Terik sinar matahari terasa menyengat siang itu, beberapa mahasiswa berlari di tengah lapangan terlihat tengah berolahraga. Sebagian dari mereka duduk berteduh di bawah pohon tengah berbincang sambil menikmati makan siang mereka. Jalanan setapak yang terbuat dari marmer hitam membentuk pola mempermudah akses semua orang untuk bisa menjangkau semua tempat.
Aric dan Theodor duduk di kursi penonton memperhatikan apa yang terjadi. Kedua pria itu saling diam dan terlihat sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
Theodor sedikit tertunduk menatap sepatunya yang berwarna hitam, rambutnya bergerak lembut di terpa angin. “Satu semester lagi kita akan menyelesaikan sekolah.” Ucap Theodor membuka percakapan.
Aric terdiam tidak menjawab.
“Kita saling mengenal sejak kecil, kau, aku dan juga Vanka. Kita sudah saling mengenal karekter masing-masing.” Ucap Theodor lagi dengan hati-hati.
“Katakan saja ada apa.” Aric sudah tahu bahwa Theodor ingin menyampaikan sesuatu kepadanya.
Theodor menarik napasnya dalam-dalam dan terlihat sedikit berpikir dengan apa yang akan dia katakan. Ada banyak ucapan yang harus dia susun untuk menyampaikannya.
“Aku tahu kau peduli kepada Vanka sebagai seorang teman yang sesungguhnya. Namun, dia menganggapnya tidak seperti itu karena Vanka selalu menganggapmu pahlawan, meski kau dingin kepadanya, kau selalu menolong dia. Aku tahu kau tidak menyukai Vanka, namun jaga sikapmu kepadanya. Tidak sepantasnya kau bersikap kasar padanya secara terang-terangan.”
Vanka bertemu Aric dan Theodor sejak kecil, saat itu Vanka hanyalah gadis biasa yang lemah dan sakit-sakitan hingga sering menjadi bahan bullyan banyak orang. Namun, Aric menghajar siapapun yang mengganggu Vanka dan membuat satu persatu orang yang membullynya tidak melakukannya lagi.
Karena itulah Vanka menganggap Aric adalah pahlawannya, perasaan ketergantungan dan merasa kebaikan Aric di artikan lebih membuat Vanka menjadi jatuh cinta yang mendalam kepada Aric meski Aric sudah menegaskan status mereka hanya sebatas teman.
“Aku juga tahu kau menyukainya.” Senyum Aric dengan tenang. “Dengan berkata seperti itu. Kau ingin aku melakukan apa pada Vanka?. Kau ingin aku memperlakukan dia seperti wanita lainnya, lalu meninggalkannya setelah bermain-main?” Tanya Aric.
Tangan Theodor terkepal kuat, rahangnya mengeras menahan emosi. Dia tahu kemana tujuan Aric yang sebenarnya.
Theodor tahu kenapa Aric bersikap acuh kepada Vanka. Aric menghargai perasaan Theodor dengan cara bersikap kasar pada Vanka agar wanita itu berpaling kepada Theodor dan melupanakan Aric. Namun Theodor tetap tidak suka melihat kesedihan pada wanita yang selama ini di sukainya.
Di sisi lain Theodor juga merasa khawatir bila Aric menerima perasaan Vanka, Theodor takut bahwa Aric akan memperlakukan Vanka seperti wanita lainnya. Aric bisa dengan mudah dekat dan menjalin hubungan dengan seorang wanita, namun Aric juga akan sangat mudah meninggalkan mereka seperti sesuatu yang tidak berharga.
“Kau menyukainya?” Tanya Theodor dengan serius.
Kepala Aric terjatuh ke sisi, pria itu menatap Theodor dengan tidak mengerti kemana arah Theodor berbicara sekarang.
“Gadis itu, tetanggamu yang bernama Calla” tegas Theodor. Theodor sudah melihat Aric mengganggu Calla lebih dari satu kali, sikap Aric yang seperti itu bukanlah Aric yang selama ini Theodor kenal.
Aric tidak pernah bermain-main dengan seorang gadis, dia akan langsung mengatakan tujuannya dalam merayu jika ingin mendapatkan seorang wanita. Namun saat bersama dengan Calla, Aric tidak melakukannya, tatapan pria itu berbeda.
“Kau tidak mengenaliku?.” Tanya balik Aric tidak terduga.
“Aku bertanya karena aku mengenalimu. Kau berbeda saat bersama Calla” jawab Thedor tanpa keraguan, Theodor tahu betul seperti apa Aric saat mempermainkan wanita. Mereka tumbuh bersama, apapun yang di lakukan Aric selalu Theodor tahu. Dan kali ini sikap dan cara Aric mendekati Calla sangat berbeda dari biasanya.
“Dia sama seperti yang lainnya, hanya sedikit berwarna dan baru karena itu cukup menyenangkan.” Jawab Aric dengan enteng.
“Tidak, kau tertarik kepadanya” ralat Theodor memperjelas jawaban yang di berikan Aric.
“Apa yang sebenarnya kau mau?” Tanya Aric mulai tidak menyukai apa yang di tuntut Theodor darinya.
Tubuh Theodor menegak, dia terdiam cukup lama dan memikirkan sesuatu. “Ingin bertaruh denganku?” tawarnya dengan serius. Bahu Aric sedikit terangkat menanyakan apa yang Theodor taruhkan.
“Calla.” Kata Theodor.
Kening Aric mengerut seketika, ada sedikit dengusan kasar tidak suka keluar dari mulutnya. “Untuk apa kita bertaruh?”
“Untuk membuktikan bahwa kau memang tidak tertarik kepada Calla.” Tantang Theodor terdengar sangat serius.
Aric mendengus kesal saat mendengarnya, pria itu kembali menatap lapangan dan tidak langsung menjawab, ada sesuatu yang dia pikirkan. “Itu tidak penting. Calla, gadis itu, aku tidak berniat mendekatinya.”
Perkataan Aric semakin menguatkan dugaan Theodor jika sahabatnya tertarik kepada Calla. Jika Aric tidak tertarik kepada Calla, pria itu pasti akan langsung menerima tawarannya tanpa memikirkan apapun meski tidak tertarik sama sekali.
“Penting, karena ini bukan hanya untuk membuktikan perasaanmu. Ini juga ada hubungannya dengan Vanka.” Yakin Theodor.
“Mengapa Vanka?.”
“Mari kita bertaruh. Jika Calla bisa jatuh cinta padamu, aku tidak akan ikut campur lagi dengan keputusanmu untuk menolak maupun memutuskan hubungan pertemanan dengan Vanka. Namun jika aku bisa lebih dulu membuat Calla jatuh cinta kepadaku, kau harus menerima perasaan Vanka dan serius dengannya.”
Seketika Aric tertawa mendengarnya, sangat menggelikan untuknya mendengarkan taruhan yang di ajukan Theodor dan semuanya masih tidak jauh dari seputaran Vanka.
“Bisakah kau mengajak bertaruh sesuatu yang lebih berkelas?.” Ejek Aric.
“Mengapa?, kau mau menolak karena takut tidak bisa menarik perhatian Calla?.” Theodor balas mengejek.
“Tidak ada yang menguntungkan apapun bagiku jika aku kalah maupun menang. Dan Vanka” Aric beranjak dari duduknya melihat langit sejenak sebelum akhirnya dia berbalik dan menatap Theodor dengan tajam. “Vanka, hanya akan menjadi temanku tidak lebih dari itu. Aku tidak akan pernah melewati batas itu.”
“Jika kau ingin taruhan yang sedikt lebih berkelas. Bagaimana di tambah dengan satu mobil di garasi kakekku?.”
Sudut bibir Aric terangkat bersama dengan satu alisnya, “Ah.. baiklah.” Jawabnya menyetujui apa yang di ajukan oleh Theodor. “Berapa waktu yang kau inginkan?.”
“Tiga bulan.”
“Setuju.”
Theodor mengulurkan tangannya mengajak bersalaman untuk menyepakati apa yang sudah mereka bicarakan mengenai taruhannya. Tanpa pikir panjang Aric langsung menerima uluran tangan Theodor, pria itu sedikit tersenyum tenang terlihat tidak begitu memikirkan apapun karena sampai kapanpun Aric tidak akan pernah jatuh cinta. Apalagi pada gadis lugu dan kutu buku seperti Calla Adeva.
***
“Calla, kau serius ingin mengambil pekerjaan ini juga?” bisik Jerome yang sejak pulang sekolah mengikuti Calla memasuki pusat perbelanjaan yang di tunjukan Leti mengenai pekerjaan paruh waktu untuk Calla.
Calla sudah berhasil menjual beberapa pakaian, karena itu Leti berniat langsung mengajak Calla pergi ke pusat perbelajaan dan memperkenalkannya pada atasannya.
Calla mengangguk kecil dengan senyuman lebarnya, Calla kembali mengisi data yang di perlukan setelah dia melewati beberapa interview menganai fashion. Rupanya untuk memasuki pekerjaan paruh waktu yang sekarang tidak semudah yang di pikirkan karena kecantikan seseorang juga di nilai, di mulai dari pengetahuan fashion dan bentuk tubuhnya apakah dia dapat menarik banyak orang atau tidak.
Pengalaman Calla yang sudah menjadi pelayan seorang bangsawan seperti Endrea Giedon rupanya sangat berguna, karena kini Calla tahu beberapa brand terkenal dan fashion yang menarik hingga membedakan barang palsu dan asli.
Selain pengetahuan Calla mengenai fashion, Calla juga harus melewati tes timbangan berat badan hingga pemeriksaan tubuh dan kecocokan dirinya dalam mempromosikan fashion lebih jauh. Calla dia ajarkan untuk berbicara dengan baik dan benar dalam menawarkan barang.
Kecantikan dan kepandaian Calla, juga pengalamannya bekerja di keluarga bangsawan rupanya berhasil membuatnya di terima dengan mudah.
“Besok aku akan memperkenalkamu pada beberapa cewek popular di kampus. Aku mengenal tempat berkumpul mereka di sekolah. Ada beberapa tempat khusus orang-orang banyak uang yang berkumpul, nanti aku juga akan membawamu kesana.” Ucap Leti dengan senyuman lebarnya terlihat sangat baik.
“Terima kasih” ucap Calla kesenangan. Calla tertunduk melihat jam di tangannya, “Aku harus pergi bekerja. Terima kasih sudah membantuku, aku akan meneraktir kalian makan lain kali. Sampai jumpa!”
“Dia benar-benar ambisius” dengus Jerome melihat Calla berlari membawa beberapa tas pakaian yang harus di pakainya untuk dia demokan.
“Aku juga tidak pernah melihat anak muda sepekerja keras seperti dia.” Gumam Leti dengan senyuman miringnya.
“Harry beruntung mendapatkan hatinya.” Bisik Jerome seraya merangkul bahu Leti. “Ayo kita kencan.”
***
Suara perbincangan dan tawa beberapa orang terlihat cukup terhibur, mereka berbincang dengan Calla yang memperlihatkan sepatu dan pakaian yang di kenakannya kepada pelanggan vvip, disana banyak perempuan penghibur yang sering kali melayani beberapa pria yang memiliki banyak uang.
Calla yang belum memasuki jam kerjanya langsung menggunakan kesempatan itu.
Calla mengambil kesempatan itu untuk membujuk para pria tua itu untuk membelikan pakaian yang mewah untuk wanita-wanita penghibur itu yang kebanyakan adalah wanita simpanan.
Calla memahami ego seorang p****************g, mereka pasti akan melakukan apapun untuk menunjukan diri bahwa mereka pria paling baik agar simpanan mereka merasa beruntung meski tidak memiliki status yang resmi.
Calla yang pandai berbicara dan memiliki pengetahuan luas mampu menarik beberapa orang yang memiliki banyak uang untuk tertarik dengan barang-barang di tawarkannya. Orang-orang itu terlihat puas karena apapun pertanyaan yang terlontar dari mereka, Calla menjawabnya.
Rupanya apa yang di lakukan Calla cukup efektif karena dia berhasil memberikan beberapa lembar cek uang dari orang-orang yang tertarik dengan barang-barang yang di tawarkannya, sebagian dari mereka ingin lansung pergi ke pusat perbelanjaan dan melihat langsung.
Calla segera pergi begitu jam kerjanya akan segera di mulai, Calla harus segera berganti pakaian dan memakai pakaian seragam pelayannya.
***
“Kau terlihat senang” komentar Avril melihat Calla yang baru selesai berganti pakaian. “Apakah banyak yang membeli?.” Avril tahu Calla menawarkan pakaian kepada para pelanggan, Calla sempat meminta izin terlebih dahulu kepada Avril sebelum dia melakukannya.
“Ya, akhirnya aku menikmati uang sugar daddy” cengir Calla terlihat malu.
Avril tertawa seketika.
“Aku harus mengantarkan minuman, sampai nanti.” Calla sedikit membungkuk dan segera pergi meninggalkan Avril. Calla langsung pergi menuju dapur dan mengambil pesanan yang harus di antar.
Dengan penuh semangat Calla pergi lagi ke ruangan vvip untuk mengantarkan pesanan, gadis itu tidak membuang kesempatannya untuk mempelajar setiap tamu yang sempat di temuinya.
Entah kenapa meski memiliki banyak rintangan dan godaan bekerja menjadi pelayan bar, di sisi lain Calla juga merasa senang karena banyak tamu yang sangat bermurah hati memberikan banyak tips kepadanya.
“Pelayan!” seseorang memanggil Calla yang baru keluar dari ruangan vvip
Wajah Calla sedikit memucat melihat Zea, anak tiri ayahnya berada di antara orang yang memanggil Calla. Napas Calla terasa sedikit sesak mengingat penolakan ayahnya yang tidak peduli kepadanya.
Tubuh Calla perlahan menegak dan berjalan kearah dimana Zea berada. Bibir Calla bergerak membentuk senyuman lebarnya dan menghempaskan perasaan sakit hatinya dengan melupakan apa yang terjadi. Calla tetap bersikap professional. “Ada yang bisa saya bantu?.” Tanyanya dengan sopan.
To Be Continue...