Semua orang yang mendengarkan ucapan Calla langsung diam terpaku dan menatap horror gadis itu.
Aric tersenyum lebar mendengarkan ucapan berani Calla, apalagi tatapan tajamnya menunjukan seberapa besar dia membenci Aric.
“Ah.. benarkah?” Aric semakin mendekat dan memeluk pinggangnya Calla, tubuhnya merunduk memperhatikan wajah cantik Calla yang menunjukan keamarahan dan ketakutannya. “Mau melaporkannya sekarang?.”
“Saya tidak main-main.”
“Aku juga tidak main-main dan menerima tuntutanmu” balas Aric dengan senyumannya, wajahnya mendekati wajah Calla hingga ujung hidung Aric menyentuh pipi Calla.
Wajah Calla memerah, degup jantungnya berubah berdegup dengan cepat merasakan pergerakan kecil tubuh Aric dan aroma parfum mahalnya yang memabukan sungguh mengganggu Calla. Mata Calla berkedip dengan pipi yang terasa menghangat, gadis itu menarik napasnya dalam-dalam mencari pasokan udara.
Aric sedikit terpaku melihat reaksi Calla, rahang pria itu sedikit megetat dengan bibir yang perlahan membentuk garis. “Fuckk, kau sangat cantik.” Bisik Aric menggigit daun telinga Calla.
“Arght” Calla tersentak kaget hingga menepiskan tangannya pada wajah Aric. “B4jingan me5um” maki Calla dengan keras. Tangan Calla mencengkram lengan Aric berusaha melepaskan diri dari pelukan pria itu.
“Mulutmu tajam sekali.”
“Jangan menyentuhku, aku bekerja untuk melayani pesanan tamu. Bukan kemesuman pria sepertimu.”
Tubuh Aric semakin menempel dan memeluknya dengan kuat tidak mempedulikan tatapan tajam Vanka yang tidak suka dengan sikap Aric tidak seperti biasanya.
Kepala Aric merunduk, bibirnya menderat di tengkuk Calla dan mengecupnya dengan basah, “Kucing kecil, kau salah memilih pekerjaan. Ada berapa pria b******n yang memperhatikanmu huh?.”
Tangan Calla bergerak cepat menyikut perut Aric menyalurkan semua kemarahannya yang tidak terkendali, pelukan Aric terlepas membuat Calla langsung berdecak pinggang dan menunjuk wajah Aric.
“Jaga sikap Anda, Anda pikir Anda siapa hah. Anda tidak berhak menyentuh saya seenaknya meski saya pelayan yang bekerja disini, saya akan melaporkan Anda kepada atasan agar Anda tidak masuk lagi ke bar ini. Satu lagi, jangan pernah semena mena meski tamu adalah raja, saya akan menganggap raja para tamu jika mereka berakal sehat, bukan orang dengan gangguan jiwa seperti Anda. Ingat itu!.” Teriak Calla dengan tegas mengacam Aric.
Semua orang yang sedang bermain langsung berhenti dan menatap dengan waspada, perlahan mereka mundur dan keluar satu persatu menolak tahu apa yang terjadi.
Meski Aric masih seorang pelajar, namun pria itu tetaplah anak seorang mafia yang sama-sama memiliki pengaruh kuat hingga menimbulkan kearoganan yang tidak bisa di hentikan.
Aric terkekeh geli mendengarkan ancaman Calla, alih-alih merasa takut, dia merasa terhibur.
Para bodyguard Aric yang sejak tadi diam mulai mendekat, namun Aric mengangkat tangannya mengisyaratkan bahwa Calla tidak perlu di bereskan.
“Sudahlah Aric, jangan mengganggunya” nasihat Vanka melihat ketakutan Calla karena sudah meneriaki Aric. Vanka harus segera menghentikan semuanya karena penolakan Calla hanya akan semakin membuat Aric tertarik mengganggunya.
Vanka tidak suka itu.
“Kau, kembalilah bekerja.” Titah Vanka pada Calla.
Calla mengambil nampan di atas meja dan langsung pergi dengan cepat, matanya yang indah itu sedikit berkaca-kaca, Calla sedikit mengusap tengkuknya yang masih terasa basah bekas ciuman Aric.
Langkah kaki Calla berubah menjadi cepat, gadis itu menjatuhkan air matanya tidak dapat menahan kekesalannya lagi.
***
“Calla. Kau kenapa?” Tanya Avril melihat kedatangan Calla ke ruangan belakang terlihat menangis.
Dengan cepat Calla menghapus air matanya dan tersenyum lebar, “Tidak apa-apa.” jawabnya dengan dusta. Meski mulutnya berani mengancam untuk melaporkan, namun Calla tidak seberani itu.
“Jika ada masalah dengan pekerjaan, katakan saja. Kita sudah membicarakan ini” kata Avril sambil bersedekap.
Calla menghapus air matanya lagi yang sempat terjatuh, “Jika tidak keberatan. Tolong lihat cctv lantai tiga bagian VVIP nomer enam, aku butuh saran apakah bisa melaporkan tindakan seperti itu atau tidak.” ucap Calla dengan tatapan sedihnya.
Avril terlihat kaget mendengarnya karena dia tahu siapa saja yang ada di ruangan itu. “Baiklah, aku akan memeriksanya. Istirahatlah setengah jam, tenangkan pikiranmu.”
“Terima kasih Avril.”
Avril mengangguk kecil tanpa bertanya lagi dan membiarkan Calla segera pergi.
Avril berdecak pinggang dan terlihat sedikit gelisah karena kejadian seperti ini biasanya tidak pernah terjadi. Dengan tergesa Arvil pergi ke ruangan cctv untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi.
Kegelisahan Avril semakin menjadi begitu melihat Aric Hemilton adalah pria yang mengganggu Calla. Avril langsung membungkam dan di landa kekhawatiran karena Aric Hemilton adalah atasanya sendiri, pemilik bar tempat dia bekerja sekarang.
Bagaimana cara Avril melaporkan atasannya sendiri?. Avril tidak memiliki cara lain selain mengajak Calla berbicara dan memberikan gadis itu saran karena akan menjadi sulit untuk Calla bila dia berhubungan dengan Aric.
***
Malam semakin larut, pengunjung semakin membanyak dan membuat Calla semakin sibuk membawa beberapa pesanan, senyumannya yang sempat menghilang kini kembali karena mendapatkan banyak tips dari beberapa orang.
Avril sudah mendatangi Calla dan menasihatinya beberapa hal hingga akhirnya Calla memutuskan untuk mengalah karena tidak ingin memperpanjang masalah. Calla juga memikirkan konsekuensi yang akan dia terima bila dia melaporkan Aric, besar kemungkinan Calla juga akan terkena terror mafia.
Nasihat Avril berhasil membangun keberanian Calla, itu sudah cukup bagi Calla untuk bisa merasa tenang.
Setelah Calla kembali melanjutkan pekerjaannya, Calla mulai sadar bahwa rupanya bukan hanya Aric Hemilton saja yang memiliki otak me5um, Calla harus menahan beberapa umpatan dan emosinya dari sentuhan gila beberapa pria me5um yang menganggap pelayan bar sama halnya seperti perempuan penghibur.
Calla harus memahami konsekuensinya bekerja menjadi pelayan bar meski dia hanya bekerja mencatat dan mengantar minuman dan makanan pengunjung.
Calla duduk di bawah anak tangga menghitung beberapa lembar uang tips yang dia dapatkannya malam ini, gadis itu tersenyum lebar dan melihat arah jam di tangannya, dia hanya memerlukan satu jam lagi untuk bekerja.
Calla melipat uang yang sudah di hitungnya dan menyimpannya di dalam saku pakaian.
“Kau terlihat senang” kekeh Kevin ikut duduk di sisi Calla, Kevin adalah salah satu pria penghibur yang sering kali datang dan menemani perempuan kesepian. Kevin sudah bekerja cukup lama di bar, namun akhir-akhir ini dia jarang datang setelah seorang wanita menjadikan dirinya sebagai simpanan.
Seorang penghibur yang selalu dekat dengan penilaian negatif lantas tidak membuat Kevin seperi itu.
Kevin sangat baik dan ramah, bahkan pria itu terkesan menjaga jarak dengan wanita yang di ajaknya berbicara agar mereka merasa nyaman, Kevin bertindak dan berkata dengan sopan kepada lawan bicaranya. Dia hanya akan menjadi pria penghibur untuk wanita yang membayarnya.
“Mau aku teraktir?” Tanya Calla dengan senyuman lebar.
Kevin tertawa lebar mengusap kepala Calla, “Besok sore Calla. Aku akan menagihnya.” Jawabnya singkat, Kevin melihat ke arah lain ketika seorang perempuan yang terlihat lebih tua darinya melambaikan tangannya memanggil Kevin. “Aku harus segera pergi, sampai jumpa.”
Calla balas melambaikan tangannya dan tersenyum kecil, “Sampai jumpa.”
***
Malam sangat gelap menghiasi langit. Hujan turun dengan deras tanpa Calla duga, sementara sekarang Calla masih berada di pertengahan jalan menuju pulang.
Kaki Calla mulai bergerak cepat dan berlari di bawah tas kecilnya yang melindungi kepalanya.
Beberapa kali sepatu Calla terantuk jalanan karena tidak berhati-hati melangkah. Hujan turun semakin deras membuat Calla berlari lebih cepat di antara pohon-pohon yang tumbuh di pinggiran jalan.
Suara kelakson mobil terdengar beberapa kali membuat Calla melirik ke samping dan mendapati mobil Aric yang mengikutinya. “Masuklah, kau tetanggaku, kita satu arah.” Tawar Aric dengan sedikit teriakan.
“Tidak perlu” jawab Calla dengan cemberutannya dan semakin bergerak cepat, dia masih memakai jaket milik Aric untuk menutupi roknya karena Calla harus menanggalkan pakaian kerjanya begitu dia selesai bekerja.
“Kau yakin?” Tanya Aric masih mengikuti Calla.
“Pergilah!” bentak Calla dengan kesal.
Derung suara mesin mobil terdengar keras, Aric menginjak pedal gas lebih dalam membuat genangan air di pinggir jalan langsung membasahi pakaian Calla. Pria itu langsung pergi sesuai dengan apa yang Calla inginkan.
Langkah Calla terhenti melihat kakinya yang basah kuyup oleh genangan air. Gigi Calla mengerat dan mengusap wajahnya yang basah.
“Bajing4n!” teriak Calla dengan kesal menatap kepergian mobil Aric yang pergi dengan cepat. “Astaga” kaki Calla bergerak semakin cepat ketika hujan turun semakin deras.
Dalam waktu beberapa menit Calla sudah sampai menuju gedung apartementnya yang sepi seperti biasa.
Napas Calla bergerak dengan cepat, sejenak dia berdiri di sisi teras, Calla mengusap rambutnya dan memeras ujung jaket Aric yang meninggalkan beberapa tetes air hujan ke lantai.
Calla langsung memasuki gedung apartemen dan segera pergi menuju lift, dia harus bergerak dengan cepat agar tidak bertemu dengan Aric lagi karena pria itu sangat menyebalkan.
***
Beberapa tetes air masih berjatuhan membasahi tubuh Calla, sudah cukup lama Calla membersihkan dirinya dengan mandi air hangat, aroma sabun dan shampoo tercium memenuhi ruangan meredakan sedikit ketegangan di tubuh dan kepala Calla.
Dalam suasana sepi dan lelahnya Calla segera mengakhiri mandinya dan mengambil handuk. Kaki telanjangnya melangkah hati-hati di lantai, Calla berdiri di depan cermin dan segera mengeringkan rambutnya setelah mencuci wajah dan menggosok gigi.
Harinya terasa melelahkan, namun Calla semakin bersemangat dan mulai menandai tanggal di kalender hanya untuk mengejar ujiannya dalam pertukaran pelajar menuju Belanda.
Calla harus belajar lebih giat lagi agar dia lulus dan memberikan kejutan kepada Harry. Tidak hanya sampai disitu, Calla juga sedang berjuang untuk bisa mendapatkan beasiswa penuh agar dia tidak kesulitan keuangan karena biaya sekolah.
Rambut Calla sudah mengering, dia menyisir dan memakai beberapa pembersih wajah yang sudah seharian ini memakai make up. Calla memakai beberapa pelembab agar wajah lelahnya sedikit tersamarkan.
Mata Calla terasa memberat, Calla perlu segelas kopi untuk tetap terjaga saat belajar. Meski Calla bekerja di bar, dia tidak suka minum alcohol, Calla hanya minum saat musim salju untuk menghangatkan lambungnya. Calla melangkah keluar dari kamar mandi.
“Astaga” Calla hampir melompat kaget melihat Aric duduk santai di ranjangannya dan menatap Calla dengan seringai menawannya. Pria itu menatap Calla dengan lembut tanpa rasa malu dan bersalah karena sudah menerobos masuk ke apartement tetangganya.
Pintu Jendela terbuka lebar menandakan pria itu masuk melalui jendela, “Apa yang kau lakukan disini?” geram Calla seraya memegang belitan handuknya menyadari dia tidak memakai apapun di dalamnya.
Pandangan Calla mengedar waspada takut anak buah Aric juga ada di apartemennya, Calla kapok saat tubuhnya di seret dan di lempar seperti remahan roti yang terlempar dengan sedikit sentilan tangan.
Tangan Aric terangkat menunjukan kamera di dalam genggamannya, “Mengembalikan kameramu.”
“Letakan disitu!” Calla menunjuk ke sisi ranjang dan mundur membuka pintu, “Keluar!” usirnya dengans sedikit bentakan.
Aric bergerak kecil dan terbaring menatap Calla dari atas sampai bawah, gadis itu cukup galak kepadanya dan itu sangat menghibur dirinya. Jarang sekali Aric menemukan gadis yang bersikap kasar kepada dirinya.
“Keluar!” Desak Calla lagi.
Perlahan Aric bangkit dan melangkah bertelanjang kaki mendekati Calla, “Kenapa kau membenciku hem?.”
Kening Calla mengerut tidak suka. “Orang-orang bodoh celaka ketika mereka tidak sadar bahwa diri mereka bodoh. Itulah dirimu” hina Calla dengan penuh tekanan menyindir tindakan bodoh Aric saat tadi di bar.
Bibir Aric sedikit memiring, pria itu tersenyum samar dengan tatapan teduhnya di matanya yang indah.
“Kau tahu” Aric menutup pintunya kembali dan mengurung Calla di tembok, “Kau semakin cantik saat marah dan bicara kasar” bisiknya dengan linghai, Aric terlalu pandai dalam hal memuji dan berkata-kata.
Tubuh Aric merendah menyamakan tingginya dengan Calla yang kini semakin erat memeluk handuknya dan tertunduk terlihat gemetar ketakutan.
Tangan Aric terjatuh di sepanjang kulit Calla dan menyusuri bahunya, “Harusnya kau memanfaatkan kecantikanmu. Kau tahu cara menunjukannya?. tunjukan taring dan cakarmu, lalu mengeonglah. Aku sangat menyukainya” bisiknya menggigit daun telinga Calla.
To Be Continue . . .