Suara ketukan hak sepatu yang bergesekan dengan lantai terdengar saling bersahut-sahutan di lantai dasar bangunan berlantai 30 itu. Orang-orang berbalut kemeja dan jas rapi khas orang kantoran berjalan cepat menuju lift. Begitu pun dengan beberapa wanita mengenakan blazzer dan rok span di atas lutut saling bertegur sapa saat berpapasan dengan rekan yang dikenalnya.
Setiap pagi memang seperti itu suasana di dalam bangunan yang tidak lain merupakan perusahaan Abiputra Company. Tepat di pukul 07.45, semua karyawan berjalan cepat menuju ruangan atau kubikel masing-masing atau mereka akan terlambat karena kantor mulai masuk tepat di pukul 08.00. Telat satu menit saja maka mereka harus bersiap menghadapi teguran sang CEO yang terkenal tegas dan begitu disiplin.
Beberapa orang sedang berkerumun di depan lift dengan gesture tubuh terlihat gusar dan gelisah, mereka tak sabar menanti pintu lift yang tak kunjung terbuka padahal mereka harus bergegas menuju ruangan.
Saat suara denting dari pintu lift yang terbuka, terdengar. Helaan napas lega pun mengudara dari mulut mereka. Mereka masuk ke dalam ruangan sempit bernama lift yang akan mengantarkan mereka ke lantai yang dituju, tak peduli meski berdesak-desakan, tak ada seorang pun yang mau mengalah. Mereka tampak berebutan ingin masuk ke dalam lift bahkan tak peduli meski kapasitasnya tak memungkinkan karena melebihi batas.
“Hei, ini sudah tidak muat. Naik di lift berikutnya aja,” ucap seorang wanita jika dilihat dari perawakannya terlihat baru berusia sekitar 25 tahunan, dia bicara dengan nada ketus pada sosok pria berbadan gemuk yang memaksakan diri masuk ke dalam lift sehingga ruangan yang sudah sesak itu menjadi semakin sesak dan pengap.
“Tapi aku udah telat. Tidak apa-apa, kan? Toh alarm peringatannya belum berbunyi.” Pria itu menyanggah, kenapa harus dia yang keluar dari lift padahal ada orang lain yang bisa mengalah? Yang jelas pria gempal itu tak mau mengalah sedikit pun.
“Tapi lift ini jadi sesak gara-gara kamu masuk. Dia benar, kamu naik aja lift berikutnya.” Kali ini yang ikut menimpali merupakan seorang pria berkumis yang sejak tadi terus menatap jam tangan yang melingkar di lengan kiri karena tinggal menghitung menit maka dia harus segera mengirimkan laporan pada sang atasan atau siap-siap dirinya akan kena teguran. Karena itu si pria berkumis begitu kesal karena pria bertubuh gempal itu tak mau mengalah sehingga lift belum bisa meluncur naik. Tak sadar padahal badan besarnya membuat semua penghuni lift ini tak nyaman karena terlalu sempit.
Suasana riuh di dalam lift seketika berubah senyap begitu seorang pria ikut masuk ke dalam lift. Suasana ricuh itu seketika hening dan terasa mencekam. Pria bertubuh gempal tadi bahkan memilih merapat ke dinding lift karena takut dirinya menyenggol orang tersebut. Semua pria yang ada di dalam lift, meneguk ludah karena berada satu ruangan dengan pria tersebut. Berbanding terbalik dengan para wanita yang menatapnya penuh damba karena si pria memiliki paras luar biasa memikat.
“Selamat pagi, Pak.”
Pria itu mengangguk begitu salah seorang wanita memberanikan diri menyapanya. Kendati demikian tak terdengar sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
Saat si pria mengedarkan pandangan ke seisi lift, dengan serempak semua orang menganggukan kepala sebagai bentuk sapaan hormat dan formal.
“Sempit sekali di sini. Liftnya terlalu penuh. Bisa tolong ada yang keluar sebelum pintu lift-nya tertutup.”
Satu kalimat permintaan itu dan dalam hitungan detik, beberapa orang dengan sukarela meninggalkan lift, membuat ruangan lift sempit yang awalnya sesak itu berubah menjadi lengang.
“Cepat tutup pintunya.”
“Baik, Pak.” Pria gempal yang berdiri di dekat tombol pun bergegas menekan tombol untuk menutup pintu. Begitu terdengar suara dentingan dari pintu lift yang tertutup, lift itu pun mulai bergerak naik, mengantarkan mereka ke lantai yang dituju.
Satu demi satu, penghuni lift itu meninggalkan lift karena sudah tiba di lantai yang ditujunya, tak lupa sebelum keluar mereka berpamitan dengan penuh hormat pada si pria tampan nan arogan.
Hingga di dalam lift pun kini hanya menyisakan pria itu dan si pria bertubuh gempal. Suasana terasa canggung, sebenarnya itu yang dirasakan si pria bertubuh gempal karena pria tampan yang begitu dihormati itu tampak santai-santai saja, sedang menyandarkan punggung pada dinding lift sembari memasukan tangan ke dalam saku celana.
Pria bertubuh gempal itu terus menatap ke arah layar tepat di atas pintu lift yang menampilkan nomor lantai yang sedang dilewati lift, dalam hati terus berdoa agar lift ini segera sampai di lantai 25 dimana ruangannya berada.
“Kamu berasal dari divisi apa?”
Pria bertubuh gempal itu berjengit kaget saat suara si pria tampan tertangkap indera pendengarannya.
“D-Divisi purchasing, Pak,” jawabnya setelah meneguk ludah untuk menormalkan tenggorokannya yang entah kenapa terasa kering secara mendadak karena terlalu tegang hanya berduaan di dalam lift dengan pria itu.
“Berapa berat badanmu?”
Si pria bertubuh gempal mulai ketakutan, berbagai pemikiran buruk memenuhi pikirannya. “S-Sembilan puluh lima kilogram, Pak.”
Suara decakan pria itu meluncur keras membuat pria malang yang sialnya berbadan gemuk itu kembali meneguk saliva.
“Kamu terlalu gemuk. Mungkin kamu tahu saya tidak menyukai karyawan yang memiliki badan terlalu gemuk. Jadi sekarang kamu tinggal pilih saja, mau mengundurkan diri atau saya yang memecat?”
Keringat sebiji jagung mulai bercucuran dari pelipis pria gempal itu, ternyata firasat buruknya terbukti benar.
“Tapi, Pak ...”
“Jawab saja, apa pilihanmu?”
“S-Saya akan diet, Pak. Tolong jangan memecat saya,” pinta pria itu, tulus memohon karena dia memang belum siap untuk keluar dari perusahaan ini padahal dia belum genap satu bulan bekerja di perusahaan yang cukup tersohor di dalam negeri ini.
“Baik. Saya memberimu waktu satu bulan. Jika berat badanmu tidak berkurang maka saya menunggu surat pengunduran diri darimu.”
Pria gempal itu mengangguk penuh semangat, “Baik, Pak. Saya akan berusaha semaksimal mungkin agar berat badan saya berkurang.”
Pria tampan itu memasang wajah super datar, katakan dia kejam tapi menurutnya keputusan ini demi kebaikan pria gempal itu sendiri.
“Jangan salah paham saya menyuruh seperti ini. Hanya saja memiliki tubuh terlalu gemuk atau obesitas itu sama sekali tidak baik untuk kesehatanmu. Selain itu, kamu akan lihat perlakuan orang lain akan berbeda padamu jika kamu memiliki tubuh yang ideal.”
Begitu suara denting dari pintu lift yang terbuka, berbunyi. Pria tampan itu yang tidak lain merupakan Melviano Zemiro Abiputra atau sang CEO Abiputra Company, menepuk bahu si pria gempal sebelum melangkah keluar.
“Kamu harus rajin olahraga. Percayalah memiliki tubuh terlalu gemuk itu sama sekali tidak bagus. Kamu akan sering menerima cemoohan dari orang lain. Ingat baik-baik nasihat saya ini.”
“Siap, Pak. Terima kasih atas nasihatnya.”
Melviano lantas melanjutkan langkahnya hingga melewati pintu lift, meninggalkan si pria gempal yang kini bersandar lesu pada dinding lift karena selain dirinya mendapat teguran dari sang bos besar, dia juga harus menerima dirinya telat absen karena lantai 25 dimana dirinya harus keluar tadi sudah terlewati. Ah, ini karena bosnya yang begitu teliti dan galak. Kenapa juga dia tidak menyukai orang berbadan gemuk, pria gempal itu bertekad dalam hati akan mencari tahu misteri ini. Dan yang menjadi beban pikiran terbesarnya sekarang adalah bagaimana caranya dia menurunkan berat badan dalam waktu satu bulan saja? Dan sedetik kemudian, suara teriakan frustasi pun terdengar membahana di dalam lift.
Bagi Melvino sendiri, kenangan kelamnya di masa lalu membuatnya selalu bersimpati pada orang yang memiliki nasib sepertinya di masa lalu. Bukan tanpa alasan dia tak mengizinkan karyawannya memiliki tubuh yang terlalu gemuk atau obesitas, melainkan karena dia tak ingin orang lain mengalami nasib yang sama seperti dirinya dulu, dipermalukan hanya karena tubuhnya yang montok alias gemuk berlebih.
***
Melviano tengah berdiri di ruangannya sembari menatap ke arah gedung pencakar langit yang berdiri kokoh di hadapannya. Dari dinding kaca yang mengelilingi ruangannya ini, dia bisa melihat pemandangan sekitar. Terhitung sudah enam bulan dia menempati ruangan ini, lebih tepatnya sejak ayahnya tiada. Melviano merasa dirinya bisa mengembangkan perusahaan ini.
Kepercayaan dirinya ini bukan hanya sebatas isapan jempol karena nyatanya dia memang berhasil membuat perusahaan yang didirikan ayahnya itu menjadi sesukses ini. Bahkan satu bulan yang lalu dia dinobatkan sebagai CEO muda tersukses. Sangat wajar jika Melviano berbangga diri dengan prestasi gemilang yang diraihnya.
Namun nyatanya raut wajah pria itu tak terlihat senang sedikit pun. Baginya bukan kesuksesan di dunia bisnis yang bisa membuatnya merasa senang. Melainkan satu-satunya hal yang bisa membuatnya senang sekaligus puas apabila dia berhasil mewujudkan ambisinya. Pertemuannya dengan wanita itu semalam membuat ambisi yang sepuluh tahun ini dia pendam di dalam hati, kini semakin berkobar dan mulai muncul ke permukaan.
Melviano menyeringai saat mengingat kejadian semalam, di tempat pesta peresmian Abiputra Hotel saat dia bertemu dengan satu-satunya wanita yang ingin dia buat bertekuk lutut di bawah kakinya karena dendam yang sepuluh tahun lamanya bersarang di hati Melviano. Tak akan pernah dia lupakan perbuatan wanita itu yang telah mempermalukannya di depan umum. Dan semalam dengan angkuh wanita itu kembali berulah, berucap sok jual mahal membuat Melviano semakin bersemangat untuk memulai aksi balas dendamnya. Selama enam bulan ini dia sempat melupakan sejenak rencana balas dendamnya karena terlalu sibuk mengurus perusahaan. Tapi sekarang dia sudah seratus persen siap memulai balas dendamnya pada wanita itu, Auristela Grizelle.
Suara ketukan pada pintu tiba-tiba terdengar, Melviano berdecak karena lamunannya menjadi terganggu. Dia berjalan mendekati meja lalu mendudukan diri di kursi kebesarannya sebelum meneriakkan izinnya pada siapa pun orang yang mengganggu waktu bersantainya itu, untuk masuk ke dalam ruangan.
Melviano memicingkan mata saat melihat asisten pribadinya, Bams, yang muncul di balik pintu.
“Permisi, Pak. Maaf saya mengganggu waktu anda.”
“Ada apa?” tanya Melviano tak ingin berbasa-basi.
“Saya ingin memberikan laporan hasil meeting tadi pagi, Pak.”
“Berikan padaku laporannya.”
Bams menurut, dia meletakan dokumen di tangannya tepat di depan Melviano. Melviano membuka lembar demi lembar laporan di dalam dokumen itu, kedua bola matanya tampak bergulir mengikuti setiap tulisan yang tertera di sana.
Setelah membaca laporan sampai di halaman terakhir, dia melempar pelan dokumen itu ke atas meja.
“Saham kita terus naik setiap bulan di banding tahun lalu, Pak. Ini kemajuan pesat untuk perusahaan kita.” Bams mengutarakan pendapatnya karena tadi semua divisi memberikan laporan bahwa semua saham di semua kategori produk yang diluncurkan Abiputra Company naik pesat di banding tahuh lalu. Ini tidak lain merupakan prestasi besar untuk Melviano sebagai CEO karena semenjak perusahaan di bawah kepemimpinannya, Abiputra Company semakin melesat naik ke peringkat tertinggi sebagai perusahaan tersukses di Indonesia.
“Tapi aku belum puas dengan restauran cepat saji milik kita di kota Bandung. Di sana omzet kita dikalahkan oleh restauran milik Grizelle Group,” timpal Melviano sembari mengepalkan tangan karena perusahaan itu tidak lain merupakan perusahaan keluarga wanita yang dibencinya, Stela.
“Produk eskrim mereka laku keras di pasaran, Pak. Itu yang membuat restauran cepat saji mereka banjir pengunjung bulan ini.”
Melviano mendengus, tak suka mendengar kabar yang menurutnya sangat buruk itu.
“Oh, iya, Pak. Kedatangan saya ke sini juga untuk memberikan anda undangan ini.”
Melviano melirik sekilas pada undangan yang diletakan Bams di atas meja. “Undangan apa itu?” tanyanya.
“Undangan untuk mengikuti pertemuan selama tiga hari tiga malam di Villa milik Grizelle Group.”
Melviano mengenyitkan dahi mendengar informasi yang disampaikan asistennya itu. “Pertemuan selama tiga hari tiga malam? Memangnya ada acara apa di villa mereka?”
“Ini ide Pak Moreno Grizelle, dia mengundang semua pebisnis sukses untuk berbincang santai membahas tentang bisnis. Sekaligus untuk merayakan ulang tahun pernikahannya yang ke-28 tahun. Apa anda akan menghadiri undangan ini, Pak?”
Tatapan Melviano tertuju sepenuhnya pada secarik kertas undangan dimana namanya tertera dengan jelas di sana sebagai salah satu tamu penting.
“Acara yang didirikan Grizelle group ya,” gumam Melviano sambil mengetuk-ngetukan jarinya pada meja.
Bams menunggu dengan sabar sang atasan memberikan jawaban atas pertanyaannya yang diabaikan. Tapi saat melihat wajah sang atasan tiba-tiba menyeringai, Bams menebak pria arogan yang sialnya bosnya itu pasti sedang merencanakan sesuatu di kepalanya.
“Apa selama tiga hari ini ada meeting atau pertemuan lain yang harus aku ikuti?”
Bams membuka buku agenda yang memang selalu dia bawa kemana-mana, agenda berisi jadwal Melviano.
“Ada sekitar tiga meeting dan enam pertemuan dengan klien yang harus anda ikuti, Pak.”
“Undur semua jadwal itu,” timpal Melviano tegas. “Karena aku akan menerima undangan ini. Aku akan datang ke acara pertemuan di Villa Grizelle Group.”
Bams mengangguk paham, “Baik, Pak. Akan saya urus semuanya. Apa ada lagi hal lain yang anda butuhkan, Pak?”
“Kamu mau tahu alasanku memutuskan untuk menghadiri undangan ini, Bams?”
Bams meneguk ludah, sebenarnya dia sudah bisa menebak jalan pikiran sang atasan karena pria itu pernah menceritakan tentang masalah pribadinya beberapa hari yang lalu. Sebelum pesta peresmian Abiputra Hotel semalam lebih tepatnya.
“Anda berniat mendekati Nona Stela di villa mereka nanti?”
Melviano menyeringai disertai jari telunjuknya yang terarah pada Bams, “Tepat sekali. Tidak salah aku menceritakan tentang kenangan pahitku di masa lalu dan ambisi balas dendamku pada wanita itu padamu, Bams. Kamu sangat memahami aku.”
Melviano tiba-tiba berdiri dari duduknya sembari mengambil gelas berisi kopi yang diletakan di atas meja. Dia lalu berjalan mendekati dinding kaca.
“Akhirnya kesempatan itu datang secepat ini. Akhirnya rencana balas dendamku bisa segera terealisasikan. Lihat saja, Bams. Jangan sebut namaku Melviano Zemiro Abiputra jika aku tidak bisa membuat wanita itu mengemis cinta padaku.” Melviano menoleh ke belakang, pada Bams yang masih mematung di tempat, melalui bahunya. “Pembalasan cinta Melviano dimulai,” tambah Melviano sembari menyeringai lalu meneguk kopinya dengan santai. Berbanding terbalik dengan Bams yang sedang meneguk ludah karena tak ingin membayangkan apa yang akan dilakukan Melviano di villa nanti.