Bab 3

1228 Words
Perjalanan menuju ‘City of Love’, 1998 Karen berdiri melipat kedua tangannya selagi menatap jalur rel yang kosong. Kereta akan tiba lima belas menit lagi dan orang-orang yang berdatangan mulai mengisi bangku-bangku panjang untuk menunggu kedatangan kereta. Papan reklame yang dipajang di setiap jalur memberitahu Karen kalau hanya akan tersedia dua kereta yang diberangkatkan menuju ‘The City of Love’. Masing-masing akan datang pada pukul sepuluh pagi dan lima sore. Saat itu langitnya cukup cerah. Cahaya matahari telah bergerak naik di atas kepala. Jam dinding besar yang menggantung di aula stasiun menunjuk persis ke angka sepuluh. Jalur untuk menunggu kedatangan kereta yang sebelumnya kosong saat pertama Karen tiba disana, kini dipadati oleh belasan pengunjung lainnya. Karen sudah merasa tidak nyaman sejak awal kedatangannya kesana, tapi Jesse telah membeli dua tiket untuk mereka dan segala sesuatunya sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari. Pagi itu ketika terbangun dari tidurnya, Karen merasakan sesuatu yang mendesaknya untuk tetap berada di atas kasur. Cahaya matahari pagi sudah tersingkap di balik jendela kamarnya. Karen membuka mata dan merasakan keheningan yang memekakan menyelimutinya lebih dari yang sudah-sudah. Selama sejenak ia menatap dirinya di depan cermin, menyaksikan penampilannya yang berantakan. Lingkaran hitam di bawah matanya, wajah yang pucat, rambutnya yang tergerai tak beraturan. Untuk kali pertama sejak tujuh tahun pernikahannya berlangsung, Karen merasa bahwa ia tidak memiliki alasan untuk bangun dari tempat tidurnya dan melakukan rutinitas seperti biasa. Ia membiarkan tanaman di kebunnya terbengkalai pagi ini. Untuk kali pertama Karen lupa mengisi persediaan kopi sehingga tidak ada sarapan layak pagi ini. Jesse memprotes tentang belasan makanan kaleng di lemari penyimpanan yang bisa dihangatkan kapan saja. Meskipun efesien, makanan kaleng tidak baik dikonsumsi secara terus-menerus. Akibatnya mereka hanya menelan telur orak arik untuk makan malam, dan roti lapis tanpa kopi untuk sarapan. Benar bahwa tidak ada yang baik-baik saja tentang kehidupan rumah tangga mereka. Jesse baru menyadarinya beberapa minggu terakhir. Apa yang tidak diketahui laki-laki itu adalah fakta bahwa Karen telah merasakan hal itu jauh lebih lama dari yang diketahuinya. Emosinya terkuras setiap kali ia memikirkannya, dan seringnya Karen hanya mengabaikan semua itu sampai segalanya perlahan memudar dan Karen tidak dapat lagi membedakan mana yang terasa normal dan mana yang tidak. Pagi setiap pukul tujuh biasanya Karen sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk putrinya yang berusia lima tahun, Myra, dan juga Jesse. Karen begitu sibuk memastikan semua urusan di dalam rumah berjalan seperti seharusnya. Di samping itu Karen harus menerima panggilan telepon dari geleri tempat dimana ia bekerja. Sekitar pukul delapan sampai pukul sembilan, Karen akan berlari kecil menempuh jarak tiga sampai lima kilometer di sekitar taman kota sebelum pergi bekerja dan kembali ke rumah saat langitnya sudah gelap. Sementara itu Jesse sibuk menyelesaikan pekerjaannya menulis buku, dan mengadakan pertemuan bersama editor dan timnya selama lebih dari dua tahun terakhir. Ketika laki-laki itu kembali ke rumah, Jesse seringnya menyingkir ke ruang tengah untuk menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda sampai larut malam dan baru tidur sekitar pukul dua dini hari. Paginya, laki-laki itu akan berangkat bekerja kembali sekitar pukul sembilan dan karena mereka sama-sama memiliki kesibukan yang padat, mereka menyerahkan tanggungjawab untuk menjaga Myra pada seorang pelayan rumah. Hal yang sama sudah berlangsung selama hampir tiga tahun terakhir. Pikirnya kondisi itu tidak akan berlangsung lama, namun setiap hari yang berlalu, setiap jam, setiap menit, dan setiap detiknya harapan Karen untuk memperbaiki situasi dalam rumah tangganya kian memudar. Karen menyadari bahwa tidak ada kehangatan lagi yang tersisa di dalam rumahnya. Ketika Jesse untuk kali pertama mendengar kalimat itu keluar dari mulutnya, tidak ada tanggapan serius seperti yang diharapkan Karen. Setidaknya sampai dua bulan yang lalu Karen memtuskan untuk pergi ke terapis sendirian, Jesse akhirnya tergerak untuk melakukan hal yang sama. Apa yang tidak disadari Jesse adalah fakta bahwa Karen tidak pergi kesana untuk memperbaiki pernikahan mereka. Selama dua pekan pertama, terapi yang sudah berjalan tidak seburuk yang dipikirkannya. Jesse meyakinkan Karen kalau mereka akan memulihkan situasi itu dalam waktu cepat dan segalanya akan kembali normal, sementara Karen hanya mengikuti prosedurnya, menilai dari prespektifnya sendiri tentang bagaimana situasi itu akan berubah. Sejauh ini tidak ada perubahan dan pelan-pelan Karen mulai berpikir bahwa terapi mungkin bukanlah jawaban atas semuanya. Tidak ada yang perlu diperbaiki tentang situasi itu. Yang hancur memang sudah hancur sudah dulu dan sebaik apapun ia menyatukan kembali serpihan keramik dari gelas yang pecah, bentuknya tidak akan pernah kembali seperi semula. Jesse meyakini yang sebaliknya. Dua pekan yang lalu, Kate, terapis mereka menyarakan sebuah perjalanan menuju kota kecil yang disebut sebagai ‘The City of Love’. Gagasan untuk pergi meninggalkan rumah, pekerjaan, dan putrinya selama beberapa hari membutuhkan pertimbangan besar bagi Karen, tapi Jesse langsung menyambutnya dengan antusias seolah berpikir bahwa hal itu benar-benar bisa memperbaiki segalanya. “Ini tidak akan berhasil,” ucap Karen dalam perjalanan mereka menuju stasiun. Jesse yang mendengarnya menanggapi kalimat itu dengan mengangkat kedua bahunya sembari berkata, “ini akan berhasil. Percayalah padaku!” Lamunan Karen buyar ketika seseorang menepuk bahunya dengan pelan. Laki-laki yang muncul di belakang adalah Jesse. Laki-laki itu sudah tidak lagi terlihat muda seperti yang diingat Karen. Keriput tipis muncul di bawah matanya yang mengendur sebagai tanda penuaan. Jesse berambut hitam, memiliki rahang persegi dan sepasang mata gelap yang sudah rusak. Laki-laki itu tidak bisa melihat dengan jelas tanpa bantuan kacamata berlensa tebal. Janggut kasar berusia tujuh hari tumbuh menutupi rahangnya. Rambutnya ikalnya disisir dengan tidak acuh menggunakan jari-jarinya. Terkadang Karen merasakan dorongan kuat untuk mencukur janggut dan memotong rapi rambut yang kian memanjang itu. Akhir-akhir ini mereka sibuk dan ada banyak hal yang menuntut perhatian lebih daripada janggut dan rambut ikal yang memanjang. “Kau baik-baik saja?” tanya Jesse ketika meraih salah satu tas hitam besar dalam genggamannya. Karen mengamati laki-laki yang telah menjadi sahabatnya sejak mereka masih remaja itu, kemudian dengan cepat berpaling ketika kereta muncul di kejauhan. Sebuah suara yang keluar dari mikrofon di stasiun memberitahu kalau kereta mereka baru saja tiba. “Ya,” sahut Karen, akhirnya. Tatapan Jesse menyorot ke depan, persis ke arah gerbong-gerbong kosong di dalam kereta. Ketika kereta berhenti dan pintu di buka, Jesse melirik dua kertas tiket dalam genggamannya. “Oke, jadi ini dia. Kita masuk di gerbong nomor tiga, kursi belakang. Kedengarannya menarik, bukan?” Karen menggeleng, merasa enggan untuk menanggapi lelucon hambar itu. Kemudian dengan keinginan untuk menyelesaikan perjalanan itu dengan cepat, Karen mengangkat tas berpergian mereka sebelum bergabung dalam barisan antrean di depan pintu kereta. Jesse mengikutinya di belakang hingga mereka akhirnya mendapat giliran masuk dan bergerak menuju kursi mereka. Di dalam gerbong udaranya terasa lebih hangat. Kaca-kaca yang dibuka mengizinkan cahaya matahari untuk masuk ke dalam. Setelah menemukan kursi mereka, Karen menyimpan barang-barangnya di dalam lemari kemudian duduk bergerser di dekat jendela. Jesse baru saja bergabung di seberang kursi ketika seorang pelayan mendekati mereka. “Mau pesan sesuatu?” “Tidak..” “Ya,” potong Jesse. Karen sempat menatapnya sekilas, merasa yakin kalau laki-laki itu tidak bersedia mendengar penolakan. Jadi Karen hanya duduk diam di atas kursinya, menunggu selagi Jesse menyampaikan pesanannya. “Bawakan aku kopi tanpa krim terbarik yang kalian punya.” Pelayan itu mengangguk kemudian melirik Karen yang dengan segera mengatakan, “tidak, terima kasih.” Segera setelah kepergian si pelayan, situasi menjadi lebih canggung di dalam gerbong. Namun suara keributan di sekitar mereka berhasil meredamnya. Karen menolak untuk memulai percakapan, alih-alih menatap keluar jendela. Pikirannya hanyut dalam satu momen yang paling tidak terlupakan dalam hidupnya - momen ketika kali pertama Jesse masuk dalam hidupnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD