Melviano mengernyitkan dahi saat melihat wanita kurang ajar yang dengan tak tahu diri menghalangi jalannya tidak lain merupakan wanita yang dia temui dua hari yang lalu di restauran yang khusus menjual berbagai jenis bubur. Melviano tak mungkin lupa pada sosok wanita asing yang dengan berani meminta izin untuk duduk satu meja dengannya, lalu pura-pura menatap ke luar padahal diam-diam terus melirik ke arahnya disertai wajah yang memerah karena terpesona melihat ketampanannya.
Menurut Melviano, wanita itu terlihat jelas hanya wanita matre yang hobi mengejar pria berdompet tebal, terbukti dari caranya yang pura-pura kecopetan padahal Melviano yakin wanita itu hanya sedang acting. Pasti dengan sengaja mengarang cerita karena ingin dua porsi buburnya dibayarkan Melviano, dan demi membuat wanita itu kegirangan, Melviano memang dengan sengaja berbaik hati membayarkan dua porsi bubur itu. Toh, harganya juga murah, tak ada artinya bagi seorang CEO sukses sepertinya.
Dan sekarang wanita tak tahu malu itu kembali muncul di depannya, Melviano heran bukan main karena bisa-bisanya dia dipertemukan dengan wanita penipu itu lagi. Ngomong-ngomong sedang apa wanita itu di sini? Batin Melviano penuh dengan tanda tanya.
“Pak, sepertinya mobil mereka mogok dan mereka akan ikut menumpang di mobil kita. Bagaimana, Pak? Anda akan mengizinkan mereka menumpang di mobil kita?”
Melviano mendengus, “Aku heran kenapa bisa dipertemukan dengan wanita penipu itu lagi di tempat ini?”
Bams tertegun mendengar gumaman pelan Melviano namun dia masih bisa mendengarnya dengan jelas, “Anda mengenal wanitu itu?”
Melviano menggelengkan kepala, “Aku tidak mengenalnya, hanya saja dua hari yang lalu aku bertemu dengannya di sebuah restauran saat aku sarapan sebelum berangkat kerja.”
“Oh, ya? Apa terjadi sesuatu di antara kalian berdua?”
Melviano kali ini berdecak, “Wanita itu seorang penipu.”
“Penipu? Benarkah?”
Melviano mengangguk dengan yakin. “Seperti para wanita kebanyakan saat melihatku, wanita itu juga menghampiriku dan minta izin gabung di mejaku. Pura-pura melihat keluar tapi kenyataannya dia diam-diam mencuri pandang padaku. Ekspresi wajahnya itu, tidak ada bedanya dengan wanita-wanita lain yang mendekatiku karena tertarik dengan penampilan fisik dan uangku. Terus lucunya dia pakai acara acting segala lagi.”
“Acting bagaimana, Pak?” Tanya Bams, kurang paham.
“Acting, masa kamu tidak mengerti maksudku? Dia pura-pura kecopetan padahal aku yakin dia sengaja mengarang cerita supaya aku membayarkan buburnya.”
Bams terkekeh pelan, “Mungkin dia memang benar kecopetan, Pak?”
Melviano menggeleng dengan tegas, “Waktu pelayan restauran menawarinya berhutang dulu karena sepertinya dia pelanggan tetap di restauran itu, dia sok tidak ingin memiliki hutang. Tapi dia pesan sampai dua porsi bubur. Aku yakin dia hanya berbohong karena berharap aku akan membantunya membayarkan dua porsi bubur pesanannya.”
“Alasan lain aku bisa seyakin ini karena dari sekian banyak meja, dia memilih mejaku. Sudah pasti karena dia melihat penampilan fisikku dan juga jas kantoran yang aku pakai, dia pasti bisa menebak aku memiliki banyak uang.”
Bams mengangguk-anggukan kepala, mulai menyetujui pemikiran atasannya tersebut. “Lalu apa anda membayarkan dua porsi buburnya itu?”
Melviano menipiskan bibir lalu menganggukan kepala setelah itu, “Ya, aku membayarkannya. Biar saja dia pikir aku tertipu acting murahannya padahal aku sangat sadar dia sedang menipuku. Lagi pula harganya juga tidak seberapa, bukan apa-apa bagiku. Hanya saja, aku membenci tipe wanita seperti dia. Dan sekarang kenapa juga aku harus bertemu lagi dengannya di sini. Kita lihat acting murahan macam apa lagi yang akan dia perlihatkan.”
Mendengar cerita Melviano yang terdengar meyakinkan, Bams jadi ikut penasaran juga. Terlebih saat dia melihat wanita itu sedang berjalan menghampiri mobil mereka setelah tadi mengambil tas di dalam mobilnya yang mogok dan berpamitan pada pria paruh baya yang sepertinya sopir mobil itu.
“Dia berjalan kemari, Pak. Jika benar dia ingin menumpang, anda akan mengizinkan?” Tanya Bams penasaran dengan yang akan dilakukan Melviano pada sosok wanita yang dia percayai seorang penipu sekaligus wanita matre yang senang menggoda pria-pria kaya.
“Kita ikuti saja permainannya, bairkan dia berpikir kita tertipu actingnya,” jawab Melviano sembari memasang seringaian.
“OK.” Bams menyetujui keputusan sang atasan, lagi pula dia memang tak mungkin berani menolak.
Saat wanita itu mengetuk pintu kaca mobil di samping Melviano, pria itu langsung menurunkan kaca mobil.
Melviano bisa melihat dengan jelas wanita itu sudah membuka mulut, namun urung begitu mereka saling bertatap muka, wanita itu tercengang pertanda terkejut karena mungkin mengingat mereka bertemu di restauran dua hari yang lalu.
“A-Anda ….” Ucap wanita itu terbata-bata.
“Ada apa? Ada masalah dengan mobil anda?” Tanya Melviano sembari menunjuk ke arah mobil yang mogok di depan sana dengan dagunya.
“M-Mobil saya mogok, Pak. Mesinnya tiba-tiba mati. Padahal saya sedang buru-buru.”
“Hm, lantas?” Tanya Melviano lagi membuat si wanita semakin gugup di tempat.
“Apa anda akan pergi ke Villa Grizelle Group?”
Kali ini Melviano yang dibuat terkejut karena tebakan wanita itu tepat adanya. Dia berpikir dari mana wanita itu bisa mengetahui dirinya akan pergi ke Villa perusahaan itu.
Melviano memberikan anggukan kecil, “Ya. Kami akan ke sana. Kenapa?”
“Saya juga akan pergi ke sana. Boleh saya menumpang mobil anda? Saya sedang buru-buru karena ada yang menunggu.”
Melviano melirik sekilas ke arah Bams yang tak mengeluarkan suara sedikit pun, lalu dia mengangguk, memberikan isyarat pada sang bawahan agar membukakan pintu belakang untuk wanita itu.
“Boleh saja. Silakan masuk,” kata Melviano sembari menunjuk ke arah pintu belakang mobil yang dalam kondisi sudah tak terkunci karena Bams baru saja membuka kunci otomatisnya.
Si wanita tersenyum lebar, Melviano yang melihatnya mendengus dalam hati.
“Terima kasih, Pak. Maaf, saya jadi merepotkan anda lagi.”
Dan untuk kedua kalinya Melviano mendengus dalam hati, sudah dia duga wanita itu memang masih mengingatnya.
Saat wanita itu berjalan menuju pintu belakang untuk membukanya, Melviano berbisik pelan pada Bams, “Kita lihat apa yang akan dilakukan wanita itu selanjutnya. Jika dia sampai merepotkanku lagi maka fix, pemikiranku tadi memang benar. Dia hanya wanita matre penipu.”
Bams mengangkat ibu jari, menyetujui keputusan sang atasan yang sedang memantau tingkah laku wanita asing yang sudah berani mengincar bossnya tersebut.
***
Keysa sudah duduk manis di kursi belakang dengan jantung berdebar cepat, selain karena tak menyangka akan bertemu lagi dengan pria penolongnya saat di restauran, kebetulan yang aneh terjadi saat mereka kembali berpapasan di sini dan di saat yang tepat dimana Keysa sedang membutuhkan bantuan karena mobil kantornya tiba-tiba mogok.
Alasan lain yang membuat jantung Keysa berdebar cepat selain menyadari dirinya sedang satu mobil dengan dua pria tampan adalah rasa mual yang mulai menyerangnya. Akibat dirinya tak sempat sarapan dulu tadi pagi jadilah seperti ini. Kepalanya serasa berputar-putar sekarang ditambah perut melilit dan mual luar biasa. Keysa membekap mulut, berusaha mati-matian agar tak sampai muntah di mobil mahal orang lain. Mana dia tak membawa persiapan apa pun bahkan sekadar tissue pun tak dia bawa.
Dalam kondisi Keysa yang sedang menahan derita keinginan untuk muntah tiba-tiba ponselnya meraung keras dari dalam tas, dia lupa tidak membisukan ringtone ponselnya.
“Maaf,” ucap Keysa, tak enak hati karena pria di depannya yang dia ketahui sebagai seorang CEO sukses, mendelik tajam padanya karena terganggu dengan suara keras ringtone ponselnya. Keysa cepat-cepat mengambil ponsel dari dalam tas, tak terkejut saat melihat ada telepon masuk dari atasannya, Stela. Tanpa ragu dia mengangkat telepon itu.
“Iya, Nona. Maaf saya masih di jalan,” ucap Keysa sembari masih berusaha menahan mual, rasanya semakin parah dan hampir tak tertahankan lagi ingin dia keluarkan seluruh isi di dalam perutnya.
“Kamu lama banget sih, Keysa! Kan saya bilang cuma satu jam saya kasih kamu waktu sampai di villa. Ini udah hampir setengah jam kamu telat padahal saya lagi butuh bantuan kamu ini,” gerutu Stela, marah di seberang sana.
“Maaf, Nona. Tadi mobilnya tiba-tiba mogok di tengah jalan. Mesinnya mati. Pak Ujang sedang memanggil tukang bengkel langganan kita sekarang.”
“Alaaah, alasan saja kamu.” Stela seolah tak mempercayai ucapan Keysa yang baginya hanya alasan agar tak dihukum karena datang terlambat.
“Sungguh, Nona. Saya tidak bohong. Ini saja saya sedang menumpang di mobil salah satu tamu undangan yang kebetulan lewat.”
“Kamu pikir saya percaya? Keysa, saya capek ya menghadapi kamu. Kamu itu selalu saja membuat saya kecewa.”
Keysa terbelalak mendengar ucapan Stela, dia punya firasat buruk atasannya itu akan memecatnya karena masalah ini.
“Maaf, Nona. Saya mohon …”
“Maaf, maaf! Memangnya cukup hanya dengan minta maaf? Masalahnya kamu itu udah sering mengecewakan saya. Udah kerja kamu juga lambat, berulang kali melakukan kesalahan dan sekarang di saat genting kamu malah datang terlambat.”
“Saya terlambat karena mobilnya mogok. Jika Nona tidak percaya saya sedang menumpang di mobil salah satu tamu, anda bisa bicara dengannya. Saya menumpang di mobil Pak Vian, CEO Abiputra Company yang kemarin anda ceritakan pada saya.” Di akhir ucapannya, Keysa dengan sengaja memelankan suara karena takut akan didengar pria di depannya.
“Maksud kamu, sekarang kamu lagi numpang di mobil Vian Zemiro Abiputra?” Tanya Stela, terdengar sangat terkejut.
Keysa mengangguk, lupa jika Stela tak mungkin bisa melihat responnya ini. “Benar. Saya menumpang di mobilnya.”
“Coba berikan ponselmu padanya. Aku butuh bukti bukan sekadar omong besar.”
Keysa meringis mendengar ucapan Stela yang secara terang-terangan tidak mempercayai ucapannya dan menganggapnya sedang berbohong.
“Baik, Nona. Tunggu sebentar.”
Keysa meneguk ludah karena sepertinya dia harus merepotkan pria itu sekali lagi, meski sebenarnya tak enak hati dan sungkan tapi dia memang sangat membutuhkan bantuannya sekarang atau dirinya akan dipecat oleh Stela.
Keysa berdeham untuk menarik perhatian, namun sayangnya pria itu tak merespon apa pun sehingga membuat Keysa harus sedikit maju ke depan untuk memberikan ponselnya pada pria itu.
“Pak, permisi,” ucap Keysa.
Pria itu menoleh padanya sambil memasang raut datar, “Ada apa?”
“A-Atasan saya ingin bicara dengan anda karena dia tidak percaya saya terlambat datang ke Villa karena mobilnya mogok. Supaya dia percaya saya sedang menumpang di mobil anda, bisa tolong bicara sebentar dengannya?”
Keysa semakin sungkan terutama saat melihat pria itu dan pria yang sedang mengemudikan mobil saling berpandangan sebelum akhirnya tangan pria itu terulur pada Keysa.
“Berikan ponselmu.”
“I-Iya, Pak. Terima kasih atas bantuannya. Maaf saya terus merepotkan anda.”
Suara dengusan meluncur mulus dari si pria tapi dia tetap menerima ponsel yang diulurkan Keysa.
Melviano semakin yakin bahwa wanita yang duduk di belakang mobilnya itu memang seorang penipu bahkan mungkin sudah menargetkannya sejak awal karena tadi dia mendengar wanita itu menyebut namanya di telepon padahal Melviano yakin tak pernah menyebutkan nama padanya di dua pertemuan mereka ini.
Dia malas sebenarnya menghadapi wanita seperti itu tapi dia juga penasaran ingin mengikuti permainannya karena itu dia mau menerima telepon itu. Kini ponsel sudah menempel di telinganya.
“Hallo,” kata Melviano dengan suara datar.
“Jadi kamu benar Vian Zemiro Abiputra?”
Satu alis Melviano terangkat satu, “Ya, benar. Ini siapa?”
Melviano yakin mendengar suara dengusan di seberang sana, “Kita sudah pernah bertemu sebelumnya.”
“Oh, iya?”
“Mungkin jika aku menyebutkan tempat pertemuan kita sebelumnya, kamu akan mengingat siapa aku.”
Melviano semakin tertarik dengan dua wanita yang mungkin memang sejak awal sudah mengincarnya. Wanita yang duduk di kursi belakang dan juga wanita yang sekarang sedang bicara dengannya di telepon.
“Coba sebutkan nama tempatnya,” tantang Melviano.
“Di acara pesta peresmian Abiputra Hotel. Bagaimana? Sudah mengingatnya sekarang?”
Melviano terkekeh geli, “Maaf, Nona. Tapi ingatanku tak sebagus itu sehingga langsung tahu siapa anda hanya dengan mendapat clue sesederhana itu. Lagi pula memangnya anda pikir hanya sedikit tamu yang saya undang di acara pesta peresmian hotel kami malam itu?”
“Oh, kalau begitu aku akan lebih spesifik memberikanmu clue. Bagaimana jika kubilang aku seseorang yang kamu ajak berdansa saat pesta itu? Semoga sekarang kamu mengingatku. Atau jangan-jangan bukan hanya aku yang kamu ajak berdansa malam itu?”
Melviano tercekat dengan kedua mata terbelalak, kini tahu siapa wanita yang sedang bicara dengannya karena hanya ada satu wanita yang dia ajak berdansa malam itu. Dia melirik sekilas ke arah wanita yang duduk di belakang yang kini sedang membekap mulutnya dengan kedua tangan, Melviano menyadarinya sekarang, wanita itu pasti karyawan Stela. Ini benar-benar kebetulan yang menguntungkan bagi Melviano karena tanpa perlu repot-repot mendekati target ternyata takdir telah membantunya untuk menjadi dekat dengan tergetnya melalui wanita yang sudah berkali-kali merepotkannya itu.
“Bagaimana? Kamu sudah mengingatku?”
Melviano menyeringai saat mendengar suara seseorang di seberang sana yang masih tersambung telepon dengannya. “Nona Auristela Grizelle. Apakah tebakanku benar?”
Suara tawa Stela terdengar jelas di telinga Melviano. “Wah, aku terkesan kamu masih mengingatku. Jadi benar asisten pribadiku itu sedang menumpang di mobilmu?”
Melviano semakin menyeringai, ini kabar mengejutkan karena wanita di belakang itu bukan hanya karyawan biasa, melainkan asisten pribadi Stela.
“Ya, dia sedang menumpang di mobilku karena mobilnya mogok.”
“Hm, ternyata dia tidak berbohong. Baguslah kalau begitu. Padahal tadinya aku berniat akan memecatnya jika dia hanya beralasan datang terlambat karena mobil mogok. Maaf karena dia jadi merepotkanmu.”
“Bukan masalah,” jawab Melviano. “Senang bisa membantu asistenmu.”
Suara dengusan Stela kembali terdengar. “Baiklah. Aku hanya ingin memastikan dia tidak berbohong dan beralasan karena tidak ingin dipecat. Kalau begitu sampai bertemu di Villa perusahaan kami dan terima kasih sudah mengizinkan asistenku menumpang.”
“Tentu. Kami sebentar lagi tiba.”
Sambungan telepon pun terputus karena Stela yang memutuskannya. Masih menyeringai sambil menatap layar ponsel yang menampilkan foto Keysa sebagai wallpaper, Melviano kini mengubah penilaiannya pada si wanita pemilik ponsel. Dia tak lagi berpikir wanita itu sebagai penipu yang mengincarnya melainkan sekarang dia berpikir wanita itu adalah keberuntungan baginya yang akan membuatnya mendapatkan jalan untuk mendekati Stela. Kini Melviano bersyukur karena dua kali dipertemukan dengan wanita itu yang ternyata asisten pribadi Stela.
Melviano menoleh ke arah belakang, pada Keysa yang masih membekap mulut serta wajah yang terlihat begitu pucat seolah dia sedang sakit.
“Aku sudah bicara dengan atasanmu. Kamu tenang saja, dia tidak akan memecatmu karena aku sudah menjelaskan kejadian yang menimpamu.”
Melviano mengulurkan ponsel pada Keysa namun Keysa tak merespon apa pun selain menatap lesu ponsel dan wajah Melviano secara bergantian.
“Ini ponselmu,” kata Melviano karena Keysa tak kunjung menerimanya.
Mulai jengkel karena Keysa hanya diam tanpa menerima ponselnya, Melviano lantas semakin mengulurkan ponsel itu mendekati Keysa dan itulah kesalahan besar yang dia lakukan karena sekarang mau tak mau Keysa harus menerima ponsel itu sehingga mulutnya yang tadi dia bekap kini terbuka. Dan seketika sesuatu yang sudah dia tahan mati-matian kini tak terbendung lagi. Keysa tak kuasa menahan mual sehingga kini dia memuntahkan semua isi di dalam perutnya yang tepat mengenai lengan Melviano yang terulur.
Melviano menatap horror pada lengannya yang penuh muntahan Keysa sekarang.
“M-Maafkan saya, Pak. Saya …”
Dan untuk kedua kalinya Keysa memuntahkan isi perutnya sehingga membuat lengan Melviano semakin penuh dengan muntahan. Pria itu menggeram jijik, menyesal karena tadi sempat berpikir wanita itu adalah keberuntungan baginya karena kenyataannya bertemu dengan wanita yang berulang kali merepotkannya itu adalah sebuah musibah untuknya.