Sepuluh tahun kemudian,
Di dalam ruangan cukup luas itu penuh dengan berbagai alat untuk fitness seolah sengaja dikhususkan sebagai tempat gym pribadi. Sosok seorang pria sedang duduk di sebuah alat menyerupai sepeda. Kedua kakinya sibuk mengayuh pedal dengan tempo cukup cepat sesuai dengan pengaturan yang dipasang di static bicycle tersebut. Tak peduli meski sekujur tubuhnya banjir keringat, si pria masih terus melatih otot kakinya agar terbentuk sempurna tanpa lemak.
Lima menit mengayuh, gerakan kakinya pun terhenti. Dia menyeka keringat yang bercucuran dari pelipis hingga jatuh membanjiri kedua pipinya. Turun dari alat fitness bernama statis bicycle tersebut sambil melepas kaos olahraganya yang basah kuyup oleh keringat, dia kini berjalan mendekati alat lain. Treadmill merupakan alat fitness yang dia pilih selanjutnya. Sambil bertelanjang d**a, mempertontonkan otot perut dan dadanya yang kekar, pria itu melanjutkan kegiatan olahraganya. Berlari-lari kecil di treadmill yang kecepatannya sengaja diatur sedang. Tatapannya tertuju pada bangunan-bangunan pencakar langit yang bisa dilihat jelas dari tempatnya berada.
“Permisi, Pak.”
Mendengar suara seseorang tiba-tiba menyapa dari arah belakang, pria itu menghentikan kegiatannya. Dia mematikan treadmill dan berbalik badan untuk menghadap sosok pria yang merupakan asisten pribadinya, Bams Abimana.
Suara berat pun mengalun, “Ada apa?”
“Saya ingin melaporkan semua undangan untuk acara nanti malam sudah disebar seperti yang anda perintahkan.”
Pria itu mengangguk, tampak puas mendengar laporan sang bawahan, “Orang itu ... sudah kamu pastikan mengundangnya juga?”
“Sudah, Pak. Seperti yang anda perintahkan, undangannya dikirim khusus untuknya.”
Si pria menyeringai lebar, dia menunjuk ke satu arah memberi isyarat pada sang asisten agar mengambilkan handuk yang tersimpan di lemari khusus. Bams menuruti perintah sang atasan, berjalan cepat menuju lemari dan memberikan handuk yang diminta pria itu.
“Bagus. Aku suka dengan cara kerjamu yang cepat, cekatan dan teliti. Kamu tidak pernah mengecewakanku sejauh ini.”
“Ini sudah menjadi tugas saya sebagai bawahan anda, Pak.”
“Ck, berapa kali harus kukatakan, jangan terlalu formal saat kita sedang berduaan.”
Bams tersenyum tipis, “Saya tidak berani, Pak. Anda tetap atasan saya.”
“Ya ya ya, terserah,” kata pria itu sambil menyeka keringat di wajahnya dengan handuk.
“Ada lagi yang anda butuhkan, Pak?”
“Tentang meeting untuk membahas produk baru, aku ingin diadakan besok pagi. Kamu bisa menginformasikan ini pada semua divisi?”
“Anda yakin meeting-nya diadakan besok, Pak?”
Si pria mengernyitkan dahi, “Yakin sekali. Kenapa memangnya?”
Bams berdeham pelan, melihat sorot tajam sang atasan, dia menyadari baru saja melakukan kecerobohan. “Tidak, Pak. Saya pikir setelah acara nanti malam, anda membutuhkan waktu untuk istirahat.”
Pria itu berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala, “Apa hubungannya acara nanti malam dengan meeting besok? Jika sudah waktunya bekerja, aku akan tetap bekerja.”
“Baik, Pak. Saya mengerti.”
“Pastikan kamu menghubungi semua kepala divisi untuk ikut meeting besok pagi.”
“Siap, Pak,” sahut Bams, tak berani lagi membantah.
Melihat sang atasan kini mendudukan diri di kursi sembari memainkan ponsel, Bams tahu pembicaraan mereka telah selesai.
“Makanan anda sudah saya siapkan, ada di ruang makan.”
Si pria mengangguk tanpa mengatakan apa pun bahkan tatapannya tak berpaling sedikit pun dari layar ponsel.
“Saya permisi, Pak.”
Bams berbalik badan, bersiap pergi meski sang atasan tak lagi memberikan respon apa pun. Namun, baru beberapa langkah berjalan, suara berat itu kembali merasuki gendang telinganya.
“Bams!”
Bams menghentikan langkah dan bergegas kembali menghadap atasannya. “Iya, Pak.”
“Pastikan tidak ada kesalahan nanti malam. Jangan sampai nama asliku disebut dalam acara itu. Kamu paham?”
“Jangan khawatir, Pak. Saya sudah mengatur semuanya sebaik mungkin.”
“Bagus.” Pria itu mengibaskan tangan, memberi izin pada Bams untuk pergi meninggalkan dirinya sendirian. Dan kali ini Bams benar-benar melangkah pergi.
***
Ballroom Abiputra Hotel penuh dengan tamu undangan yang dari penampilan saja menyiratkan mereka bukan orang-orang sembarangan. Melainkan para pebisnis berdompet tebal yang memiliki status mentereng dan bisa membuat orang dari kalangan menengah ke bawah akan silau dengan penampilan mereka yang memukau. Wanita-wanita memakai gaun bermerek dan bernilai fantastis, berjalan menemani pria-pria mengenakan setelan jas berharga selangit. Jangan ditanya berapa harga pakaian formal yang mereka kenakan, karena orang-orang yang dompetnya menipis di tanggal tua, jelas tak akan mampu membelinya.
Berbeda dengan pesta biasa yang diiringi musik memekakan telinga, pesta itu tampak elegan dengan group orchestra ternama yang sedang memainkan musik klasik.
Namun, seolah musik berkelas itu tak berhasil menarik minat para tamu undangan karena mereka lebih tertarik membicarakan bisnis dengan rekan-rekan sesama konglomerat yang memiliki perusahaan raksasa, khususnya di Indonesia. Semua orang sibuk dengan kegiatan masing-masing, begitu pun dengan para wanita sosialita yang lebih tertarik menenggak wine di dalam gelas berkaki dibandingkan mendengarkan musik membosankan itu.
Hingga keheningan melanda begitu suara sang MC mengalun dan sukses menarik atensi semua tamu undangan. Kini tatapan mereka tertuju ke arah depan, terutama saat nama sang penyelenggara pesta ini diumumkan untuk memberikan sambutan singkat.
“Mari kita sambut CEO Abiputra Company yang belum lama ini baru saja mendapat penghargaan sebagai pebisnis muda tersukses di Indonesia versi majalah forbes, Vian Zemiro Abiputra.”
Suara tepuk tangan menggema di dalam ruangan. Semua orang tampak menantikan kehadiran sang pemilik nama. Begitu sosok pria mengenakan setelan jas serba hitam berjalan ke depan dan berdiri menggantikan sang MC, suara tepuk tangan semakin bergemuruh.
Melviano Zemiro Abiputra nama sang CEO sukses yang di tahun ini genap berusia 27 tahun, tidak lain merupakan sosok pemuda berbadan gemuk yang saat remaja sering menjadi objek bully teman-temannya di sekolah. Namun lihat penampilannya sekarang, perbedaan dirinya di masa lalu dan sekarang bagaikan bumi dan langit. Wajahnya yang dulu penuh lemak hingga dagu dan leher seolah menjadi satu, kini berubah menjadi rahang tegas dan dagu lancip yang memikat. Pemuda polos dengan tatapan sendu itu kini tak ubahnya bak pria berkharisma dengan mata elang yang siap memangsa siapa pun yang berani mengusik ketenangannya. Perut buncit dan bergelambirnya tak lagi ada, karena yang terlihat sekarang adalah perut rata dan tampak berotot, d**a bidang, bahu tegap serta tatanan rambut yang rapi dan berwarna hitam pekat. Setelan jas yang dikenakannya semakin mempertegas dirinya bukan pria biasa melainkan konglomerat kaya yang akan menjadi incaran para wanita di luar sana. Tidak akan ada seorang pun yang menyangka atau mengenali dirinya sebagai Melviano si lemak berjalan karena sekarang semua orang mengenalnya sebagai CEO muda tersukses.
Melviano berdeham pelan dan suasana riuh itu seketika menjadi hening. Tak ada lagi yang mengeluarkan suara, semua orang tampak menantikan isi pidato yang akan diucapkan sang tuan rumah.
“Selamat malam para hadirin yang terhormat. Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih atas kehadiran anda semua dalam acara pesta peresmian Abiputra Hotel,” ucap Melviano, membuka sesi pidatonya.
“Walaupun saya tahu musiknya membosankan, pesta seperti ini sudah biasa ya dihadiri para konglomerat sukses sekelas anda-anda semua. Terutama jika saya terlalu lama berdiri di sini memberikan kata sambutan yang panjang dan membuat jenuh, mungkin saat pidato selesai ruangan ini sudah kosong karena semua tamu melarikan diri. Tidak, tidak, saya tidak akan melakukan itu.”
“Jadi, saya berdiri di sini hanya ingin mengucapkan terima kasih atas dukungan semua tamu undangan atas peresmian hotel ini. Pujian tuan MC tadi terlalu berlebihan, saya di sini masih seorang pemula yang membutuhkan bimbingan dari semua pebisnis sukses yang sudah lebih dulu berkecimpung di dunia bisnis. Mohon dukungan dan bimbingannya. Sekali lagi terima kasih atas kehadirannya. Selamat menikmati pesta ini, ya walau saya sendiri mengakui pesta ini cukup membosankan.” Melviano terkekeh di akhir ucapannya, yang dibalas tawa oleh para tamu undangan. Mereka pun bertepuk tangan, cukup menikmati pidato Melviano yang berisi candaan dan humor.
Melviano berjalan mendekati seseorang yang sudah dia perhatikan sejak menginjakan kaki di tempat pesta, Moreno Grizelle ... pria paruh baya blasteran Italia yang merupakan CEO Grizelle Group yang menjadi pesaing utama perusahaan Melviano.
“Sambutan yang menyenangkan. Terkadang memang candaan itu dibutuhkan ya, daripada berbicara formal dan panjang lebar yang akan membuat suasana hati para tamu undangan memburuk,” kata Moreno begitu Melviano kini berdiri di hadapannya.
“Itu yang sedang saya hindari, Pak. Karena biasanya saya bosan sekali jika mendengar kata sambutan yang terlalu panjang di acara pesta formal. Saya tidak ingin tamu-tamu saya merasakan hal serupa di pesta yang saya buat ini,” balas Melviano.
Moreno menepuk bahu Melviano pelan, “Ini gunanya memiliki CEO berdarah muda karena kebanyakan CEO hanya pria-pria tua yang tidak tahu cara mencairkan suasana. Bukankah begitu?” Melviano tertawa, begitu pun dengan Moreno.
“Tapi saya salut dengan anda. Baru beberapa bulan menggantikan mendiang ayah anda, Abiputra Company semakin maju pesat di bawah kepemimpinan anda. Hotel ini luar biasa, saya yakin akan sukses ke depannya.”
“Semoga saja. Terima kasih atas pujiannya. Dibanding saya, bisnis milik Grizelle Group lebih sukses dan maju.”
“Tapi bukan saya yang mendapat penghargaan sebagai CEO terbaik, melainkan anda.” Moreno kini menepuk pelan perut Melviano. “Bukankah begitu?”
“Mereka berlebihan padahal saya tidak merasa pantas mendapatkannya,” sahut Melviano merendah di depan pesaingnya.
“Papa!”
Obrolan ringan mereka terhenti begitu suara seorang wanita mengalun merdu, Melviano menoleh, tersenyum tipis saat melihat siapa yang baru saja datang bergabung.
Wanita itu berjalan menghampiri Moreno dengan tatapannya yang lurus tertuju pada Melviano. “Aku sepertinya mengganggu?”
Moreno menggeleng, “Tidak sama sekali. Papa dan Pak Vian sedang mengobrol ringan. Oh, iya. Sepertinya ini pertama kalinya anda bertemu dengan putri saya, benar?”
Melviano mengangguk, “Benar, Pak. Jadi nona ini putri anda?”
“Ya. Namanya, Auristela Grizelle,” ucap Moreno, mengenalkan sang putri.
Stela mengulurkan satu tangannya, “Stela,” katanya.
Melviano menyambut tangan itu dan dengan berani memberikan satu kecupan ringan di punggung tangannya. “Nama yang indah. Seindah orangnya.”
Moreno tertawa, “Selain pandai berbisnis, anda juga pandai merayu wanita ternyata.”
“Saya mengatakan fakta, Pak. Putri anda sangat cantik.”
Moreno merangkul bahu putrinya dengan bangga, “Ya. Dia memang putriku yang berharga.”
“Jangan terlalu memujiku, Papa. Aku ke sini ingin memberitahu ada teman papa yang mencari.”
“Siapa?” tanya Moreno sambil menggulirkan mata ke sekeliling, mencari orang yang sekiranya dia kenal.
“Itu, di sana.”
Moreno mengikuti arah yang ditunjuk sang putri, tersenyum lebar saat merasa memang mengenal orang itu. Pria paruh baya itu pun berpamitan pada Melviano dan dengan sengaja meminta putrinya tetap diam di tempat.
“Mau berdansa denganku?”
Stela yang sedang menatap punggung ayahnya yang menjauh itu seketika menoleh ke samping, pada pria yang baru saja mengajaknya berdansa.
“Hm, boleh.” Stela mengulurkan satu tangannya yang langsung disambut Melviano. Mereka pun berjalan menuju tengah ruangan, bergabung dengan pasangan lain yang sedang berdansa karena musik yang mengalun terdengar begitu mendukung gerakan dansa mereka yang romantis.
Seperti halnya pasangan lain, Melviano dan Stela saling merapatkan tubuh. Melviano yang merangkul pinggang ramping Stela sedangkan tangannya yang lain saling bertautan dengan tangan wanita itu. Begitu pun dengan Stela yang meletakan satu tangan di d**a bidang pasangan dansanya.
Selama dansa itu berlangsung, tatapan Melviano tertuju pada bibir ranum nan merekah pasangan dansanya. Bukan karena dirinya tertarik dengan bibir s*****l yang tampak menggoda itu. Melainkan karena dia ingat betul kata-kata pedas yang pernah terucap dari bibir itu.
Lemak berjalan.
Sebuah sebutan yang sampai kapan pun tidak akan pernah dilupakan Melviano.
“Aku tahu kamu tertarik padaku, kan?”
Melviano yang sedang melamun itu terkesiap mendengar pertanyaan Stela yang tiba-tiba.
“Tipe pria sepertimu yang di pertemuan pertama hanya menatap ke arah bibir, tidak lebih dari seorang pria yang senang berfantasi, berpikir penampilan dan uangmu bisa membawaku ke atas ranjang.”
Melviano mengernyitkan dahi, “Apa aku terlihat sebajingan itu di matamu?”
Stela mengangkat kedua bahunya. “Aku cukup sering menghadapi pria sepertimu.”
Melviano tak sempat menolak saat Stela tiba-tiba menarik kerah jasnya sehingga kepala pria itu kini sedikit membungkuk. Stela pun mendekatkan bibirnya ke telinga Melviano dan berbisik pelan, “Tapi sayangnya, aku tidak semudah yang kamu duga. Aku bukan wanita yang bisa sembarangan diajak kencan. Jadi, jangan kamu pikir karena tampan dan kaya, aku akan jatuh ke pelukanmu. Kamu mau tahu kenapa?”
“Kenapa?” tantang Melviano.
“Pertama, karena kita berada di level yang sama. Aku bukan wanita miskin yang senang berburu pria berdompet tebal.” Stela membentuk jari tangannya membentuk angka dua. “Kedua, karena dengan satu kedipan mata, aku bisa mendapatkan ratusan pria sepertimu.”
Melviano seketika menjauhkan diri lantas bertepuk tangan, “Wow, luar biasa. Kepercayaan dirimu begitu tinggi, nona.”
“Aku hanya mengatakan fakta. Terima kasih atas ajakan berdansanya. Permisi.” Setelah mengulas senyum tipis penuh makna, Stela melangkah pergi, meninggalkan Melviano yang sedang menyeringai di tempatnya berdiri.
“Sepuluh tahun berlalu, dia masih tidak berubah. Tapi, aku juga tidak sama lagi seperti dulu. Kita lihat saja siapa yang akan menang. Jangan sebut namaku Melviano Zemiro Abiputra, jika aku tidak bisa membuatmu bertekuk lutut di bawah kakiku dan mengemis cinta padaku,” gumam Melviano yang tak akan pernah menyerah sebelum rencana balas dendamnya bisa terwujud pada wanita yang membuatnya sakit hati di masa lalu.