BAB SEMBILAN

2318 Words
Stela berjalan mendekati ranjang dan melihat itu membuat Keysa cepat-cepat bangun dari berbaringnya.  “Nona Stela, maaf saya terlambat, tadi mobil mogok di tengah jalan,” ucap Keysa cepat sebelum mendengar Stela memarahinya. “Kamu sudah mengatakan itu berulang kali. Cukup mengatakan sekali saja, saya sudah paham kok.”  Keysa menundukan kepala, nyatanya tetap saja dia dimarahi. Stela selalu menemukan cara untuk memarahinya sepanjang waktu.  “Terus sekarang kenapa kamu malah tiduran di sini bukannya menemui saya dulu udah sampai di Villa?” Tanya Stela ketus sambil bersedekap d**a dengan angkuh. Dia bahkan tak mempedulikan keberadaan Melviano di ruangan itu, dia tetap memarahi Keysa seolah tak peduli meski wanita itu kini merasakan malu yang luar biasa karena dirinya dimarahi di depan Melviano.  “S-Saya …” “Dia sedang sakit,” sela Melviano, tiba-tiba menyambar pembicaraan. “Tadi saja dia muntah di mobil. Kamu tidak melihat wajahnya pucat?”  Satu alis Stela terangkat naik mendengar Melviano membela Keysa dan ikut campur dalam pembicaraannya dengan sang asisten.  “Kamu lagi belain dia?” Tanya Stela sambil menatap nyalang pada Melviano. Melviano menggeleng tegas, “Sama sekali tidak. Aku hanya mengatakan kebenaran. Untuk lebih jelasnya, ikut denganku sebentar. Bagaimana kalau kita berbincang-bincang?”  Stela mendengus kasar, “Sayangnya aku tidak memiliki waktu luang sebanyak itu. Aku masih banyak pekerjaan yang seharusnya dikerjakan asisten pemalas ini.”  Keysa terenyak, dia buru-buru turun dari ranjang. Namun untuk kesekian kalinya tangan Melviano menahan bahunya agar tetap diam di ranjang.  “Sebentar saja, ayo kita bicara sebentar, Nona Stela,” ajak Melviano sambil mengulas senyum masih dengan tangan yang menahan bahu Keysa agar tetap berbaring di ranjang.  Stela menatap Melviano dan Keysa secara bergantian, dia merasa heran dengan kepedulian Melviano yang teramat besar pada asistennya, sempat berpikir mungkinkah mereka memiliki hubungan istimewa. Stela berdecak dalam hati, merasa tidak peduli karena itu bukan urusannya. Tapi melihat Melviano tiada henti mengajaknya bicara berdua, dia pun mulai penasaran apa sebenarnya yang ingin dibicarakan Melviano karena itu kali dia mengikuti keinginan pria itu.  “Baiklah. Ayo, bicara sambil jalan-jalan.” Melviano mengangguk penuh semangat, “OK.” Stela melangkah pergi terlebih dahulu, awalnya Melviano ingin langsung mengikuti tapi dia teringat pada Keysa yang kentara begitu ketakutan pada Stela, sebelum pergi dia kembali menatap wanita yang masih duduk dalam diam di atas ranjang.  “Kamu tidur aja. Urusan boss kamu itu, serahkan padaku. Aku akan menjelaskan kondisimu yang memang membutuhkan waktu untuk istirahat.” “Jangan repot-repot, Pak. Saya sudah baik-baik saja.” “Tadi aku sudah bilang tidak suka dibantah jadi istirahat aja. Nanti aku akan menyuruh pelayan untuk mengantarkan obat untukmu.”  Melviano melenggang pergi setelah itu, meninggalkan Keysa yang terus menatap punggungnya hingga menghilang di balik pintu. Keysa memegangi jantungnya yang berdetak cepat, entah sampai kapan dia harus berhutang budi pada pria asing baik hati itu. Dan semakin dia menerima kebaikan Melviano, semakin kagum dia pada pria itu sehingga untuk kesekian kalinya sesuatu terasa berdesir aneh di dalam hatinya.  “Dia baik banget sama aku. Kenapa ya?” gumam Keysa pada dirinya sendiri disertai semburat merah yang membuat wajahnya semakin memerah. Diam-diam tersenyum, ah, jangan bilang dia jatuh cinta pada pria itu hanya dalam dua kali pertemuan. Jika itu benar sampai terjadi, jangan salahkan hatinya yang mudah tersentuh melainkan salahkan sikap Melviano yang berulang kali membantunya membuat Keysa yang tak pernah jatuh cinta sebelumnya, kini merasakan ketertarikan pada lawan jenis untuk pertama kalinya.   ***   Melviano sedang berjalan beriringan dengan Stela. Tak ada yang bersuara pada awalnya karena mereka seolah sedang sibuk dengan pemikiran masing-masing.  Mereka berpapasan dengan beberapa tamu undangan yang lain, sempat terlibat obrolan singkat dengan mereka yang membuat Melviano belum mendapatkan kesempatan yang pas untuk mulai menggoda Stela.  Hingga pada akhirnya mereka kini kembali hanya berduaan, sedang berjalan menuju lantai empat karena Stela yang berjalan ke sana sedangkan Melviano hanya mengikuti.  Mereka lalu berhenti di balkon dimana di sana terdapat banyak kursi untuk bersantai.  “Keberatan jika kita bicara di sini?” Tanya Stela, tiba-tiba mengeluarkan suara. Melviano yang sedang menggulirkan mata untuk melihat sekeliling balkon itu sedikit terenyak kaget mendengarnya. Lalu dia menganggukan kepala karena merasa tempat ini sangat pas untuknya mulai melakukan pendekatan pada Stela.  “Tentu. Di sini sangat indah. Suasananya sangat mendukung untuk bersantai sambil mengobrol berdua.”  Melviano mengatakan yang sebenarnya, dia memang memuji pemandangan indah yang begitu memanjakan mata yang bisa dinikmati dari balkon itu. Villa yang memang terletak di dekat pegunungan, dari balkon itu pegunungannya bisa terlihat jelas.  “Jangan salah paham. Siapa bilang kita akan bersantai sambil mengobrol? Sudah aku bilang tadi kan, waktu luangku tidak sebanyak itu. Anggap saja aku sedang membalas budi karena kamu sudah memberikan tumpangan pada asistenku.”  Melviano terkekeh kecil, tak heran wanita itu masih saja bersikap seangkuh dulu saat mereka masih remaja.  “Tapi aku kaget, pria sepertimu mau membantu asistenku. Terlebih kelihatannya kamu peduli sekali padanya.” “Karena aku tahu dia sedang sakit. Jadi ya, aku membantunya.” Stela mendengus pelan, “Dia hanya beralasan.” “Kamu tidak lihat wajahnya saja pucat begitu?” Stela menggelengkan kepala, tetap tidak mempercayai Keysa sedang sakit. Menurutnya Keysa hanya mabuk darat biasa dan wanita itu hanya melebih-lebihkan karena ingin bermalas-malasan di saat seharusnya dia sedang bekerja untuk membantunya menyiapkan acara nanti malam.  “Sudah sering aku melihat wajahnya pucat seperti tadi. Kamu bilang dia muntah di mobilmu?” Melviano mengangguk tanpa ragu karena memang seperti itu kenyataannya. “Huuh, paling dia hanya mabuk darat.” “Oh, apa dia memang biasa mabuk darat saat menaiki kendaraan?”  Stela mengangkat kedua bahunya, “Mana aku tahu. Aku tidak sepeduli itu pada karyawanku sampai harus selalu memperhatikannya. Jangan samakan aku denganmu, Pak Vian,” sindir Stela sambil menunjuk sang lawan bicara dengan dagunya.  “Aku?” Melviano menunjuk dirinya sendiri. “Memangnya aku kenapa?” “Jika melihat kamu yang mau berbaik hati membela seorang karyawan rendahan seperti Keysa yang notabene bukan karyawanmu. Aku tebak kamu juga sebaik itu pada karyawan di perusahaanmu?”  Seketika Melviano tertawa sambil menggelengkan kepala berulang kali. “Tidak, tidak. Itu sama sekali tidak benar. Jika kamu datang ke kantorku dan bertanya tentangku pada karyawan-karyawan yang bekerja di sana. Kamu akan mendapati mereka menjawab aku ini boss yang tegas, galak, dingin dan kejam. Oh, jangan lupa atasan yang angkuh dan tak memiliki hati.”  Stela menipiskan bibir, dia membalik badan menghadap Melviano karena mereka memang sedang duduk di kursi, berdampingan. Dengan sengaja mendekatkan wajah pada Melviano. Mungkin bermaksud menggoda pria di hadapannya, tapi rupanya Melviano tak terusik dengan kedekatan mereka karena pria itu masih bersikap setenang biasanya.  “Masa? Aku meragukannya. Aku lihat tadi kamu sangat baik pada karyawanku.” “Mungkin karena aku tertipu.” Satu alis Stela terangkat naik, “Tertipu?” “Ya, tertipu wajah pucatnya. Aku pikir dia benar sedang sakit karena wajahnya pucat. Andai saja aku tahu dia memiliki kebiasaan mabuk darat jika menaiki kendaraan.” Melviano mengangkat kedua bahunya sambil menipiskan bibir. “Aku jelas tak akan sampai berdebat denganmu hanya untuk membelanya tadi.”  Stela tertawa mencemooh, “Jadi kamu menyesal sekarang karena sudah membela dan menolongnya?” Melviano menggeleng, “Bagiku ada banyak alasan bagi manusia untuk saling membenci. Tapi untuk saling tolong menolong itu hanya permainan hati dan rasanya tidak membutuhkan alasan apa pun. Aku tidak menyesal sudah membantunya, yang kusesalkan adalah aku jadi berdebat dengan wanita cantik sepertimu hanya karena karyawan rendahan seperti asistenmu itu.”  “Wow, kamu ikut menyebutnya sebagai karyawan rendahan?” Melviano terkekeh, “Karena aku cukup berpengalaman juga dengan karyawan-karyawan seperti asistenmu itu yang selalu memanfaatkan segala cara untuk bermalas-malasan atau mencari pembelaan saat melakukan kesalahan karena takut dipecat.” “Itu maksudku. Karena itu sebagai boss mereka, kita harus lebih tegas agar mereka tidak melunjak. Terlalu baik pada karyawan hanya akan membuat mereka berani melanggar perintah kita.” “Tapi sepertinya ayahmu berpikir lain,” kata Melviano sambil menyeringai. “Ayahku?” “Ya. Aku dengar dia dikenal sangat baik hati dan loyal pada karyawan di perusahaannya. Dia sangat dihormati dan disayangi oleh semua karyawannya.”  Stela mendengus keras, “Ternyata kebaikan ayahku sampai didengar pengusaha lain. Aku cukup terkejut.” “Ya,” jawab Melvinao sambil mengangguk. “Karena itu aku pikir tidak ada salahnya bersikap baik pada karyawan di perusahaanku agar aku dicintai dan dihormati oleh mereka. Ayahmu itu panutan untuk kita. Kamu sebagai putrinya, harusnya begitu juga.”  Stela menggelengkan kepala dengan tegas, “Aku tidak setuju karena bagiku ucapan seorang atasan itu harus dipatuhi oleh karyawannya dalam kondisi apa pun. Aku tidak akan pernah membiarkan ada karyawanku yang berani melanggar perintahku. Melanggar artinya dia siap angkat kaki dari perusahaan.”  “Wow, kamu sekejam itu rupanya?” Stela menyeringai, “Aku lebih kejam dari ini, asal kamu tahu.” “Tapi aku harap untuk masalah asistenmu itu, beri dia kesempatan kedua. Jangan memecatnya hanya karena dia terlambat datang.” “Kamu membelanya lagi? Hahaha … sudah kuduga, pria macam dirimu yang selalu pura-pura baik pada semua wanita memang tidak bisa dipercaya. Kamu tipe pria yang harus dijauhi. Mungkin kamu memang selalu membantu setiap wanita agar mereka terkesan padamu. Sayangnya aku justru membenci pria sok baik sepertimu.”  Melviano menggelengkan kepala untuk menampik mentah-mentah tuduhan Stela padanya dan tiba-tiba dia menangkap salah satu tangan Stela membuat wanita itu tersentak kaget untuk sepersekian detik.  “Kamu salah besar, Nona. Karena aku tahu dia asistenmu jadi aku membelanya. Kamu mau tahu kenapa?” “Kenapa?” tantang Stela sambil mencondongkan tubuh ke depan sehingga wajah mereka semakin berdekatan.  “Karena memecatnya sekarang hanya akan membuatmu kesusahan. Kamu sedang membutuhkan tenaganya untuk menyiapkan acara di villa ini, ingat? Jadi tidak ada salahnya memberi dia kesempatan. Kamu bisa memecatnya lain waktu.” “Wah, wah, sepertinya aku mulai percaya kamu memang boss yang kejam dan tidak punya hati, memberiku saran untuk tetap mempertahankannya selama dia masih berguna untukku dan membuangnya jika urusanku dengannya sudah selesai. Boleh juga saranmu ini.” Stela menarik tangannya yang digenggam Melviano, lalu tiba-tiba beranjak bangun dari duduknya. “Sepertinya aku mulai tertarik denganmu, Pak Vian,” tutup wanita itu sembari mengedipkan sebelah mata.  “Karena aku terkesan dengan saranmu ini, bagaimana jika giliranku yang mengundangmu berdansa nanti malam di acara perayaan ulangtahun pernikahan orangtuaku?” “Aku bodoh jika menolaknya. Dengan senang hati aku menerimanya.” Stela melambaikan tangan sebelum melangkah pergi, “Waktu berbincang selesai. Sampai jumpa nanti malam.”  Wanita itu lantas benar-benar melangkah pergi tanpa menoleh lagi ke belakang, meninggalkan Melviano yang menyeringai karena rencana awalnya sepertinya berjalan mulus.  Melviano sama sekali tidak menyadari sejak tadi ada seseorang yang bersembunyi di balik tembok tak jauh dari balkon. Seseorang yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan mereka dan hatinya sakit luar biasa setelah mendengar ucapan Melviano yang cukup kejam tadi. Seseorang yang kini sedang meneteskan air mata karena baru menyadari dia salah paham dan salah mengartikan kebaikan Melviano.   ***   Keysa tak tenang seperginya Melviano dan Stela. Tak tenang karena takut Melviano akan mengatakan sesuatu yang membuat Stela semakin marah padanya. Dia juga takut atasannya yang galak dan sombong itu akan bersikap kasar dan membuat pria penolongnya itu tersinggung. Lagi pula Keysa merasa tidak seharusnya dia membiarkan Melviano melibatkan diri dengan urusannya dan Stela. Pria itu sudah banyak direpotkan olehnya dan Keysa tak ingin terus-terusan berhutang budi pada pria asing yang baru dia temui dua kali itu namun dia sudah berulang kali dibantu olehnya. Kini dia pikir, sudah cukup merepotkan pria itu, untuk masalah ini harus dia sendiri yang menyelesaikannya dan menjelaskan kondisinya pada Stela.  Meski kepalanya masih terasa pusing serta badan yang lemas karena perutnya belum terisi makanan apa pun terlebih dia sudah memuntahkan semua isi perutnya tadi di mobil Melviano, Keysa tetap memaksakan diri turun dari ranjang.  Dia berjalan dengan gontai menuju pintu yang dalam kondisi tertutup karena tadi Melviano yang menutupnya.  Dia menatap ke sana kemari begitu keluar dari kamar untuk mencari Melviano dan Stela yang seharusnya belum pergi jauh karena mereka belum lama meninggalkan kamarnya.  Keysa tersenyum lebar saat menemukan dua orang itu sedang terlibat obrolan dengan beberapa tamu undangan. Dia memperhatikan mereka dari jauh lalu diam-diam mengikuti saat mereka kembali berjalan menaiki tangga hingga akhirnya tiba di lantai empat dan mereka pergi menuju balkon.  Awalnya, Keysa berniat menghampiri mereka begitu dua orang itu duduk di kursi balkon. Namun rencananya urung karena tanpa sengaja mendengar obrolan mereka. Dia tahu menguping merupakan tindakan yang tidak sopan tapi karena yang mereka bahas adalah dirinya, Kesya penasaran bukan main ingin mendengar pembicaraan mereka karena itu dia memilih bersembunyi di balik tembok di dekat balkon dan dengan seksama menguping pembicaraan mereka.  Namun kini Keysa begitu menyesal karena sudah menguping, dia tak menyangka tindakan nekatnya ini justru membuatnya merasakan hatinya sakit luar biasa bagai ditikam belati tak kasat mata. Ternyata dia sudah salah paham dan salah mengartikan kebaikan Melviano sebagai tindakan tulus yang dilakukan pria itu karena hatinya yang terlalu baik, karena kenyataannya dia tak sebaik yang Keysa kira. Bahkan pria itu secara jelas mengatakan membela Keysa karena tahu dia merupakan asisten Stela. Dan dari sikap dan ucapan Melviano yang sampai berani menggenggam tangan Stela serta mengatakan berbagai kata menyiratkan godaan, Keysa tahu yang pria itu incar memang bossnya.  Hah, Keysa ingin menertawakan dirinya sendiri sekarang padahal hari itu Stela pun mengatakan Melviano memang tertarik padanya dan sekarang Keysa tak lagi meragukan ucapan Stela. Keysa bodoh karena berpikir dirinya tertarik pada Melviano. Kini dia akan menepis jauh-jauh perasaan itu dan berjanji dalam hati akan membalas semua kebaikan yang pernah diberikan pria itu padanya karena dia tak ingin berhutang budi sedikit pun pada pria macam Melviano.  Kendati demikian, tak dia pungkiri kesedihan tengah melandanya karena mengetahui kebenaran ini sehingga dia tak menahannya. Tak sedikit pun membendung sesuatu yang sejak tadi memberontak meminta pembebasan di pelupuk mata dan wajahnya yang pucat kini semakin terlihat kacau karena dibanjiri air mata.  “Keysa, dia bukan pria baik. Jangan sampai kamu jatuh cinta padanya. Jangan sampai itu terjadi,” gumam Keysa, menyadarkan dirinya sendiri agar membuang jauh-jauh pemikiran bahwa dia jatuh cinta pada Melviano.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD