harus memikirkan cara untuk membagi waktunya pada urusan pribadi dan pekerjaan. Jesse yang beberapa bulan terakhir disibukkan oleh masalah pekerjaan sangat sulit untuk diajak mendiskusikan urusan itu. Selalu saja ada pengganggu yang muncul. Pikirnya pergi ke terapis pernikahan akan membuat segalanya menjadi lebih baik, tapi Karen mulai percaya kalau itu hanya membuang-buang waktu saja. “Aku minta maaf, tadi aku harus menghubungi Harry untuk urusan darurat.” Karen menatapnya sesaat, kemudian menunduk sembari menggelengkan wajah. “Tidak masalah, ambil waktumu.” Jesse kelihatannya punya sesuatu yang hendak disampaikan. Namun laki-laki itu malah menatap ke sekelilingnya, mencari sesuatu yang tidak ada sebelum mengungkapkan isi pikirannya. “Bagaimana Myra tadi sebelum kau meninggalkannya?” tanya Jesse untuk memecah keheningan yang mencekik. Karen kemudian mengingat momen ketika ia meninggalkan Myra di rumah adik perempuannya pagi tadi. Jesse tidak ikut karena laki-laki itu langsung berkendara menuju stasiun untuk memesan tiket dan mempersiapkan semua urusan untuk kepergian mereka selama beberapa hari. Firasat Karen mengatakan kalau itu tidak akan berlangsung lama. “Dia sedang tidur, aku tidak tega membangunkannya.” “Tapi kau sudah mengatakan padanya..” “Kau jangan mencemaskannya!” ucap Karen, menyela ucapan Jesse. Ia mengatakannya sembari memijat keningnya. “Semuanya terkendali.” Ekspresi Jesse berubah. Laki-laki itu kini mengerutkan dahinya dengan dalam. Ketika mengamati sikap Karen yang terkesan skeptis, Jesse berpikir kalau situasi itu perlu diperbaiki. “Ada apa? Apa yang menganggumu?” “Tidak apa-apa. Kenapa kau berpikir kalau sesuatu mengangguku?” lempar Karen. “Kau tidak kelihatan senang.” Ungkapan itu membuat Karen menarik rahangnya dan tersenyum lebar. Tapi Jesse melihat dengan jelas bahwa senyuman itu tidak dimaksudkan untuk apapun kecuali sindiran halus untuk pertanyaannya. “Kau mau aku bilang apa? Ini wajahku. Kau mau aku terlihat seperti apa?” Jesse sudah membuka mulut untuk menanggapi ucapan Karen, tapi kemudian mengurungnya kembali dan malah berkata, “kau mau berbicara? Ayo berbicara! Ini waktu yang tepat.” “Waktu yang tepat?” Karen mengulangi. “Ya, ini waktu yang tepat. Kenapa?” Tidak ada jawaban. Suara desingan mesin kereta dan dengungan percakapan menggantung di sekitar mereka. Sementara Karen masih duduk disana, menunduk seolah baru saja mendengar kabar buruk. “Karen, kenapa?” tegur Jesse. “Kapan aku bisa tahu kalau itu adalah waktu yang tepat untuk berbicara atau sebaliknya?” “Apa maksudmu?” “Maksudku, kau sudah begitu sibuk dengan pekerjaanmu akhir-akhir ini sampai kau tidak pernah punya waktu untuk berbicara. Kenapa juga aku harus berbicara denganmu sekarang? Maksudku.. dimana kau selama ini, Jesse? Apa kau pernah meluangkan waktumu sedikit saja untuk duduk dan berbicara?” “Karen, apa yang kau bicarakan? Sekarang kita ada di kereta dan sedang dalam perjalanan panjang.. aku disini, duduk di depanmu, mendengarkanmu. Aku meluangkan waktu untuk perjalanan ini, kenapa kau masih berpikir kalau aku begitu sibuk sampai tidak punya waktu untukmu?” Karen mendengus keras, kedua matanya berkilat, tapi Jesse dapat menangkap kesedihan disana. “Kau.. meluangkan waktumu untuk perjalanan ini?” “Ya.” “Demi aku?” “Demi pernikahan kita.” “Tidakkah menurutmu itu aneh Jesse?” lempar Karen sembari memiringkan wajahnya dan menyipitkan kedua mata. Jari-jarinya saling bertaut di atas meja. Jari-jari itu terus bergerak dengan gelisah. “Aneh kenapa?” “Maksudku.. itu sudah jelas. Kita melakukan perjalanan panjang, untuk alasan apa? Menyelamatkan pernikahan? Siapa yang melakukan perjalanan panjang untuk menyelamatkan pernikahan? Itu konyol! Tidak ada yang baik-baik saja tentang situasi ini, aku sudah merasakannya jauh sebelum kau sadar, dan aku sama sekali tidak berpikir kalau semua ini akan memperbaiki segalanya.” “Kita melakukan sesuatu. Setidaknya itu layak dicoba. Ingat apa yang dikatakan Kate?” Sembari menegakkan tubuhnya di atas kursi, Karen bertanya dengan suara mantap. “Bagian mana tepatnya?” “Tentang proses. Segalanya bisa membaik jika kita mengikuti prosesnya.” Sekali lagi Karen mendengus keras. Kedua bahunya yang tegak kembali merosot. “Kau begitu naif sejak dulu, aku sampai lupa sifatmu itu.” “Kau tidak berpikir begitu?” Karen menimbang sejenak sebelum menjawab, “kupikir sudah terlambat untuk itu.” Keheningan yang mencekam kembali mengisi ruang kosong di antara mereka. Karen berlama-lama ketika menatap Jesse. Ingatan tentang masa-masa sulit yang berlalu masih membayanginya. Seingatnya Jesse tidak pernah hadir disana. Dalam beberapa kesempatan ketika Karen berusaha menyampaikannya, Jesse selalu terlihat sibuk dalam pekerjaannya. Terkadang Jesse duduk di ruang tengah selama hampir seharian, menyusun naskah yang akan diserahkannya ke penerbit. Setelah urusan naskah usai, laki-laki itu kemudian disibukkan oleh jadwal tur bukunya yang begitu padat. Orang-orang sangat menggemari karyanya, ungkap Jesse suatu malam di atas meja makan. Karen pikir Jesse akan berhenti disana dan tidak membawa masalah pekerjaan ke atas meja makan, tapi Karen enggan memprotesnya. Jesse kelihatan begitu antusias menceritakan buku-bukunya sampai laki-laki itu tidak lagi meletakkan perhatiannya pada apa yang diinginkan Karen. “Sudah terlambat?” Jesse mengulangi dengan kecewa. “Baik, kau bisa menjelaskan padaku mengapa kau berpikir kalau semuanya sudah terlambat..” “Aku tidak mau menjelaskan apa-apa, Jesse!” potong Karen dengan cepat. Satu tangannya terangkat di udara, matanya terperjam dengan frustrasi. “Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi.” “Lagi? Kau bahkan belum menjelaskan apa-apa. Sikapmu membingungkanku..” “Jika aku menjelaskan semuanya padamu, kau tidak akan mengerti. Kau akan membantahnya dan berpikir kalau itu adalah gagasan yang konyol.” “Kenapa tidak mencobanya dulu?” Jesse bersikeras. Tubuhnya dicondongkan di atas meja. “Aku mendengarkanmu baik-baik. Itulah tujuan dari perjalanan ini, ingat? Ayo, jelaskan padaku! Apa yang ingin kau katakan?” “Ya Tuhan, kau tidak mengerti..” “Apa poinnya, Karen?” “Poinnya adalah, aku tidak mau menjelaskan apa-apa.” “Jadi itu salahku, kan?” “Tidak. Tidak ada yang salah denganmu. Aku baik-baik saja, kau baik-baik saja, tidak ada yang salah. Yang terjadi memang sudah seharusnya terjadi.” “Apa maksudnya itu?” “Maksudnya, tidak ada sesuatu yang bisa kita lakukan untuk mengubahnya. Itu sudah berakhir. Aku tidak mau mendiskusikannya.” “Itu sudah berakhir?” “Ya. Sudah berakhir.” “Jadi apa yang akan kau lakukan?” Karen tidak segera menjawab pertanyaan itu. Dadanya terasa sesak dan kedua matanya sudah berair. Untuk kesekian kalinya, ia mengalihkan tatapan ke luar jendela, merasa enggan untuk menatap Jesse yang masih duduk diam menunggunya berbicara. Namun jawaban atas pertanyaan Jesse sudah terbesit dalam benaknya sejak tadi. Karen mendapati dirinya kesulitan untuk mengatakan hal itu meskipun pada akhirnya ia mengutarakannya juga. “Aku sudah berbicara dengan Don, dan dia akan mengurus segalanya. Surat perceraiannya akan keluar beberapa hari lagi, aku akan menunggumu dan kita bisa memperlajarinya bersama-sama..” Jesse memalingkan wajahnya sembari mengembuskan nafas dengan keras seolah laki-laki itu enggan mendengar apa yang hendak disampaikannya. Di saat yang bersamaan, sikap tidak acuh Jesse membuat Karen menghentikan ucapannya. “Itu bukan solusinya,” ucap Jesse sembari menyandarkan tubuh di atas kursi dan melipat kedua tangan di depan d**a. “Aku tidak menginginkan perceraian, kau tidak bisa memutuskannya secara sepihak.” “Aku tidak..” bantahan itu sudah ada di ujung lidah, tapi kemudian Karen menghentikannya dan balik bertanya, “apa maumu?” “Aku ingin kita mendiskusikannya dengan pikiran dingin dan mencari solusi lain.” “Solusi apa? Itu tidak akan memperbaiki segalanya..” “Kita bahkan belum mendiskusikannya.” “Itu percuma saja, Jesse!” suara Karen meninggi beberapa oktaf sampai-sampai ia menarik perhatian beberapa penumpang di sekitar mereka. Wajah Karen kemudian memerah karena jengah, kemudian sembari mencondongkan tubuhnya, Karen berbicara dengan lebih pelan. “Seperti yang sudah kukatakan padamu, tidak ada yang bisa dilakukan. Semuanya sudah terlambat. Aku tidak mau mendiskusikannya karena aku tidak ingin. Yang terjadi sudah terjadi.” Jesse mendengus keras. Seredet gigi putihnya yang rata muncul di atas wajah. “Apa kau sadar kalau kau sudah menjadi begitu egois, Karen?” “Aku? Egois?” “Ya.” “Ya Tuhan, kau pasti bercanda! Dimana saja kau selama ini, Jesse? Kau begitu sibuk dengan urusanmu sampai kau tidak sadar kalau semuanya sudah berakhir. Itu sudah berakhir! Bagaimana lagi aku harus mengatakannya padamu?” Merasa enggan menerima ucapan Karen mentah-mentah, Jesse kembali menegakkan tubuhnya. Ia sadar bahwa amarah mulai menguasainya seperti setan yang terus berbicara di kepalanya, merasukinya untuk menyembur Karen dengan bantahan keras hanya agar wanita itu luluh. “Jadi menurutmu itu sudah berakhir?” “Ya, itu sudah berakhir.” “Lalu kenapa kau setuju untuk pergi? Kenapa kau datang ke terapis? Untuk alasan apa?” “Kau tahu apa, Jesse? Aku merasa bahwa aku butuh bantuan. Aku sadar bahwa situasinya mulai berada di luar kendali dan karena itu aku meminta pertolongan.” “Dengan orang asing?” “Dia bukan orang asing, Jesse! Dia seorang terapis. Orang-orang yang butuh pertolongan datang padanya.” “Aku tahu. Kau tidak perlu menjelaskan profesi mereka padaku. Tapi pertanyaanku adalah, kenapa kita harus pergi ke terapis ketika kita bisa mendiskusikannya secara empat mata dan dengan pikiran terbuka?” Karen tertawa geli sekaligus merasakan kedua matanya basah oleh air mata. “Ya Tuhan! Kau benar-benar berengsek, kau tahu?” “Aku tidak tahu,” Jesse menggeleng cepat. Kedua tangannya terangkat sebagai tanda menyerah. “Au tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku tidak bisa memahamimu jika kau tidak bicara padaku, Karen.” “Dan sudah kukatakan padamu, Jesse..” sambung Karen dengan suara pelan. “Sudah terlambat untuk itu.” Jesse sudah membuka mulut, tapi kemudian mengurung niatnya dan kembali diam. Kedua tangannya terlipat di atas meja, pikirannya pergi jauh entah kemana, dan tatapannya jatuh di atas permukaan meja, tepat pada gelas kopinya yang sudah kosong. Keheningan itu berlangsung lama sampai seorang pelayan datang untuk membersihkan meja mereka dan berkata, “ingin pesan sesuatu?” “Tidak, terima kasih,” sahut Jesse dengan cepat. Sang pelayan mengangguk kemudian pergi meninggalkan meja mereka yang sudah bersih. Karen memandangi Jesse dari seberang meja. Laki-laki yang sedang menggosokkan jari-jari di atas rahangnya itu tampak kebingungan. Sementara dengungan percakapan masih menggantung di sekitar mereka, kontras dengan keheningan yang singgah di atas meja untuk waktu yang lama. “Ini konyol,” ucap Jesse setelah beberapa menit yang hening. Karen tidak menanggapinya, kemudian laki-laki itu tidak berbicara apa-apa lagi. Matanya menatap ke luar jendela, dahinya mengerut penuh pertimbangan. Karen penasaran apa yang sedang dipikirkannya..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD