BAB LIMA

2204 Words
Walau dirinya memiliki jadwal yang cukup penting hari ini, sama sekali tak menyurutkan Melviano untuk melakukan rutinitas paginya yaitu jogging di sekitar rumah ibunya. Sejak pulang dari kantor semalam, Melviano memilih pulang ke rumah ibunya dibandingkan ke apartemennya sendiri. Memang semenjak dirinya menjabat sebagai CEO, Melviano lebih memilih menetap di apartemen yang dekat dengan kantor dibandingkan rumah sang ibu yang jaraknya cukup jauh dengan kantor.  Saat dirinya berlari melewati pedagang bubur ayam yang sedang dikerumuni beberapa gadis SMA yang sedang sarapan sebelum berangkat ke sekolah, Melviano mencoba abai meski dia tahu gadis-gadis ABG itu tengah menatap penuh damba padanya.  “Om ganteng, keringatnya boleh dong dielapin. Dengan senang hati aku mau bantu elapin, Om!” teriak salah satu siswi yang secara terang-terangan menggoda Melviano yang memang banjir keringat karena hampir satu jam pria itu jogging pagi ini.  Melviano mendengus, tak ingin mempedulikan para gadis yang sedang berteriak memanggil-manggil dirinya, dia tetap melanjutkan aktivitas jogging seolah tak sedikit pun mendengar teriakan mereka. Aslinya sih tentu pria itu mendengarnya.  Bukan bermaksud untuk pamer tapi Melviano yang sekarang memang sangat populer di kalangan para gadis. Jauh berbeda ketika dia masih duduk di bangku SMA. Melviano tak akan pernah lupa bagaimana dirinya selalu diejek, dihina dan dicemooh orang-orang hanya karena tubuhnya yang gemuk. Puncaknya penghinaan yang diberikan Stela, seumur hidup pun Melviano tak akan pernah melupakannya, membuat pria itu luar biasa trauma memiliki tubuh gemuk karena itu rutin melakukan olahraga setiap harinya.  Ngomong-ngomong tentang dirinya yang selalu dikerumuni para gadis, itu memang kebenaran, bukan hanya isapan jempol semata. Dirinya mulai populer begitu duduk di bangku kuliah. Ketika itu Melviano kuliah di luar negeri, di Universitas Harvard lebih tepatnya. Banyak gadis yang mendekati dan menyatakan cinta tanpa rasa malu. Namun selalu berakhir dengan Melviano yang menolak mereka mentah-mentah dan secara terang-terangan. Jika boleh jujur, sejak dirinya ditolak dan dipermalukan oleh Stela, dia tak memiliki kepercayaan lagi pada wanita mana pun. Bagi Melviano, semua wanita itu sama saja, tidak lebih hanya akan mengejar pria tampan berdompet tebal karena pria berwajah pas-pasan, bertubuh jauh dari kata ideal dan dompet yang menipis di tanggal tua, siap-siap saja akan dibuang jika sudah dianggap tak berguna lagi. Meski sebenarnya tak semua wanita seperti itu, tapi dalam pandangan Melviano, semua wanita kurang lebih sama semua yaitu matre atau mata duitan.  Seumur hidupnya, Melviano tak pernah sekalipun berpacaran. Saat kuliah, yang menjadi fokus utamanya hanya belajar, belajar dan belajar. Tentu mempelajari bisnis karena dia tahu persis di masa depan akan meneruskan ayahnya memimpin perusahaan. Dan lihatlah, hasil kerja kerasnya menuntut ilmu sampai nun jauh ke luar negeri ternyata membuahkan hasil yang manis. Pengetahuannya tentang dunia bisnis sudah sangat matang sehingga tak sulit baginya menciptakan strategi yang membuat perusahaan yang dipimpinnya kini sukses besar.  Dan sekarang keinginan Melviano untuk memajukan perusahaan sudah tercapai, yang tersisa tinggal ambisinya untuk membalas dendam pada gadis itu. Auristela Grizelle yang telah membuatnya memandang buruk semua wanita sekaligus trauma berdekatan dengan semua wanita di muka bumi.  Setelah dirasa cukup berolahraga, Melviano kembali ke rumah ibunya. Mendapati sang ibu sedang bersantai di taman belakang, pria itu tanpa ragu ikut bergabung.  “Ma, melamun sendirian lagi?” tanya Melviano sambil memicing tajam karena tak suka melihat ibunya bermuram durja di pagi hari seperti ini. Tentu dia tahu penyebab ibunya memasang raut sendu sambil menyendiri di tempat ini, tidak lain karena dia masih tak terima dengan kepergian suami tercintanya yang meninggal karena gagal jantung, enam bulan yang lalu.  “Sepi banget di rumah rasanya. Apalagi kamu juga udah gak tinggal di sini.” Meriska nama wanita berusia 48 tahun yang melahirkan Melviano di usia yang terbilang masih muda itu. Hanya Melviano satu-satunya anak yang berhasil dia lahirkan karena dua calon anaknya meninggal saat masih dalam kandungan, menjadikan Melviano putra tunggal di keluarga Abiputra sekaligus menjadi satu-satunya pewaris seluruh kekayaan keluarga.  Melviano berdecak, “Kan aku sering nengokin mama. Buktinya sekarang aja aku lagi di sini kan nemenin mama.”  Meriska menoleh pada sang putra yang duduk di sampingnya, masih dengan memasang raut sendu. “Kamu kan sekarang tinggal di apartemen. Pulang ke rumah juga jarang banget. Bisa dihitung berapa kali aja dalam sebulan. Kamu pindah lagi aja ke rumah ya, tinggal lagi sama mama di sini.”  Melviano memutar bola mata, malas mendengar keinginan ibunya yang itu-itu saja. Sudah sering dia mendengar permintaan seperti ini terlontar dari mulut sang ibu. “Aku sengaja tinggal di apartemen biar deket ke kantor, Ma. Kalau tiap hari pulang pergi dari rumah ini ke kantor kan jauh banget. Hampir sejam perjalanannya. Kalau dari apartemen kan cuma lima belas menit.”  Melviano menjeda ucapannya saat melihat ibunya menunduk lesu di kursinya. “Masa mama tega lihat aku tiap hari pulang pergi jauh banget. Capek di jalan ntar.”  Helaan napas Mariska terdengar pelan, “Coba kamu udah nikah, mama kan jadi gak kesepian lagi karena istri kamu bisa nemenin mama di rumah.”  Melviano hanya memasang raut datar karena pembahasan ini juga bukan pertama kalinya dia dengar, melainkan sudah berkali-kali. Salah satu alasan lain Melviano memilih pindah ke apartemen karena semenjak suaminya tiada, ibunya itu selalu memaksa Melviano agar cepat-cepat menikah dengan alasan yang sama yaitu agar dia tak kesepian di rumah.  “Usia kamu juga udah 27 tahun. Udah pas buat nikah.”  Melviano mendengus kasar, “Aku kan udah bilang sama mama, aku belum mau nikah.” “Kenapa? Karena calonnya belum ada? Mama kan udah sering nunjukin foto-foto wanita cantik sama kamu. Kamu tinggal pilih aja salah satu.”  Melviano menggelengkan kepala, “Nggak, Ma. Aku gak mau dijodohin.” “Habis kamu nggak juga nyari pacar jadi mau gak mau harus mama jodohin.” Meriska menggenggam tangan Melviano begitu erat. “Kamu mau ya pilih salah satu foto wanita yang pernah mama lihatin ke kamu. Udah waktunya kamu nikah. Mama takut kamu jadi perjaka tua nanti.”  Dan seketika Melviano tertawa mendengar kekhawatiran ibunya yang berlebihan menurutnya. “Kalau laki-laki itu gak masalah walau nikah di usia tua. Beda sama perempuan, Ma. Aku masih belum kepikiran berumah tangga soalnya masih pengen fokus bangun perusahaan.” “Perusahaan kamu kan udah maju pesat dibanding waktu dipegang papa.” “Aku masih belum puas sebelum Abiputra Company jadi perusahaan nomor satu di Indonesia. Kalau bisa nomor satu di dunia.”  Meriska memutar bola mata, selalu seperti itu alasan yang diberikan Melviano saat menolak jika disuruh secepatnya menikah.  “Mama tuh pengen cepet-cepet punya cucu. Kan rame kalau di rumah ada anak kecil.” “Kalau yang mama pengen di rumah ada anak kecil, mama kan bisa ngadopsi anak kecil dari panti asuhan. Anggap aja anak mama sendiri. Aku pasti dukung kok. Aku juga bakalan sayang sama anak itu kayak adik aku sendiri.”  Melviano meringis saat kepalanya dipukul sang ibu karena Meriska yang gemas bukan main pada putra semata wayangnya tersebut yang selalu punya cara untuk membalas ucapannya. “Mama itu pengen cucu dari kamu. Pengen cucu yang ada darah keluarga Abiputra mengalir di tubuh dia. Bukan anak orang gak dikenal. Kamu gimana sih, masa gak ngerti keinginan mama?”  Melviano menggaruk puncak kepalanya yang baru saja dipukul ibunya, meski tak keras tapi tetap saja membuat rambutnya berantakan dan kepalanya sedikit berdenyut. “Ya udah, mama sabar aja. Kalau udah waktunya juga, mama bakalan punya cucu kok.” “Kapan kamu bisa ngasih mama cucu?” “Ya, ntar kalau aku udah nikah.” “Terus kapan kamu nikah? Mama nanya serius ini.”  Melviano menghela napas panjang, rasanya ingin melarikan diri saja sekarang. “Nanti, Ma. Calonnya aja belum ada, gimana mau nikah?”  Dan meriska pun menggeram karena kesal setengah mati pada Melviano. “Berapa kali mama bilang kamu tinggal pilih aja dari foto-foto yang mama kasih ke kamu.” “Gak mau,” jawab Melviano tegas. “Kalaupun aku harus nikah, aku bakalan nikah sama perempuan pilihan aku sendiri. Aku gak mau dijodohin ya, Ma. Titik gak pake koma.”  Melviano pun beranjak bangun dari duduknya dan hendak berjalan santai memasuki rumah karena dia harus bersiap-siap untuk melakukan sesuatu.  “Seenggaknya kamu cepetan nyari pacar, biar mama tenang. Mama tuh kadang mikir jangan-jangan kamu ini gak doyan perempuan. Jangan-jangan kamu gay ya?”  Melviano tercekat dan langsung menghentikan langkah. “Mama jangan ngomong sembarangan. Aku normal, Ma. Masih normal.” “Buktiin sama mama. Mama kasih kamu waktu satu bulan, kamu harus kenalin pacar kamu sama mama. Kalau nggak, mama beneran curiga kamu ini gay, Melvi.”  Melviano mengurut pangkal hidungnya, pusing jika sudah membahas masalah seperti ini dengan ibunya. Padahal Melviano benar-benar tak tertarik menjalin hubungan dengan wanita mana pun. Tidak sampai balas dendamnya pada Stela tercapai.  “Melvi! Kamu denger gak apa kata mama?”  Melviano berdecak jengkel, “Iya, denger kok, Ma,” jawabnya ketus. “Ma, berapa kali sih aku harus bilang, jangan manggil Melvi lagi. Vian, Ma, Vian. Mulai sekarang panggil aku, Vian,” tegas Melviano karena mendengar sang ibu memanggilnya dengan Melvi membuatnya kembali teringat pada kenangan di masa lalu. Saat teman-teman SMA-nya mengejek namanya yang kata mereka mirip dengan nama anak perempuan.  “Mama gak peduli. Nama kamu kan Melviano, jadi pas kalau dipanggil Melvi.” Tanpa berdosa, Meriska menyengir lebar.  Melviano tak ingin memperpanjang obrolannya dengan sang ibu atau lama kelamaan dua tanduk bisa muncul di kepalanya saking kesal mendengar ibunya yang terlalu keras kepala. Melviano pun melenggang pergi, mengabaikan sang ibu yang terus meneriakkan ‘Melvi’ karena wanita paruh baya itu tak ingin ditinggal sendirian.  Melviano masih berjalan santai menaiki tangga menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Dia mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana dan terlihat menghubungi seseorang karena sekarang ponsel itu sudah menempel di telinganya.  “Hallo, Bams.” Sapaan pertama yang dilontarkan Melviano begitu teleponnya tersambung dengan sang asistem kepercayaan di seberang sana. “Kamu ada di mana sekarang?” tanyanya. “Sebentar lagi saya sampai di komplek perumahan anda. Mohon ditunggu, Pak.”  Melviano menyeringai lebar, “OK.”  Lalu bergegas dia putus sambungan telepon itu. Dia sudah tak sabar ingin segera berangkat karena hari ini dia akan pergi menuju Villa Grizelle Group. Ya, acara pertemuan tiga hari tiga malam yang diselenggarakan Moreno Grizelle untuk merayakan ulang tahun pernikahannya itu dilaksanakan hari ini. Melviano tak sabar ingin segera tiba di Villa itu agar rencana balas dendamnya pada Stela bisa segera dia lakukan.  Langkah Melviano menaiki anak tangga semakin cepat, dia harus cepat-cepat mandi dan bersiap untuk berangkat karena Bams yang akan mengantarnya ke Villa itu sebentar lagi akan tiba di rumah ibunya ini.    ***   Melviano sudah duduk manis di kursi samping kemudi karena yang mengemudikan mobil, siapa lagi kalau bukan asisten pribadinya, Bams. Suasana hening karena baik Melvaino maupun sang asisten tak ada yang mengeluarkan suara, bahkan suara musik pengantar perjalanan pun tak terdengar mengalun.  “Bams, bagaimana jadwal meeting dan pertemuan dengan klien, sudah kamu urus?” tanya Melviano tiba-tiba saat mengingat dirinya memiliki jadwal penting di kantor namun demi kelancaran rencana balas dendamnya pada Stela, dia mengorbankan urusan perusahaan itu.  Bams mengangguk, “Sudah saya undur semua jadwalnya, Pak. Sudah saya konfirmasikan juga pada semua divisi dan klien yang akan bertemu dengan anda.” “Bagus,” jawab Melviano, selalu puas pada kinerja Bams yang memang cepat dan teliti, nyaris tak pernah melakukan kesalahan selama pria itu bekerja menjadi asisten pribadinya.  “Selama aku pergi dan tidak masuk ke kantor, semua urusan perusahaan aku percayakan padamu. Aku harap tidak terjadi masalah apa pun, aku tidak ingin saat kembali ke kantor ada sesuatu yang mengecewakan yang terdengar ke telingaku.  Bams spontan meneguk ludah, “Siap, Pak. Anda jangan khawatir, saya akan melakukan yang terbaik.”  Melviano menepuk bahu Bams membuat pria yang sedang fokus menyetir itu sedikit terenyak kaget. “Bagus. Jangan khianati kepercayaan yang kuberikan padamu, Bams.” “Baik, Pak,” jawab Bams disertai anggukan kepala.  “Oh, iya, Pak. Kalau boleh tahu apa yang akan anda lakukan di Villa untuk melancarkan rencana balas dendam anda pada Nona Stela?”  Bams sendiri tak sadar dari mana dia mendapatkan keberanian sebesar itu untuk bertanya demikian pada sang CEO. Sempat khawatir atasannya itu akan marah, nyatanya tidak karena Melviano justru sedang menyeringai sekarang seolah pria itu senang karena Bams bertanya demikian padanya.  “Aku akan melakukan apa pun agar balas dendamku pada wanita angkuh itu berhasil,” jawab Melviano. “Kamu ingin tahu bagaimana rencananya aku akan membalas dendam padanya?”  Tanpa ragu Bams mengangguk, “Iya, Pak. Saya penasaran dengan rencana balas dendam anda.”  Melviano mendengus, “Aku akan mendekatinya. Berpura-pura tertarik dan jatuh cinta padanya. Aku tahu sepertinya dia wanita yang cukup sulit untuk ditaklukan, tapi aku juga bukan pria yang menyerah semudah itu. Aku tidak akan berhenti mendekatinya sampai dia luluh dan jatuh cinta padaku. Aku akan berpura-pura serius menjalin asmara dengannya hingga dia percaya padaku sepenuhnya dan tergila-gila padaku. Bisa kamu tebak apa yang akan kulakukan setelah itu?”  Bams tampak sedang berpikir, “Hm, mungkin anda akan mencampakannya setelah dia jatuh cinta pada anda.”  Melviano menggeleng, “Tidak secepat itu rencana balas dendamku akan berakhir, Bams.” Bams mengernyitkan dahi, “Kalau begitu apa yang akan anda lakukan setelah Nona Stela jatuh ke pelukan anda dan tergila-gila pada anda?” “Aku akan melamarnya,” balas Melviano yang sukses membuat kedua mata Bams terbelalak sempurna. “Lalu tepat di hari pernikahan kami berlangsung, aku tidak akan datang ke sana. Kamu mengerti sekarang, Bams, rencana hebatku ini?”  Bams kembali meneguk ludah tanpa sadar, “Jadi anda berniat mencampakan Nona Stela di hari pernikahan kalian?”  Melviano pun tertawa lalu menyeringai lebar setelahnya, “Ya. Hanya mencampakannya sama sekali belum cukup untuk membalas perbuatannya padaku. Seperti dia yang dulu mempermalukanku di depan umum, aku juga akan melakukan hal yang sama. Mempermalukannya di depan banyak orang hingga dia merasa tak memiliki muka lagi untuk bertemu dengan orang lain. Sama persis seperti yang aku rasakan di masa lalu.”  Bams pun tak mengatakan apa pun lagi karena rencana balas dendam Melviano ternyata lebih serius dan menyeramkan dari yang dia kira.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD