BAB ENAM

2227 Words
Suara langkah kaki Keysa terdengar menggema di dalam koridor menuju ruangan atasannya sembari memegang telepon yang dia tempelkan di telinga.  Tanpa ragu dia membuka pintu ruangan begitu tiba.  “Kamu cari dokumennya di laci meja saya. Ada sekitar tiga dokumen di sana yang harus kamu bawa ke sini karena itu dokumen penting.” Suara seseorang di seberang sana terdengar sedang memberikan perintah pada Keysa. “Baik, Nona. Ini saya baru saja tiba di ruangan Nona Stela.”  Keysa lalu berjalan cepat menuju laci yang dimaksud atasannya yang tidak lain merupakan Stela. Dia menarik laci itu namun tak bisa dibuka karena dalam kondisi terkunci.  “Nona, maaf, tapi ini lacinya tidak bisa dibuka. Sepertinya dikunci.” “Ya, kalau lacinya dikunci kamu cari dong kuncinya. Gimana sih? Kamu semakin hari kerjanya semakin lambat saja.”  Keysa tertegun, tak berani membela diri meski Stela sedang memarahinya. “Iya, maaf, Nona. Sebentar saya cari dulu kuncinya.”  Dengan tergesa-gesa dan terlihat jelas dirinya sedang panik, Keysa berjalan ke sana kemari untuk mencari kunci laci itu berada. Dia awalnya mencari di atas meja, namun tak ada satu pun benda menyerupai kunci berada di sana. Dia juga mencari di laci-laci yang lain tapi rupanya memang semua laci dalam keadaan terkunci.  “Keysa, sudah ketemu belum kuncinya? Lama sekali sih!”  Keysa semakin panik mendengar suara Stela yang mulai membentaknya, mungkin kesal karena dia terlalu lama.  “Maaf, Nona. Tapi saya belum menemukan kuncinya. Di atas meja tidak ada, semua laci juga dalam keadaan terkunci.”  Kali ini suara decakan Stela yang terdengar. “Ya ampun, kamu ini bener-bener payah. Sudah lamban, pelupa lagi. Saya tanya kamu sudah berapa lama bekerja sebagai asisten saya?” “Sudah empat bulan, Nona,” jawab Keysa takut-takut. Dia yakin akan dimarahi habis-habisan karena masalah ini. “Sudah empat bulan dan kamu masih tidak tahu dimana saya meletakan kunci semua laci? Kamu sebenarnya tidak tahu atau pura-pura tidak tahu sih? Atau jangan bilang kalau kamu lupa?”  Keysa meringis, sepertinya dia memang baru mengingat sesuatu yang tadi dia lupakan. Padahal Stela dulu memang pernah memberitahunya bahwa kunci semua laci diletakan di dalam brankas besi yang diletakan di bawah meja.  “Maaf, Nona. Saya tadi lupa. Saya ingat sekarang Nona pernah memberitahu saya kuncinya disimpan di brankas besi. Sekarang akan saya cari kuncinya.” “Huuh, lama-lama saya kesal dengan cara kerja kamu, Keysa. Kalau kamu tidak bisa memperbaiki diri, saya tidak akan segan-segan untuk memecatmu.”  Kesya terbelalak begitu mendengar ancaman Stela. “Jangan pecat saya, Nona. Saya sangat membutuhkan pekerjaan ini. Saya berjanji untuk ke depannya saya akan bekerja lebih baik lagi.” “Saya pegang kata-kata kamu ya. Awas kalau membuat saya kesal lagi. Cepat sana cari kuncinya, sebentar lagi para tamu undangan tiba di villa.” “Baik, Nona.” Dengan cepat Keysa berjalan menuju brankas besi, dia lalu membukanya karena beruntung kali ini dia mengingat password brankas itu, dia tak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika sampai melupakan password brankas juga, pasti Stela akan semakin marah besar dan mungkin saja kali ini dia benar-benar akan dipecat. Sesuatu yang sama sekali tak diinginkan Keysa sedikit pun karena dia begitu membutuhkan pekerjaan ini.  Keysa bisa bernapas lega karena begitu membuka brankas, dia menemukan kunci yang dicarinya. Dia pun berlari menuju laci dan kali ini refleks mengembuskan napas lega karena pintu laci akhirnya bisa dibuka.  “Bagaimana? Bisa dibuka lacinya?” Tanya Stela di seberang sana karena sambungan telepon mereka masih tersambung. “Sudah, Nona. Ini lacinya sudah saya buka,” jawab Keysa, seramah mungkin berharap emosi Stela bisa mereda. “Sekarang kamu cari dokumen yang map-nya berwarna hitam, hijau dan merah muda.” “Iya, Nona. Ini sedang saya cari.”  Ada banyak dokumen di dalam laci itu, Keysa mengeluarkan semuanya agar dia bisa dengan mudah mencari tiga dokumen penting yang baru saja disebutkan sang atasan.  Namun anehnya meski Keysa sudah memeriksa satu per satu semua dokumen, ketiga dokumen itu sama sekali tak ada di sana.  “Bagaimana? Sudah ketemu belum dokumennya?” Suara Stela kembali terdengar membuat Keysa panik sekaligus takut. Panik karena dokumen itu tak ada di mana pun. Takut jika Stela akan kembali memarahinya.  “Keysa, gimana udah ketemu belum? Kamu tuli atau bisu?!” Keysa meringis, sekarang tak memiiki pilihan selain mengatakan yang sebenarnya bahwa dokumen yang disebutkan Stela tak ada satu pun di dalam laci itu.  “Maaf, Nona, tapi di laci ini tidak ada ketiga dokumen yang anda sebutkan?” “Yang benar kamu?” “Sungguh, Nona. Saya tidak akan berani membohongi anda,” jawab Keysa, takut luar biasa karena Stela tak hentinya bicara dengan ketus dan tegas, bahkan seringkali membentaknya.  “Coba kamu cari yang teliti. Tidak mungkin dokumen itu tidak ada di laci, saya yakin kok menaruhnya di sana.”  Menuruti perintah Stela, Keysa kembali memeriksa tumpukan dokumen itu, berharap kali ini dia menemukannya. Namun nihil karena dokumen itu memang tak ada satu pun.  “Sudah saya periksa berkali-kali, Nona. Tapi ketiga dokumen yang anda sebutkan tidak ada di laci ini.”  Tak terdengar suara Stela menyahuti lagi membuat Keysa semakin ketakutan dan waswas. Padahal dia sudah mengikuti semua instruksi Stela, tapi jika dirinya dipecat karena masalah ini, entahlah, Keysa merasa ini sama sekali tidak adil. Padahal selama empat bulan ini dia berusaha sabar menghadapi Stela yang memang temperamen. Wanita itu juga selalu memerintah Keysa seenaknya seolah Keysa itu b***k alih-alih asisten pribadi.  “Oh, dokumennya ternyata ada di dashboard mobil saya. Saya lupa kemarin malam sudah saya bawa.”  Jika Keysa tak ingat Stela itu bosnya maka sudah dipastikan dia akan marah-marah sekarang, mengumpati wanita itu dengan berbagai u*****n kasar. Padahal Stela sudah marah-marah padanya sejak dia masih di kost-an tadi. Wanita itu membangunkannya di pagi buta di saat Kesya masih tertidur lelap. Bahkan dia berangkat dengan buru-buru hingga tak sempat memberi makan Sylvester, jadilah kucing kesayangannya itu dititipkan pada tetangganya karena setelah ini dia akan menginap di villa selama tiga hari tiga malam untuk menemani Stela selama pelaksanaan acara di sana. Semua kesusahan yang dialaminya sejak pagi tadi tidak lain karena dokumen itu. Dan sekarang dengan santainya Stela mengatakan dokumennya ternyata sudah dia bawa.  “Oh, syukurlah jika sudah ada dokumennya, Nona,” ucap Keysa, berusaha seramah mungkin padahal aslinya dia sedang memutar bola mata disertai wajah yang mengerut karena jengkel.  “Iya, udah ada sama saya dokumennya. Ya udah kamu ke sini sekarang ya. Tamu undangan mulai berdatangan. Jangan sampai terlambat, saya tunggu kamu di sini satu jam lagi.”  Detik itu juga Keysa terbelalak, atasannya itu kembali memerintah dengan seenaknya padahal jarak dari kantor ke villa terbilang cukup jauh. “Baik, Nona,” balasnya sembari mengumpat dalam hati karena tak mungkin dia berani mengungkapkannya secara langsung.  Sambungan telepon pun terputus begitu saja, tentu yang memutuskan secara sepihak itu adalah Stela. Keysa memelototi layar ponsel seolah sinar laser untuk melubangi layar itu bisa muncul dari kedua matanya. Sebenarnya Keysa hampir tak tahan bekerja menjadi asisten Stela, namun karena teringat dengan keluarganya di kampung yang menopang hidup padanya, mau tak mau Keysa harus berusaha menguatkan diri. Jangan lupakan ini karena gaji yang dia dapatkan di perusahaan sangat besar sehingga harus berpikir ratusan kali jika ingin melepasnya.  Masih diliputi hati yang luar biasa panas karena amarah dan kesal, Keysa keluar dari ruangan itu setelah merapikan kekacauan yang dia buat. Dia lalu melenggang pergi menuju parkiran dimana mobil yang akan mengantarnya ke Villa sudah menunggunya sedari tadi.    ***   Keysa sudah ada di dalam mobil sekarang, duduk santai di kursi belakang sembari mengurut-urut pangkal hidungnya yang berdenyut karena kejadian tadi. Lagi pula dia belum sempat sarapan tadi karena berangkat terburu-buru, padahal dia memiliki penyakit lambung yang cukup kronis. Akan merasa mual dan pusing jika sampai telat makan. Dan itulah yang mulai dirasakan Keysa, kepalanya berdenyut sakit serasa berputar-putar, perut mulas bukan main dan mulai merasa mual. Keysa harus menahan penderitaan itu sebentar lagi karena tak lama lagi dirinya akan tiba di villa perusahaan.  “Bu Keysa pucat sekali wajahnya. Ibu baik-baik saja, kan?” Tanya Pak Ujang, sang sopir yang sedang mengemudikan mobil untuk mengantar Keysa ke Villa. Dia melirik dari kaca spion tengah dan menyadari kondisi Kesya terlihat aneh.  “Saya tadi gak sempat sarapan, Pak. Biasa, Nona Stela udah cerewet pagi-pagi buta.”  Pak Ujang mendengus mendengar pengakuan Keysa, sudah tak aneh lagi dengan kelakukan bosnya yang satu itu. Sangat jauh berbeda dengan pemimpin tertinggi perusahaan yang tidak lain merupakan ayah Stela. Sebagai pemimpin utama, Moreno Grizelle terkenal begitu baik dan loyal pada bawahan, tanpa terkecuali. Sedangkan putrinya, berkebalikan dengan sang ayah yang begitu dicintai semua karyawannya di kantor. Stela justru dibenci semua karyawan di kantor, terutama Keysa yang menjabat sebagai asisten pribadinya.  “Saya tuh suka kasihan sama Bu Keysa, setiap hari saya perhatikan dimarahi terus sama Bu Stela. Malah sering juga kan dimarahi di depan umum?”  Keysa tak berkomentar karena yang dikatakan Pak Ujang memang benar adanya, tak ada hari tanpa dirinya tak dimarahi oleh Stela.  “Tapi saya salut, Bu Keysa itu sabar sekali menghadapi Bu Stela. Padahal asistennya yang dulu-dulu sudah menyerah di bulan pertama bekerja. Mereka langsung mengundurkan diri karena sikap Bu Stela yang suka seenaknya seperti itu.” Keysa tersenyum miris karena sebenarnya dia juga ingin mengundurkan diri. Hanya saja sekali lagi kebutuhannya di kampung halaman membuatnya memaksakan diri untuk bertahan.  “Ini demi keluarga saya di kampung, Pak. Ayah saya kan sudah meninggal. Ibu juga sakit-sakitan, sedangkan adik-adik saya masih sekolah. Jadi saya yang harus menafkahi mereka. Saya ini tulang punggung keluarga, Pak,” sahut Keysa, menjelaskan alasan dirinya bisa bertahan sejauh ini.  “Iya, saya mengerti, Bu. Tapi kalau saya boleh memberi saran, saya sarankan Bu Keysa juga mencari lowongan pekerjaan di tempat lain supaya Bu Keysa nggak kesiksa terus sama sikap Bu Stela yang seperti itu. Saya tidak tega setiap melihat Bu Keysa disuruh-suruh seperti pembantu atau dimarahi di depan umum oleh Bu Stela hanya karena masalah sepele.”  Keysa tersenyum tipis, merasa terharu karena Pak Ujang begitu peduli padanya. “Iya, Pak. Nanti saya coba mencari lowongan di perusahaan lain.”  Hah, andai saja mendapatkan pekerjaan baru itu sangat mudah, tentu Keysa sudah sejak dulu angkat kaki dari perusahaan Grizelle Group.  Dalam suasana santai di dalam mobil itu sebuah insiden tak terduga, terjadi. Mobil yang tiba-tiba berhenti tanpa sebab. “Kenapa, Pak? Kok berhenti di sini, Villa-nya kan masih lumayan jauh?” Tanya Keysa mulai merasakan firasat buruk karena Pak Ujang terlihat kesulitan menyalakan mesin.  “Sebentar, Bu, saya periksa dulu mesinnya.”  Keysa mengangguk meski hatinya khawatir bukan main. Dia lalu melirik ke arah jam tangan yang melingkar di lengan kiri, padahal tinggal sepuluh menit lagi sampai satu jam yang dimaksud Stela tadi. Bukan hanya panik, tapi Keysa mulai takut karena kejadian ini dirinya benar-benar akan dipecat terutama jika mengingat tadi dirinya sudah berjanji pada Stela tak akan mengulangi kesalahan atau membuat Stela kesal lagi.  Keysa yang sedang membayangkan Stela memarahinya itu tersentak kaget saat pintu mobil tiba-tiba dibuka oleh Pak Ujang.  “Bu, mesinnya mogok. Harus memanggil tukang bengkel.”  Dan hal yang ditakutkan Keysa benar-benar menjadi kenyataan. “Hah, bagaimana ini, Pak? Mana Bu Stela melarang saya datang terlambat, waktunya kurang dari sepuluh menit atau Bu Stela akan memecat saya karena datang terlambat.”  Pak Ujang menatap iba pada nasib Keysa yang menurutnya begitu naas karena memiliki atasan sekejam Stela. Pria paruh baya itu menoleh ke belakang saat mendengar suara mesin mobil yang mulai mendekat.  “Bu, ada mobil yang lewat, mungkin itu mobil salah satu tamu undangan!”  Keysa mengikuti arah yang ditatap Pak Ujang, benar memang ada mobil sedan mewah berwarna hitam yang mendekat. Keysa cepat-cepat keluar dari mobil. Dia yakin itu memang salah satu mobil tamu undangan mengingat jalan yang mereka lalui itu merupakan satu-satunya jalan menuju Villa perusahaan Grizelle Group.  “Pak, bantu saya memberhentikan mobil itu!” pinta Keysa tak sabar, takut  mobil itu keburu melewati mereka.  Pak Ujang dan Keysa berteriak-teriak sembari melambai-lambaikan tangan agar mobil itu berhenti. Keysa bahkan dengan berani berdiri di tengah jalan sembari merentangkan  kedua tangan ke samping.  “Berhenti! Berhenti! Tolong berhenti!” teriak gadis itu. Seketika dia tersenyum sumringah begitu melihat mobil itu berhenti melaju. Keysa cepat-cepat mengambil tasnya di dalam mobil. “Pak, saya ikut mobil itu saja. Tidak apa-apa kan bapak jadi menunggu sendirian di sini?”  Pak Ujang mengangguk, “Tidak apa-apa, Bu. Biar saya saja yang menunggu tukang bengkel di sini. Saya akan menghubungi bengkel langganan perusahaan kita.”  Keysa mengangguk setuju lalu dengan langkah cepat berjalan menghampiri mobil mewah yang masih berhenti seolah sedang menunggu Keysa.  Keysa mengetuk kaca mobil untuk meminta izin pada pemilik mobil tersebut bahwa dia akan menumpang. Kaca mobil pun diturunkan dengan perlahan, Keysa sudah mempersiapkan senyum seramah mungkin pada pemilik mobil. Namun di detik berikutnya senyum gadis itu memudar setelah melihat siapa orang yang sedang duduk di kursi depan samping kursi pengemudi itu.  Wajahnya yang tampan dengan sorot mata tajam, tak mungkin Keysa lupa bahwa dua hari yang lalu dia bertemu dengan pria itu di sebuah restauran. Dia si pria tampan penolongnya yang membayarkan dua porsi bubur yang dipesan Keysa. Keysa masih ingat betul dirinya memiliki hutang lima puluh lima ribu pada pria itu. Pria tampan yang bukan sembarang pria, melainkan seorang CEO sukses yang baru diceritakan Stela, Vian Zemiro Abiputra, yang tidak lain merupakan Melviano.  Keysa menegang di tempatnya berdiri, tiba-tiba lidahnya kelu sekadar meminta izin untuk ikut menumpang karena dia tak ingin merepotkan pria itu untuk kedua kalinya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD