Wajah Melviano merah bukan main, marah besar karena tangannya kini kotor oleh muntahan wanita asing yang tiada henti terus menyusahkannya semenjak mereka bertemu untuk pertama kali. Padahal ini pertemuan kedua mereka, dia berpikir bagaimana jadinya jika mereka terus bertemu. Entah kesialan apa lagi yang akan menimpanya. Melviano meralat pemikiran wanita itu adalah keberuntungannya karena kini dia yakin seyakin-yakinnya wanita itu merupakan sumber kesialannya.
“Pak, anda tidak apa-apa?” Tanya Bams, panik sekaligus iba melihat tangan atasannya tampak menjijikan dan jangan lupakan aromanya yang tidak sedap.
“Maafkan saya, Pak. Saya tidak sengaja,” ucap Keysa, benar-benar merasa bersalah.
“Berikan aku air, Bams. Dan bantu aku membersihkan ini.”
Tanpa menunggu respon Bams, Melviano turun dari mobil, disusul Bams yang bergegas ikut keluar sambil membawa dua botol air mineral beserta tissue yang pastinya akan sangat dibutuhkan Melviano untuk membersihkan tangannya.
Kini Keysa sendirian di dalam mobil, dia ingin ikut turun tapi tak berani mendekati pria itu. Jika dilihat dari wajahnya yang memerah dan ekspresi wajahnya yang terlihat sedang marah besar, dia takut akan dimarahi, parahnya akan diturunkan di tengah jalan karena pria itu berubah pikiran dan tak mau mengantarnya sampai Villa. Berbagai pikiran buruk tengah berkecamuk di benak Keysa sekarang.
Sedangkan di luar, Melviano tak hentinya menggerutu, mengeluarkan berbagai kata u*****n kasar pada Keysa. Bams hanya meringis dalam hati, tak berani mengatakan apa pun karena takut kena imbas amukan sang boss karena itu dia hanya menyiramkan air pada tangan Melviano yang penuh dengan muntahan Keysa.
“Wanita itu benar-benar tidak tahu diuntung. Sejak bertemu dengannya aku selalu sial.” Mulut Melviano masih betah menggerutu. Seumur hidupnya dia baru mengalami kejadian menjijikan seperti ini.
“Lalu bagaimana, Pak? Apa kita turunkan saja dia di sini?” Tanya Bams. Dia hanya sekadar bertanya namun dia tak menyangka respon Melviano akan segarang itu karena pria itu kini sedang menatapnya tajam.
“Kejam juga kamu menyuruhku menurunkan dia di sini.”
Bams terbelalak, “Maaf, Pak. Bukan begitu maksud saya. Saya hanya bertanya.”
Melviano menghela napas panjang karena efek dirinya yang terlalu kesal sehingga asistennya yang terkena imbasnya padahal Bams sama sekali tidak bersalah.
“Aku memang tidak menyukainya tapi bukan berarti aku setega itu menurunkannya di sini dalam kondisi yang seperti itu. Kayaknya sih dia memang sedang sakit.”
“Iya, Pak. Wajahnya sangat pucat. Sepertinya sejak awal dia memang sedang sakit.”
Melviano berdecak, “Seharusnya dia berobat ke rumah sakit bukan tetap pergi ke Villa. Jadinya seperti ini kan, dia menyusahkan orang lain. Lagian dari sekian banyak orang, kenapa harus aku yang kena muntahannya yang menjijikan?” Melviano mengangkat tangannya yang sudah bersih itu karena sudah disiram dengan air dan dilap menggunakan tissue basah oleh Bams. Lalu mendekatkan tangan itu ke hidung untuk mencium aromanya. “Mana bau banget lagi,” ringisnya karena aroma tak sedap itu masih menempel di lengannya meski sudah terlihat bersih.
“Harus pakai sabun, Pak, supaya baunya hilang.”
“Ck, benar-benar merepotkan. Aku baru bisa membersihkannya nanti di Villa.”
Melvinao yang sejak tadi berjongkok, kini bangkit berdiri. Disusul Bams yang mengikuti pergerakan sang atasan. Tatapan Melviano kini tertuju ke arah mobil, tepatnya pada Keysa yang masih duduk manis di kursi belakang mobilnya. Mata pria itu memicing tajam membuat Bams penasaran apa yang sedang dipikirkan bossnya yang terkadang penuh misteri dan sulit ditebak jalan pikirannya itu.
“Kenapa, Pak? Ada lagi yang anda butuhkan?” Tanya Bams karena heran melihat Melviano yang hanya berdiri sambil memandangi Keysa tanpa masuk lagi ke dalam mobil.
“Kamu mau tahu alasan aku tidak menurunkan wanita itu di sini?”
“Karena anda tidak tega kan, Pak?”
Melviano menggelengkan kepala. “Ada alasan lain.”
Saat Melviano menoleh padanya sambil menyeringai, Bams tak paham sedikit pun maksud pria itu karena itu dia hanya mengernyitkan dahi, terheran-heran.
“Melalui wanita itu, aku bisa mendekati target balas dendamku.”
“Target balas dendam?” Bams mengulang ucapan Melviano. “Maksud anda, Auristela Grizelle?”
“Ya, memangnya siapa lagi kalau bukan wanita itu satu-satunya wanita yang ingin aku hancurkan. Memangnya kamu tidak mendengar percakapanku dengan wanita itu di telepon tadi?”
“Jadi tadi anda bicara di telepon dengan dia?” Bams terbelalak karena sejak tadi dia hanya fokus menyetir, tak mendengarkan saat Melviano bicara dengan seseorang di telepon. “Maaf. Tadi saya tidak mendengarkan. Saya terlalu fokus menyetir karena tadi jalannya banyak lubang,” timpal Bams, mengatakan yang sebenarnya karena itulah alasan dirinya begitu fokus menyetir dan tak memperhatikan sekitar apalagi mendengarkan bossnya yang sedang bicara dengan seseorang di telepon.
“Ya. Memang aku bicara dengan Stela. Dan wanita di dalam mobil itu, dia adalah asisten pribadi Stela. Bukankah ini kebetulan yang mengejutkan?”
“Sekaligus menguntungkan, Pak. Anda benar, keberadaan wanita itu bisa dimanfaatkan untuk mendekati target balas dendam anda.”
“Ya. Aku jadi tidak sabar ingin segera sampai di Villa. Ayo, berangkat,” ajak Melviano sembari berjalan menuju pintu mobil.
Sebelum membuka pintu, Melviano meringis karena aroma tak sedap di tangannya masih bisa dia cium dengan jelas. Tapi dia mencoba bersabar, toh sebentar lagi dia akan sampai di Villa.
“Pak, saya minta maaf. Saya benar-benar tidak sengaja,” ucap Keysa begitu pria itu sudah kembali masuk ke dalam mobil dan duduk di kursinya, sangat merasa bersalah dan menyesal karena sudah mengotori lengan Melviano.
Keysa pikir Melviano akan marah dan bersikap ketus padanya. Nyatanya tidak, karena di luar dugaan pria itu justru mengulas senyum padanya.
“Tidak apa-apa. Saya paham sepertinya kamu sedang sakit. Seharusnya kamu pergi ke rumah sakit, jangan pergi ke Villa jika sedang tidak sehat.”
Seketika Keysa mengembuskan napas lega karena Melviano ternyata sebaik itu, dia bahkan tak marah meski tangannya terkena muntahannya. Alhasil Keysa semakin kagum dan terpesona pada pria itu. Menurutnya sudah tampan, kaya, keren, sukses, Melviano juga sosok pria baik hati dan pengertian. Kesya jadi berangan-angan andai saja dia bisa memiliki kekasih sesempurna pria di hadapannya itu.
Melviano berdeham karena alih-alih menjawab pertanyaannya, Keysa malah menatapnya sambil memasang ekspresi seolah gadis itu sedang membayangkan sesuatu. Mendengar suara dehaman itu, Keysa detik itu juga mendapatkan kembali kesadarannya.
“Hm, Nona Stela tidak akan mengizinkan saya untuk tidak masuk, Pak. Apalagi sekarang sedang ada acara penting di Villa. Saya bisa dipecat jika tidak datang ke Villa.”
“Tapi kan Nona sedang sakit,” celetuk Bams, ikut berkomentar sebelum dia kembali menyalakan mesin mobil dan mobil pun kembali melaju.
“Tidak apa-apa, saya baik-baik saja kok. Tadi itu karena tidak sempat sarapan, saya jadi sakit perut. Lambung saya memang bermasalah, Pak. Pasti sakit dan mual jika terlambat diisi.”
“Yakin kamu baik-baik saja, wajahmu pucat?” Tanya Melviano karena setelah dia perhatikan wajah Keysa, memang sangat pucat.
Keysa mengangguk, “Saya baik-baik saja. Terima kasih sudah mengkhawatirkan saya, Pak.”
Melviano mendengus dalam hati, padahal dia hanya berbasa-basi mengajak wanita itu berbincang, hanya agar wanita itu tidak berpikir dirinya marah karena insiden tadi. Walau dalam hati, dia memang marah besar karena kejadian itu tapi demi kesuksesan rencananya untuk memanfaatkan wanita itu agar bisa mendekati Stela, Melviano mencoba menahan mati-matian amarahnya.
“Baiklah, kalau begitu. Istirahat saja supaya badan kamu kembali pulih. Nanti saya beritahu jika kita sudah sampai di Villa.”
Keysa tersenyum, terlihat mempesona membuat Melviano sempat terpaku saat menatapnya.
“Terima kasih banyak, Pak. Sekali lagi maaf sudah banyak merepotkan, terutama untuk kejadian tadi, saya benar-benat minta maaf.”
“Jangan dipikirkan,” jawab Melviano, lalu dia kembali menatap ke depan, mencoba melupakan senyum Keysa yang masih terus melekat dalam ingatannya.
***
Begitu tiba di Villa, awalnya Melviano ingin segera turun dan masuk ke dalam untuk mencuci tangannya. Tapi saat melihat melalui kaca spion kondisi Keysa di kursi belakang yang sedang menyandarkan kepala pada sandaran kursi dan terlihat sedang tertidur, dia jadi tak tega meninggalkannya.
Benar, dia menganggap Keysa sebagai sumber kesialan setelah semua kejadian sial yang menimpanya semenjak bertemu dengan Keysa, tapi dia juga tak sampai hati jika meninggalkannya di saat kondisinya yang tampak memprihatinkan seperti sekarang.
“Pak, biar saya yang membangunkan dia,” kata Bams, menyadari Melviano sedang menatap Keysa melalui kaca spion.
“Tidak. Biar aku aja yang membangunkan dia. Setelah ini kamu harus segera kembali ke kantor, gantikan aku selama sedang di sini. Aku tidak ingin mendengar ada masalah apa pun di kantor selama aku tidak datang. Kamu mengerti kan, Bams?”
Bams mengangguk patuh, “Baik, Pak. Saya akan melakukan yang terbaik.”
Melviano menghela napas panjang sebelum dirinya turun dari mobil. Dia lalu membuka pintu belakang dan mencoba membangunkan Keysa dengan memanggil-manggilnya. Namun karena Keysa tak kunjung membuka mata, dia mengguncang bahunya sedikit keras sehingga wanita itu akhirnya terbangun.
“Ah, maaf, Pak. Saya ketiduran.”
“Tidak apa-apa. Hanya ingin memberitahu, kita sudah sampai di Villa,” jawab Melviano sembari melayangkan tatapan datar andalannya.
Keysa menggulirkan mata ke sekeliling, rupanya benar mereka sudah tiba di depan Villa Grizelle Group. Dia mengingat Stela pasti sedang menunggu dirinya karena itu dia bergegas keluar dari mobil tanpa mempedulikan kondisi tubuhnya yang kurang sehat serta kepalanya yang masih terasa pusing, akibatnya dia tak sanggup berdiri tegak dan nyaris terjatuh begitu kedua kakinya menapak di tanah, beruntung Melviano menangkapnya tepat waktu.
Keysa tercekat karena kini jaraknya dan Melviano terlampau dekat, seketika jantungnya berdetak begitu cepat.
“M-Maaf, Pak. Saya tidak sengaja,” ucap Keysa tak enak hati karena sekali lagi menyusahkan pria asing yang beberapa kali ini selalu membantunya dalam kondisi yang sangat pas dimana dia memang sedang membutuhkan bantuan.
Masih tanpa mengubah ekspresi datarnya, Melviano menegakkan tubuh Keysa agar berdiri dengan benar. “Sepertinya kamu masih belum bisa jalan sendiri. Biar aku bantu berjalan. Ayo!”
Entah untuk keberapa kalinya, Kesya dibuat kagum oleh kebaikan hati Melviano. Pertama, dia yang kecopetan dan tak bisa membayar dua porsi bubur dan Melviano bagai seorang pahlawan kesiangan membantunya membayar dua porsi bubur itu. Kedua, saat di jalan tadi, pria itu juga mengizinkannya menumpang di mobilnya begitu mobil kantor yang ditumpangi Keysa tiba-tiba mogok. Yang membuat Keysa semakin kagum dengan kebaikan pria itu karena dia tak marah meski Keysa memuntahkan isi perutnya dan tanpa sengaja mengenai tangannya. Pria itu bahkan dengan baik hati menyuruh Keysa untuk beristirahat dan berjanji akan memberitahunya saat mereka sudah tiba di Villa. Melviano menepati janjinya karena baru saja pria itu yang membangunkan Keysa yang tidak sengaja tertidur. Kebaikan terakhir yang membuat Keysa sepenuhnya terpesona oleh seorang Melviano karena dia begitu baik menawarkan diri untuk membantunya berjalan. Rasanya sangat wajar jika Keysa sekarang merasakan sesuatu yang aneh berdesir di dalam hatinya setiap kali menatap wajah tampan pria di hadapannya yang tidak lain merupakan seorang CEO sukses.
“Jangan, Pak. Saya tidak enak karena merepotkan anda terus. Saya bisa berjalan sendiri,” jawab Keysa disertai semburat merah karena menahan malu. Sedangkan bagi Melviano wajah Keysa yang memerah itu dia anggap sebagai pertanda wanita itu memang sedang sakit.
“OK, jika kamu memang sudah bisa berjalan sendiri.” Melviano melepaskan rangkulannya pada pinggang Keysa, membiarkan wanita itu melakukan apa pun yang dia mau.
Namun sesuai yang diprediksi Melviano, Keysa berjalan dengan sempoyongan membuat pria itu gemas melihatnya.
Melviano tahu wanita itu sedang memaksakan diri berjalan sendiri padahal kondisinya tidak memungkinkan, dia lalu kembali merangkul pinggang Keysa tanpa permisi, memapahnya berjalan ke Villa.
Keysa tersentak dengan tindakan Melviano ini, dia membuka mulut untuk kembali menolak kebaikan pria itu, Namun …
“Jangan memaksakan diri, aku tahu kamu sedang sakit. Terima saja bantuanku.”
Mulut yang sudah terbuka itu kembali dikatupkan kembali Karena dengan tegas Melviano berujar demikian membuat Keysa tak berani menolak dan tak memiliki pilihan selain mematuhinya.
“Terima kasih atas semua bantuannya, Pak,” ucap Keysa tulus sambil menundukan wajah.
Melviano tak menyahut, dia benar-benar memapah Keysa sampai sosok mereka menghilang begitu melewati pintu masuk Villa.
Di dalam mobil, Bams mendengus melihat tindakan bossnya. “Tadi katanya dia percaya wanita itu seorang penipu. Tapi sekarang dia kayaknya serius peduli padanya,” gumamnya pelan, heran sendiri melihat sikap sang boss yang begitu plin plan. Tak ingin ambil pusing dengan tindakan Melviano yang bertolak belakang dengan ucapannya tadi, Bams pun melajukan mobil untuk kembali ke kantor Karena setelah ini begitu banyak tugas yang harus dia kerjakan.
Di sisi lain, Melviano dan Keysa sedang berjalan di dalam Villa berlantai empat itu. Beberapa orang tampak sudah hadir di sana bahkan menyapa Melviano. Keysa tebak mereka pasti tamu undangan seperti Melviano. Para pengusaha sukses yang dengan sengaja menjadi tamu kehormatan dalam acara ini.
“Pak, sudah cukup. Saya sudah bisa jalan sendiri,” kata Keysa, sungkan karena orang-orang itu sedang menatap ke arahnya yang dibantu Melviano.
“Tidak apa-apa, tunjukan saja dimana kamarmu. Aku akan mengantarmu sampai kamar.”
Keysa terbelalak, tak menyangka Melviano berniat memapahnya sampai ke kamar.
“Tapi, Pak ...”
“Jangan banyak protes. Aku tidak suka dibantah. Cepat, katakan saja dimana kamarmu.”
Keysa menelan ludah karena sekilas dia melihat Melviano mendelik tajam padanya seolah-olah pria itu menunjukan kekesalan karena Keysa sejak tadi terus membantah ucapannya.
Sekali lagi Keysa tak memiliki pilihan selain menurut. Dia pun menyebutkan letak kamarnya dan Melviano dengan cepat memapahnya menuju arah yang disebutkan Keysa.
Kesya tak berani berkomentar lagi sehingga keheningan melanda perjalanan mereka bahkan sampai mereka tiba di kamar Keysa pun baik Melviano maupun Keysa tak ada yang bersuara.
“Ini kamar saya, Pak. Sudah sampai. Terima kasih sudah mengantar saya. Saya sudah bisa berjalan sendiri.” Keysa mengatakan itu karena pintu kamarnya memang sudah ada di depan mata.
Tapi rupanya Melviano tak menggubris ucapan wanita yang berada dalam dekapannya, dia tanpa permisi membuka pintu kamar itu toh dia pikir pemilik kamar sedang bersamanya. Dia membawa Keysa memasuki kamar yang tampak sederhana itu karena memang dikhususkan untuk karyawan. Keysa gugup bukan main, memikirkan mereka sedang berada di dalam kamar berduaan meskipun Melviano sedang membantunya tapi tetap saja menurutnya ini berlebihan. Bagaimana jika ada yang melihat kejadian ini? Keysa takut ada yang salah paham meihat Melviano yang begitu baik padanya. Di sisi lain dia juga semakin tak sanggup menampik pesona Melviano karena semua kebaikannya ini.
Tanpa mengatakan apa pun Melviano membawa Keysa sampai ke ranjang. Dia bahkan membantu wanita itu membaringkan diri. Keysa berniat kembali bangun karena sadar saat ini bukan waktunya untuk beristirahat, Stela pasti marah besar jika mengetahui ini. Tetapi gerakannya terhenti karena Melviano menahan bahunya agar tetap berbaring.
“Lebih baik kamu istirahat dulu supaya cepat sembuh.”
Keysa menggeleng tegas, “Tidak bisa, Pak. Nona Stela pasti sedang menunggu saya. Dia bisa marah jika tahu saya malah tidur di kamar. Parahnya mungkin karena masalah ini dia akan memecat saya.”
“Kamu kan sedang sakit. Masa iya, dia sekejam itu.”
Keysa tersenyum miris, ingin mengatakan bossnya memang sekejam itu bahkan lebih kejam dari yang Melviano bayangkan, tapi dia urung mengatakannya karena tak mungkin dia menjelek-jelekan atasannya sendiri di depan pria asing yang baru dia kenal.
“Tidak apa-apa, Pak. Kondisi saya juga sudah baikan.”
“Wajah kamu masih pucat. Kamu juga tidak bisa bohong karena suhu tubuhmu cukup tinggi waktu aku papah tadi. Tidur saja. Masalah bossmu itu biar aku yang urus. Aku yang akan menjelaskan kondisimu padanya.”
“Memangnya apa yang ingin kamu jelaskan padaku, Pak Vian?”
Melviano yang sejak tadi menatap datar pada Keysa, tercekat begitu suara seseorang terdengar dari arah belakang. Bukan suara yang asing di telinganya karena suara itu sudah begitu familiar, membuat Melviano seketika kembali mengingat kenangan buruk di masa lalu antara dirinya dan si pemilik suara.
Melviano mendengus dalam hati, sebelum dia berbalik badan untuk melihat seseorang yang menjadi satu-satunya alasan dirinya mendatangi Villa ini. Dan saat melihat Stela sedang berdiri di dekat pintu sambil bersedekap d**a, Melviano tersenyum tipis. Itu dia, satu-satunya wanita yang pernah dia sukai sekaligus wanita yang paling dia benci. Wanita yang membuatnya menyimpan dendam selama sepuluh tahun lamanya karena ingin membuat wanita itu merasakan malu seperti yang dirasakannya dulu.
Akhirnya berkat asisten wanita itu yang baru saja dia tolong, Melviano menjadi memiliki akses mudah untuk mulai mendekati targetnya.
“Oh, Hai. Kebetulan kamu ada di sini. Bisa kita bicara sebentar?” ucap Melviano. Dan rencana balas dendamnya pun dimulai di sini.