Bab 5

1324 Words
Perjalanan menuju ‘The City of Love’, 1958 Norma mengerutkan dahinya selagi menyaksikan Richard menghabiskan semangkuk es krim coklat dengan antusias. Di sekelilingnya orang-orang sedang menikmati kopi panas dan percakapan mereka dengan santai. Kereta telah bergerak melewati pemberhentian pertama. Dari balik jendelanya, Norma menyaksikan deretan bangunan tua yang berjejer di sepanjang jalur rel. Kemudian ada perbukitan yang menyembunyikan pemandangan langsung ke arah kota, dimana gedung-gedung bertingkat memberondong seisi jalan. Hamparan pepohonan dan padang rumput seluas berhektar-hentar membentang di hadapannya. Di kejauhan, jalur rel yang kosong menantinya. Pagar kawat membatasi area di sekitar jalur itu. Norma menyipitkan kedua mata saat cahaya matahari yang bergerak melewati puncak bukit tinggi menyorot wajahnya. Tiba-tiba ia mengingat rumah lama yang ditempatinya selama lebih dari dua puluh tahun. Disanalah Norma tumbuh dan dibesarkan. Struktur rumah itu terbuat dari kayu yang kokoh. Bangunannya sudah berdiri selama puluhan tahun namun pondasinya masih cukup kokoh untuk bertahan dalam cuaca ekstrem. Rumah itu tidak memiliki kaca jendela. Dinding-dinding dibuat secara khusus untuk melindunginya pada musim dingin. Dan ladang seluas belasan hektar yang mengelilingi rumahnya sudah lama digunakan untuk memanen jagung dan gandum. Dulu Norma bekerja disana membantu ayahnya. Mereka kekurangan pekerja sampai Richard akhirnya datang dan membantu mereka mengurus ladang sementara Norma bekerja di peternakan bersama ibu dan saudara perempuannya. Setiap pagi mereka akan pergi ke gereja untuk memulai kebaktian. Semua orang yang dikenalnya berkumpul disana untuk berdoa. Normal merupakan satu dari belasan relawan yang bekerja untuk gereja. Disanalah untuk kali pertama Norma dilatih menjadi perawat. Dua tahun berikutnya, di usianya yang ke dua puluh tahun, Norma dan teman-temannya akhirnya dikirim ke karantina untuk membantu para tentara yang gugur di medan perang. Sifat Norma keras seperti ayahnya. Namun sifat itu sekaligus membuat Norma terlihat lebih tangguh dibandingkan teman-teman sesama perawatnya yang lain. Mereka akan mengandalkan Norma untuk mengurus para prajurit yang mengalami luka serius. Norma bukannya gadis pemalu yang lahir dan tumbuh besar di kawasan pegunungan. Ia sudah melihat darah dan kengerian yang terjadi selama perang dan ia dilatih untuk bersikap tenang dalam situasi itu. Sesekali ketika Norma melihat luka parah yang diderita oleh beberapa prajurit, ia akan menyingkir untuk menyendiri. Kemudian ketika tidak ada siapapun yang menyaksikan, Norma akan menangis keras. Kesedihan, rasa takut, dan kegelisahannya tumpah secara bersamaan. Tapi begitu Norma kembali pada pekerjaannya, semua emosi itu luntur begitu saja. Richard sebaliknya. Laki-laki itu dapat dikatakan terlalu emosional. Richard suka menyembunyikan isi pikirannya dan terkadang Norma benar-benar penasaran. Setelah menelewati hampir lima puluh tahun pernikahan bersama Richard, setiap hari Norma merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Richard. Terkadang Norma hanya akan mengabaikannya. Mereka sempat bertengkar sesekali. Dalam tahun-tahun awal setelah Norma melahirkan bayi laki-laki pertamanya yang diberi nama Arthur, hubungannya dan Richard menjadi kacau balau. Tidak hanya sekali pemikiran untuk mengakhiri pernikahan mereka terbesit dalam benaknya, tapi kemudian sejumlah kejadian secara beruntun saling bekerjasama untuk mencegah hal itu terjadi. Anehnya beberapa bulan setelahnya, Norma akan kembali pada pemikiran bahwa ia merasa begitu bersyukur karena tidak pernah meluruskan niat itu dan hal itu terjadi bukannya tanpa alasan. Mencintai Richard adalah sesuatu yang aneh untuk Norma, namun membencinya terasa lebih aneh. Meskipun kedengarannya klise, faktanya terasa jauh lebih baik. “Kau pernah mengatakan mereka menanam tanaman obat-obatan di kaki bukit, bukan?” tanya Richard sembari menyingkirkan mangkuk es krimnya yang kosong. Laki-laki itu kemudian bersandar di punggung kursi sembari menggosok kepalanya yang beruban. “Ya, memangnya kenapa?” “Apa mereka masih melakukannya sampai sekarang?” “Aku tidak tahu, itu sudah lama sekali.” “Apa yang membuatmu begitu yakin untuk membawaku ke tempat ini?” Sembari melipat kedua tangannya di atas d**a, Norma memandangi laki-laki itu dengan serius. “Aku mengenal tempat ini cukup baik, Richard. Dulu aku dan beberapa temanku pernah bekerja disana. Mereka mengajarkan kami jenis-jenis tanaman obat dan juga cara merawatnya. Mereka punya beberapa alat canggih untuk mendeteksi suatu penyakit dalam. Pemerintah disana membayar mahal untuk menunjang penelitian khusus tentang kesehatan. Setidanya disana fasilitasnya lebih memadai jika dibandingkan dengan tempat manapun. Dulu temanku yang mengidap parkinson datang kesana. Sebelumnya dia divonis tidak akan bertahan selama lebih dari dua tahun. Kenyataannya setelah menjalani pengobatan dan terapi disana, dia bisa hidup selama lima tahun, meskipun akhirnya dia meninggal diusianya yang masih cukup muda.” “Dan kau pikir itu akan bekerja untukku?” “Ya, tentu saja.” “Apa kau takut, Norma?” “Apa maksudmu, Richard?” “Aku bertanya padamu, apa kau takut melihatku mati? Seburuk itukah?” Ekspresi Norma tiba-tiba mengeras. “Tidak, Richard. Kematian tidak membuatku takut. Kau tahu aku bekerja selama satu tahun di karantina dan menyaksikan ratusan prajurit dengan luka-luka parah tewas di depan wajahku. Itu jelas bukan sesuatu yang membuatku takut.” “Lalu apa yang membuatmu begitu takut?” Keheningan yang mengelilingi mereka sejenak diisi oleh suara gemuruh mesin kereta yang masih bergerak cepat dan dengungan percakapan di sekitarnya. Kemudian Norma menatap keluar jendela dan berkata, “tidak ada. Tidak ada yang membuatku takut. Sudah lama aku tidak merasakan hal itu.” Kini Richard menggaruk-garuk rahangnya yang tidak gatal. Ketika laki-laki itu mengerutkan dahinya, Norma tahu bahwa itu meruapkan sebuah pertanda yang jelas bahwa Richard tidak memercayai ucapannya barang sedetikpun. “Begitu..” ucap Richard. “Lucu sekali karena kupikir kau takut akan banyak hal.” “Itu tidak benar..” “Aku bisa melihatnya dari matamu, Norma, dan kau selalu berkedip dua kali setelah berbohong.” Richard mengejutkan Norma, tapi bukan karena fakta bahwa laki-laki itu memperhatikan detail gerak-geriknya, melainkan fakta bahwa Norma sendiri tidak yakin kalau ia mengatakan yang sebenarnya. “Jika begitu,” ucap Norma untuk menanggapi pertanyaan terakhir Richard yang terkesan menyudutkannya. “Menurutmu apa yang membuatku takut?” “Kau takut akan kehilangan, tapi kau begitu keras untuk menerimanya begitu saja. Itulah mengapa kau melatih dirimu untuk menghadapinya. Apa yang kau alami di karantina, aku bisa melihatnya. Kau menangis sendirian, kau tidak akan melibatkan orang lain.” “Aku tidak pernah membicarakan hal itu padamu. Lagipula, apa yang tertinggal di karantina sudah tertinggal disana. Kalaupun aku memang takut akan kehilangan, aku sudah mengatasinya sejak puluhan tahun lalu.” Richard menolak untuk memercayainya begitu saja dan bertanya, “bagaimana dengan kematian kedua orangtuamu?” “Itu berbeda.” “Itu sama saja, Norma. Kita semua takut kehilangan sesuatu yang kita cintai, itu sudah pasti.” “Kau mengatakan padaku kalau kau tidak menyesali kematian kedua orangtuamu.” “Orangtuaku adalah orang egois. Mereka meninggalkanku. Aku tidak membenci mereka, tapi aku juga tidak mencintai mereka. Tapi kau, Arthur, dan Lily adalah orang-orang yang kucintai dan aku sangat ketakutan jika aku kehilangan kalian.” “Seingatku kau pernah bilang kalau kau sudah mengalami kehilangan sebelumnya?” Lagi-lagi Richard mengerutkan dahinya. Kini dengan santai ia menyampirkan satu lengannya di atas kursi sembari berkata, “ah.. ya. Tapi itu adalah jenis kehilangan yang berbeda.” “Aku tidak mengerti, Richard.” Richard menondongkan tubuhnya di atas meja, tiba-tiba suaranya menjadi pelan. “Kau ingat gadis yang pernah kuceritakan padamu?” “Sang aktris panggung itu? Siapa namanya.. tunggu, biar kuingat. Alda?” “Ya.” “Kau selalu menolak untuk menceritakan padaku tentang gadis itu.” “Ya, memang benar. Apa kau mau mendengarnya sekarang?” Selama beberapa saat yang hening, Norma duduk diam memandangi Richard. Ia mengatur nafasnya dengan pelan, kemudian mempersiapkan diri untuk mendengar apapun yang hendak disampaikan Richard tentang wanita dalam masa lalunya. Norma hanya tahu sedikit bahwa wanita itu sudah hadir dalam hidup Richard sebelum mereka bertemu. Dalam satu malam yang panjang ketika ia dan Richard bertengkar, Norma sempat menyinggungnya. Sampai detik itu Norma punya firasat kalau Richard masih mencintai Alda. Sebuah surat yang disimpan Richard di lemarinya mengatakan demikian. Surat yang ditujukan untuk gadis panggung favorit Richard itu kini masih tersimpan disana, menguning di makan usia dan setiap kali Norma mengingat apa yang ditulis Richard disana, jantungnya serasa mencelos. “Ya, ceritakan padaku!” sahut Norma dengan dingin. Richard menyadarinya, tapi laki-laki itu tidak berniat untuk mengubah niatnya. “Gadis itu.. Alda, dia adalah cinta pertamaku..”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD