Bab 2

1145 Words
Perjalanan menuju ‘City of Love’, 1958 Richard pernah mengatakan pada istrinya, Norma, untuk mengenakan sweter tebal setiap kali berpergian. Tapi Norma yang sifatnya keras sejak dulu, meyakini kalau kondisi tubuhnya tidak bergantung pada jenis pakaian apa yang ia gunakan. Norma juga menyakinkan Richard kalau orang-orang yang lahir dan dibesarkan di kawasan utara pegunungan, memiliki daya tahan tubuh lebih kuat bahkan dalam cuaca ekstrem yang tak menentu. Richard tidak tahu mana yang benar, faktanya Norma memang lebih sehat. Meskipun usianya hampir menginjak angka tujuh puluh tahun, istrinya masih dapat berdiri dengan tegap dan berjalan tanpa bantuan tongkat. Norma juga memiliki sepasang mata yang jeli. Sementara kondisi Richard sepenuhnya berbanding terbalik dari Norma: Richard tidak dapat berjalan tanpa bantuan tongkat, tidak bisa melihat dengan jelas tanpa kaca mata dengan lensa tebal, dan tubuhnya tidak tahan berada dalam suhu udara yang terlalu dingin, atau terlalu panas. Sejak dilahirkan Richard membawa alergi itu dalam tubuhnya. Ketika tubuhnya tidak dapat menyesuaikan diri dengan suhu udara di sekitarnya, kulitnya akan memperlihatkan bintik-bintik hitam yang membusuk. Dua puluh tahun lalu saat gejala itu muncul, tampilannya tidak seburuk seperti sekarang. Richard lebih suka mengabaikannya, tapi Norma tidak demikian. Wanita itu akan menjadi orang pertama yang mendeteksi kondisinya. Mungkin ada sangkut pautnya dengan masa lalu Norma sebagai perawat. Dulu wanita itu bekerja untuk merawat para tentara yang terluka di medan perang. Meskipun tidak lama, naluri untuk merawat seseorang yang terluka tidak pernah memudar bahkan setelah hampir setengah abad Richard mengenalnya. Hari ini wanita itu melakukannya. Norma mengepakkan barang-barang dan obat-obatan yang diperlukan ke dalam tas berpergian mereka. Wanita itu akan memastikan tidak ada satupun yang tertinggal. Norma adalah seseorang yang ia tahu dapat menumpuk meteran kain polos di atas pakaiannya, berjaga-jaga kalau penyakit Richard kambuh dan ia membutuhkan pertolongan pertama. Richard meyakinkan Norma kalau hal itu tidak akan terjadi. Bagaimanapun mereka hanya akan melewati satu hari duduk di dalam kereta untuk sampai di kota yang ditujunya. Kendatipun demikian, tetap saja Norma membawanya. Tidak ada yang dapat menghentikan Norma untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya, termasuk mengantar Richard pergi meninggalkan kota menuju sebuah tempat dimana ia akan mendapatkan pengobatan yang tepat untuk penyakitnya. Orang-orang suka menyebut tempat itu sebagai kota cinta, dimana lahannya yang membentang luas kaya akan perbukitan dengan tanah yang subur. Pengunungan yang melintang di salah satu sisinya membawa udara sejuk ke sekitar. Setiap malam terasa seperti perayaan besar. Orang-orang akan keluar untuk menyalakan kembang api, berkeliaran di sekitaran pantai dan dermaga, atau mengunjungi tempat-tempat makan, bernyanyi, membawakan tarian di pingiran jalan, atau sekadar duduk di atas hamparan rumput sembari memandangi langitnya yang dipenuhi oleh ribuan bintang. Kesanalah mereka hendak pergi. Mengunjungi bangunan tua yang telah berdiri sebagai panti jompo selama puluhan tahun lamanya. Belasan dokter ahli dipekerjakan disana untuk membantu orang-orang seperti mereka. Seorang dokter ahli yang dikenal Norma cukup akrab akan membantu merawatnya disana. Ia tidak memiliki rencana untuk menetap, tapi untuk satu alasan tertentu, Richard tahu bahwa disanalah ia akan menghabiskan sisa hidupnya. Sementara Norma hanya akan mengantarnya sampai kesana kemudian kembali pada anak-anak mereka di kota. Norma yang akan menyaksikan cucu mereka tumbuh dewasa dan memulai fase hidupnya yang baru – tanpa Richard. “Berhenti menatapku begitu, dan katakan apa yang kau pikirkan!” ujar Norma untuk membuyarkan lamunan Richard. Richard mengedipkan mata sembari menelengkan kepalanya ke sekitar. Baru disadarinya kalau seluruh bangku-bangku kosong di dalam gerbong nomor tiga telah diisi oleh penumpang lain yang baru saja berdatangan. Kini suara keributan pecah di setiap sudut tempat. Orang-orang sibuk mengepakkan barang-barang mereka di dalam lemari penyimpanan sementara alarm dari luar yang dibunyikan menandakan kalau kereta akan diberangkatkan dalam hitungan menit. Richard melirik arlojinya. Saat itu hampir pukul sebelas siang. Perjalanan untuk sampai di kota kecil yang ditujunya akan memakan waktu selama hampir seharian, jadi mereka telah memastikan kursi yang ditempati mereka terasa cukup nyaman. Jendela-jendela dibiarkan sedikit terbuka sehingga ada udara yang masuk ke dalam gerbong. Sementara itu panel-panel pemantul cahaya dipasang untuk menghalangi terik matahari masuk melewati jendelanya. Di seberang rel, mereka dapat menyaksikan hamparan perbukitan dan ngarai-ngarai panjang yang mengarah menuju sungai. Di sisi lain jendela, belasan orang berkeliaran menunggu kedatangan kereta berikutnya. Seorang wanita berdiri dengan tas hitam besar yang tergeletak di bawah kakinya. Wanita itu mengenakan topi coklat tua yang lebar untuk menghalangi sinar matahari menyentuh kulit wajahnya. Ia juga mengenakan pakaian kasual yang rapih. Rambut gelapnya digelung ke belakang kepala sedangkan kaki panjangnya dibungkus oleh sepatu hitam mengilap yang menutupi tumit hingga lututnya. Wanita itu sedang merogoh ke dalam saku mantelnya dan mengeluarkan kain bersih yang terlipat rapih dari dalam sana kemudian menggunakan kain itu untuk menyeka keringat di dahinya. Perhatian Richard kemudian teralih pada lampu hijau yang berkedip di ujung rel. Alarm kembali memberi pertanda bahwa kereta akan segera diberangkatkan. Suara keributan perlahan mereda. Derap langkah kaki yang tergesa-gesa memudar, digantikan oleh suara mesin kereta yang berdesing keras. Pintu-pintu gerbong sudah di tutup rapat. Kereta perlahan berjalan meninggalkan stasiun. Disaat yang bersamaan seorang pelayan berjalan mendekati meja mereka. Norma sudah mengangkat tangan untuk menghentikannya, tapi Richard dengan cepat berkata, “aku mau pesan sesuatu.” “Apa? Tidak ada kafein di siang hari, Richard. Kita sudah membahasnya.” “Siapa bilang aku mau pesan kafein?” “Apa yang mau kau pesan?” Richard menyambut sang pelayan di meja mereka kemudian memintanya untuk menyebutkan menu yang tersedia. Norma dengan cepat memutuskan apa saja yang akan mereka pesan kemudian memelototi Richard setelahnya. “Sudah cukup untuk hari ini, aku tidak ingin berdebat denganmu,” ucap Norma setelah sang pelayan pergi membawa catatan pesanan mereka. Richard mengedipkan sebelah matanya ke arah Norma. Sudut bibirnya ditarik lebar ketika tersenyum. Ketika sesuatu terasa menggelitik perutnya ia mencondongkan tubuh dan berbisik pelan. “Hidup menjadi semakin singat, tidakkah kau berpikir begitu?” Norma menatapnya dengan sinis, dahinya mengerut dalam. Terkadang Richard sampai lupa kalau Norma sudah memiliki kebiasaan itu sejak mereka masih sangat muda. “Apa yang mau kau katakan, Richard?” “Aku hanya ingin bilang, nikmati hidup selagi bisa. Hidupku mungkin tidak akan bertahan lebih lama lagi, Norma, jadi aku ingin merayakannya dengan es krim. Kau suka es krim coklat, kan?” “Tidak lagi. Tidak sejak aku melahirkan Arthur.” “Masa sih? Aku ingat mulutmu dipenuhi coklat malam itu setelah perayaan ulang tahun Lily.” “Itu tidak benar,” Norma bersikeras. “Hmm.. mungkin aku salah mengingatnya, tapi tidak masalah, aku akan makan semuanya.” Kereta bergerak cepat melewati ngarai yang panjang di belakangnya. Di depan langit biru cerah sudah menanti mereka. Dari balik jendela Richard memandang lurus ke depan, tiba-tiba tersenyum saat mengingat masa lalunya, ketika ia untuk kali pertama ia mengendarai traktor besarnya di ladang perkebunan milik keluarga Norma. Richard ragu kalau Norma masih mengingatnya, namun itu adalah momen yang tidak terlupakan selama Richard berada disana. Kini, ingatan itu menguap di kepalanya seperti kepulan asap yang perlahan memudar. Dunia terasa lebih kecil di balik lensa kacamatanya. Meskipun begitu, semuanya tetap terlihat sama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD