BAB SATU

1821 Words
Di siang hari yang terik dan panasnya begitu menyengat kulit, tak mempengaruhi kemeriahan yang terjadi di lapangan. Suara tepuk tangan dan sorak sorai kegembiraan, mengalun saling bersahut-sahutan. Beberapa gadis cantik mengenakan seragam seksi sedang memeragakan yel-yel penyemangat untuk menyambut kemenangan tim basket sekolah mereka.  Harapan Bangsa itulah nama Sekolah Menengah Atas yang menjadi tuan rumah ajang pertandingan basket tingkat nasional tersebut, dan sang tuan rumah berhasil memenangkan kejuaraan.  Semua orang tampak bergembira, bangga karena sekolah mereka berhasil memenangkan ajang pertandingan basket yang cukup bergengsi ini.  Setelah unjuk kebolehan cukup lama di lapangan, para gadis cantik yang tidak lain merupakan tim cheerleaders itu kini mulai meninggalkan lapangan. Tugas mereka telah selesai dan saatnya untuk beristirahat. Para gadis itu kini sedang berada di ruang ganti, duduk bersantai sambil menyeka keringat yang terus menetes di sekujur tubuh terutama pelipis.  “Tadi itu keren banget ya. Nggak nyangka sekolah kita bisa menang.”  Diana, yang merupakan salah seorang anggota tim cheerleaders mengutarakan rasa bangganya. Gadis itu tengah duduk di kursi panjang sambil menyeka keringat dengan handuk kecil di tangan.  “Gue sih udah yakin tim kita pasti menang. Permainan mereka bagus sejak pertandingan dimulai. Apalagi si Arya, keren ya dia. Sebagai kapten bisa memberikan instruksi tepat ke teman setimnya.” Kini Mira yang ikut berkomentar. Gadis yang baru selesai menenggak air mineral dalam botol itu melirik ke arah gadis yang sejak tadi diam sambil mengikat rambutnya yang berantakan. “Menurut lo gimana? Keren kan si Arya, Stel?”  Auristela Grizelle nama gadis itu, biasa dipanggil Stela dan merupakan ketua tim cheerleaders. Stela mengangkat kedua bahu, “Ah, biasa aja tuh. Dia bukan tipe gue.” “Padahal ganteng, keren lagi,” kata Mira. Stela mendengus, “Gue nggak tertarik sama cowok berdasarkan tampang doang. Kriteria cowok keren menurut gue itu harus bikin gue puas dulu.” “Wow, puas gimana nih maksudnya?” Tanya dua gadis lain bersamaan, Rani dan Desy. “Puas gue jadiin budak.”  Dan suara tawa pun menggelegar di dalam ruangan tersebut. Para gadis tak tahu ada seseorang yang diam-diam sedang mengintip mereka.  Adalah sosok pemuda bertubuh gemuk dengan perut bergelambir, Melviano namanya. Pemuda itu sedang mengintip di balik celah pintu yang terbuka sedikit dan fokusnya tertuju pada sang primadona sekolah, Stela.  “Heh, Melvi. Lo lagi apa di sini?”  Melviano tersentak kaget saat punggungnya ditepuk seseorang yang tiba-tiba datang. Secepat kilat dia berbalik badan, terkejut luar biasa saat mendapati Rita, teman satu kelas sekaligus salah satu anggota cheerleaders yang memergokinya sedang mengintip karena gadis itu datang belakangan ke ruang ganti.  “Lo lagi ngintip temen-temen gue ya?”  Melviano gelagapan, gugup luar biasa. Lidahnya juga terasa kelu, tak tahu harus menjawab apa karena faktanya dia memang sedang mengintip.  “Eh, itu surat apa di tangan lo?”  Melviano dibuat semakin panik, cepat-cepat dia menyembunyikan surat itu ke belakang punggung. Namun Rita yang jahil, tak menyerah begitu saja. Dia merebut surat itu dan membaca nama seseorang yang tertera di bagian depan surat.  “Wah, ini surat buat Stela ya? Jangan-jangan surat cinta.” “Kembalikan surat itu,” pinta Melviano sambil berusaha merebut surat miliknya yang kini berada di tangan Rita. “Gue bantu lo kasihin surat ini ke Stela.”  Ucapan Rita bukan hanya isapan jempol, gadis itu benar-benar masuk ke dalam ruang ganti seraya berteriak, “Stel, ada yang mau ngasih surat cinta buat lo nih. Lo punya penggemar rahasia!”  Seketika atensi semua gadis terpusat pada Rita yang baru saja menerobos masuk ruangan.  Stela memutar bola mata, “Surat cinta? Dari siapa?” Rita tersenyum lebar, lalu tanpa aba-aba membuka pintu selebar-lebarnya sehingga sosok Melviano kini bisa dilihat semua gadis di dalam ruangan.  “Dari dia,” kata Rita sambil menunjuk wajah Melviano dengan jari telunjuknya. “Dia ternyata penggemar rahasia lo. Nih, surat cinta dari dia.” “Kembalikan padaku suratnya, Rita.”  Rita mengabaikan permintaan Melviano, gadis itu berlari masih sambil memegang surat milik Melviano, lalu menghampiri Stela.  “Sini, biar gue yang baca.”  Desy merebut surat itu dan tanpa menunggu respon Stela, dia dengan lancang membaca surat yang isinya tentang pernyataan cinta Melviano pada Stela. Dalam surat itu, sang pemuda bahkan meminta Stela untuk menjadi kekasihnya.  Beberapa detik kemudian, suara tawa menjadi satu-satunya suara yang terdengar di dalam ruangan.  “Ini sih gila ya. Cowok gendut kayak lo, berani banget minta Stela jadi cewek lo. Lo sakit ya?” Ucap Desy di sela-sela tawanya.  Melviano menundukan kepala, kedua tangannya terkepal erat. Sakit hati dan malu, dua rasa itu tengah bercampur aduk di dalam benaknya sekarang.  “Sudah cukup, guys!” Satu teriakan Stela dan sukses membuat kegaduhan itu berubah hening dalam hitungan detik. Kini tak ada lagi yang tertawa, semua orang tertegun menyaksikan Stela yang tiba-tiba bangkit dari duduknya lalu berjalan menghampiri Melviano.  “Kamu suka sama aku?” Tanya Stela dengan suara lembut dan sopan. Diperlakukan sebaik itu oleh gadis yang disukainya, Melviano girang bukan main. Dia mendongak, menatap wajah cantik Stela sambil tersenyum lebar. Tak lama kemudian, sebuah anggukan diberikannya sebagai respon.  “Kamu beneran mau jadi pacar aku?” “I-Iya. Kamu mau jadi pacar aku, Stela?” Stela memasang pose sedang berpikir dengan mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke pelipis. “Hm, gimana ya? Kamu sih kayaknya cowok baik. Tapi, aku belum yakin deh sama kamu. Aku kan nggak terlalu kenal sama kamu.” “Aku harus ngelakuin apa supaya kamu percaya dan yakin sama aku?” Tanya Melviano, penuh semangat. “Kamu yakin mau penuhin semua permintaan aku?” Dengan antusias, Melviano mengangguk-anggukan kepala. “Ya. Apa pun. Bilang aja aku harus ngapain.” “OK. Kalau gitu mulai sekarang kamu harus turutin semua permintaan aku ya. Kalau aku udah yakin kamu emang cowok baik dan serius sama aku, mungkin aku bakalan mau jadi pacar kamu.”  Melviano tersenyum lebar, terlihat lega dan sumringah. “Iya. Katakan aja semua permintaan kamu, aku pasti kabulin kok.”  Dan Stela hanya tersenyum kecil, entah rencana apa yang sedang disusun gadis itu di dalam pikirannya.   ***   Demi Stela mengakui perasaannya, Melviano rela melakukan apa pun. Seperti saat ini, dia rela berdesak-desakan di kantin hanya demi membelikan roti yang dipesan gadis itu dan teman-temannya. Melviano tak mengeluh atau menggerutu meski dirinya didorong bahkan dimarahi siswa lain karena tubuhnya yang besar dan gemuk membuat orang lain sulit bergerak.  Setelah perjuangan berat berlangsung hampir 30 menit lamanya, Melviano akhirnya berhasil mendapatkan semua roti yang dipesan sang gadis pujaan. Sambil memeluk roti berjumlah lebih dari sepuluh dengan kedua tangan, Melviano melangkah ceria menuju kelas Stela.  Terhitung sudah satu minggu, seperti inilah kegiatan Melviano saat tiba jam istirahat siang. Dia akan berdesak-desakan di kantin yang penuh demi membelikan semua makanan yang dipesan Stela dan teman-temannya. Semua makanan itu dibeli dengan menggunakan uang Melviano, pemuda itu tak mengeluh sedikit pun, toh dompetnya memang tebal karena dia selalu diberi uang saku cukup besar oleh orang tuanya.  Melviano tiba di depan kelas Stela, berniat membuka pintu yang dalam kondisi sedikit terbuka, gerakan tangannya terhenti karena tanpa sengaja mendengar suara Stela yang sedang mengobrol dengan teman-temannya.  “Si Melvi kemana nih? Lama amat, padahal hari ini kita minta dibeliin roti doang?” Tanya Desy, menggerutu kesal karena perutnya sudah meraung-raung minta diisi namun Melviano tak kunjung menampakan batang hidungnya. “Penuh kali di kantin. Biasa jam segini kan emang lagi sesak-sesaknya tuh di kantin. Apalagi roti buatan Bi Inah kan emang favorit, incaran siswa di sekolah ini.” Mira menimpali. “Tapi enak juga ya, semenjak ada si Melvi yang jadi budaknya Stela, kita jadi nggak perlu desak-desakan di kantin. Kita tinggal duduk manis di sini, cowok gendut itu yang ngelayanin kita,” kata Desy diiringi suara tawa bersahut-sahutan dari gadis lainnya yang menyetujui ucapannya. “Oh, iya. Stel, ini kan udah satu minggu si Melviano nurutin semua permintaan lo. Dia kayaknya serius tuh cinta sama lo. Lo beneran mau terima dia jadi pacar lo?”  Ditanya seperti itu oleh salah satu temannya, Stela yang sedang memainkan ponselnya seketika mendengus kasar. Gadis itu bangkit berdiri dari duduknya sembari bertolak pinggang dengan angkuh. “Yang bener aja dong. Cewek idaman kayak gue, mana sudi pacaran sama si lemak berjalan kayak dia.”  “Lemak berjalan? Waah, parah sih lo ngatain dia,” sahut Mira. Dan suara tawa kembali mengalun. Bukan hanya berasal dari para gadis itu namun juga dari beberapa siswa yang memang sedang berada di dalam kelas tersebut. “Gue bener, kan? Dia emang gendut, panteslah disebut lemak berjalan. Udah gitu, polos banget lagi. Mau aja dibegoin. Disuruh-suruh kayak pembantu. Nggak nyadar gue lagi manfaatin dia doang.” Stela yang sedang tertawa lebar itu seketika mengatupkan bibir begitu mendengar suara pintu yang dibuka kasar oleh seseorang.  Tak hanya Stela, tapi semua orang di dalam kelas kini terbelalak begitu melihat Melviano yang baru saja menerobos masuk kelas  mereka.  Melviano yang tersulut emosi setelah mendengar semua penghinaan Stela dan teman-temannya, melempar sembarang semua roti dalam pelukannya. Wajah pemuda itu memerah dengan kedua mata memelotot sempurna, bukti amarah sedang menguasai.  “Kamu kok bilang gitu, Stel? Jadi kamu cuma mempermainkan aku selama ini?” Suara Melviano bergetar hebat, bukti tak terbantahkan emosi pemuda itu sedang berada di puncak.  Alih-alih merasa bersalah atau panik karena kebohongannya terbongkar, Stela justru mendongakan wajah dengan angkuh. Dia berjalan mendekati Melviano yang sedang mengepalkan tangan di dekat pintu, lalu berdiri tepat di hadapan sang pemuda sambil bertolak pinggang.  “Lo harusnya ngaca, cowok gendut kayak lo mana pantes sih sama gue. Hellooo, lo nggak punya cermin di rumah? Perlu gue beliin?”  Di dalam kelas suara tawa kembali mengalun dari teman-teman Stela yang menertawakan Melviano.  “Lo lihat diri lo sendiri deh. Muka tembem gini kayak bakpao,” kata Stela sambil menunjuk wajah Melviano dengan jari telunjuknya. Tatapan gadis itu kini tertuju pada perut Melviano yang buncit. “Apalagi perut lo. Idiiih, jijik gue. Bergelambir udah kayak balon. Gue tusuk pake kuku, meletus kali ya.”  Dan suara tawa semakin menggelegar di dalam kelas.  “Coba lo bandingin sama penampilan gue.” Stela memutar tubuhnya sambil mengibas-ngibaskan rambut sebahunya tepat di depan wajah Melviano. “Lihat kan perbedaan kita sekarang? Kalau diibaratkan nih, perbedaan kita bagai langit dan rawa-rawa.” Kini bukan hanya siswa di dalam kelas yang tertawa bahkan beberapa siswa yang berkerumun di depan pintu pun ikut menertawakan Melviano yang menurut mereka terlalu bodoh dan tidak tahu diri karena meminta gadis setenar Stela untuk menjadi kekasihnya.  “Kita berdua itu dilihat dari mana pun gak pantes jadi pasangan. Istilah kasarnya apa ya? Hm, nggak sepadan, beda level, nggak setara.” Stela kini menekan d**a Melviano dengan jari telunjuknya. “Lo harusnya nyari cewek yang punya badan gajah kayak lo. Oopss, salah deh. Maksudnya nyari cewek yang sama kayak lo, lemak berjalan.”  Melviano menundukan kepala, dia merasa seperti sedang dikeroyok sekarang karena tak ada satu pun yang membela atau membantu dirinya. Semua orang tampak puas menertawakan dirinya yang tulus mencintai Stela. Tapi kini dia sadar sudah mengagumi dan jatuh cinta pada gadis yang salah.  “Udah gitu nama lo bikin gue pengen katawa lagi. Mirip banget sama nama cewek. Melvi ... Melvi ... jijik gue manggilnya,” tambah Stela sambil berekspresi seolah dirinya sedang menahan mual.  Melvi! Melvi! Melvi!  Layaknya paduan suara, semua orang kini mengelu-elukan nama Melviano sebagai bentuk ejekan.  “Semoga lo sadar sekarang. Gue terlalu tinggi buat lo gapai. Besok gue beliin cermin deh ya, biar lo ngaca dulu sebelum nyatain cinta ke gue.”  Melviano pun tak kuasa lagi menahan rasa sakit hatinya karena itu dia berlari secepat yang dia bisa, meninggalkan orang-orang yang tiada henti menertawakan dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD