Terpesona

1525 Words
Ada yang pangling. Hahahaha. Tapi sayangnya, Ayu sudah masuk ke dalam ruang rawat itu. Della, Bara, Indra, dan beberapa orang lain hanya duduk di depan menunggu. Butuh waktu dua jam hingga Ayu bersama dokter senior keluar. Yang berbicara tentu saja dokter seniornya. Ayu tak mengenal siapa yang terluka. Namun tampaknya ditabrak. Ia juga kaget melihat teman-teman BEM-nya ada di sini semua. Ya kecuali pak bos sih. Tak terlihat. Ya setahunya Agha sibuk di kampusnya. Agha kan sedang S2. "Kok lu kagak bantuin Ayu sih, Dra?" "Kan shift dia. Gue emang udah jadwalnya rehat." Teman-temannya mengangguk. Walau judulnya, ia malah tak ikutin rehat sih. Ikutan nongkrongin kan. Tak lama, sang pasien dipindahkan ke ruang rawat. Ayu menuntaskan urusannya di tempat lain dulu baru kemudian menghampiri teman-temannya. "Kalian bawa siapa sih?" "Itu gak sengaja lihat aja, korban tabrak lari." Aaah. Ia mengangguk. Pantas saja. Lalu ia menatap mereka satu per satu tanpa tahu kalau mereka menatapnya sangat detil. Ya kan maklum deh. Satu tahun belakangan, mereka sudah tak pernah melihat Ayu. Ya sejak terakhir wisuda profesi dokter sih. Jadi takjub saja melihat perubahan Ayu yang sudah tak awut-awutan seperti dulu. Ya lebih rapi dan anehnya tampak lebih cantik bagi mereka. "Kalian lagi pada makan bareng gitu?" Della memukul lengannya. "Lo kan gue ajak semalam heh. Lupa?" Ah ya. Ia mengangguk. Baru ingat juga alasannya menolak itu karena ia ikut les hari ini kan? Ah iya. Ia nyengir. "Gilee, Ayuuuu!" Akhirnya ada yang memulai untuk mengolok. Hahaha. Kepalanya tentu saja langsung ditoyor Ayu. Bukan Indra tapi Bara yang kini terpingkal. Ayu tentu tahu karena cowok ini pasti ingin mengoloknya. Usai bercanda sebentar, keluarga si korban tabrak lari itu akhirnya datang. Mereka pamit dan Ayu mengajaknya makan di kantin rumah sakit. Ya berhubung mereka di sini dan tadi kan katanya gahal makan tuh. "Eh udah pada lihat anak Agha belum?" Ayu sih menggeleng. Ia belum sempat. Beberapa kali hendak datang, waktunya tak pas. Ya baru datang juga baru Bara dan Della. Yang lain juga sibuk dan ya lokasi tempat tinggalnya jauh. Tak seperti saat mereka kuliah dulu tentunya. "Cowok?" "Cowok. Nih fotonya....," Della memamerkan fotonya. Ia tentu sering memintanya pada Maira karena saking gemasnya. "Lucu kaan?" "Mirip Agha ya?" Mereka tertawa. Ya kalau katanya Maira memang duplikatnya. "Mereka tinggal di mana sih?" "Apartemen kalo katanya Mai. Yang di Depok. Ya depan komplek rumahnya Agha. Tapi kadang masih lebih banyak di rumah mertuanya. Karena masih repot deh kalo katanya Mai. Masih belum lihai ngurusin bayi." Ya mengurus bayi memang tak mudah. Ayu turut mengangguk-angguk. Ia begitu serius sampai tak tahu kalau ada yang diam-diam masih memerhatikan bahkan tak banyak bicara. Ya kan saking panglingnya. Hahaha. Aneh? Ya sih. Karena sebelumnya, perasaannya biasa saja kok. Kenapa sekarang jadi agak deg-degan? Apa yang salah? Hahaha. Tak ada sih. Hanya merasa aneh saja. Sementara Indra garuk-garuk tengkuk. Tak bisa memungkiri kalau beberapa kali ia suka melirik ke arah Ayu. Hayo looh. Hahahaha! Usai makan, Della berinisiatif untuk melakukan panggilan video pada Agha dan Maira. Kebetulan sekali yang mengangkat ya Maira. Ia sedang berada di dalam mobil dan sedang memangku anaknya. Bara takjub dengan ukuran anaknya. Hahaha. Karena terlihat lebih besar dibandingkan bayi seumurannya. Maira saja tertawa. Itu kan karena diberi makan. "Mau ke mana, Mai?" "Abis dari rumah sakit. Abis vaksin nih," ia menunjuk anaknya. Ya makanya sekarang tampak rewel. Ia menepuk-nepuknya. Ayu setidaknya tahu kalau Agha juga dari rumah sakit. Tapi poli anak kan berbeda arah masuknya dengan UGD. Pantas saja tak bertemu mereka. "Kalian lagi pada kumpul?" tanya Agha. "Ya kan udah ngajakin lo juga semalam heeeh. Tapi lo bilang ada kerjaan di rumah sakit." Della mengomelinya. Agha terkekeh. Ya memang. Ia ada rapat dengan para pemegang saham. Tentu saja tak bisa ia tinggal begitu saja. Kini kan secara bertahap, rumah sakit ini akan dipegang olehnya. Jadi ia harus serius. Tak boleh melewatkan satu celah pun. Kalau Agha tak bisa kan, Maira tak bisa berangkat juga. Ia tak mau merepotkan sopir mertuanya. Walau tadi ke rumah sakit juga diantar sih. Baru pulanhnya bersama Agha. Ia sudah maklum dengan kesibukan Agha. Ummi mertuanya sudah mengingatkan sejak awal. Ia juga beradaptasi dengan hal itu. Mereka berkumpul lagi meski tidak utuh. Indra? Masih belum bisa mengalihkan tatapannya. Seperti ada lagu yang diputar di dalam pikirannya. Lagu apa? Ohooooo...... Terpesona....ku pada pandangan pertamaaaa.... Eaaak! Tapi seriusan nih Ayu banget? Ah jangan doong! Walau mata memang tak bisa bohong sih. "Malem ini mau pada nongkrong gak?" Indra mengalihkan perhatian. Perhatiannya sendiri sih. Dari pada ia terus menatap Ayu kan lama-lama jantungnya jadi berdebar. Rasanya aneh aja. Memang sih sudah lama tak melihat Ayu. Tapi masa rasanya begini? Hahahaha. "Lo bisa, Dra?" "Gue ikut aja." Jadwalnya kosong kalau malam minggu begini. Mumpung yang lain juga mau dan bisa ya gak ada salahnya. Mereka sudah sama-sama bekerja. Jadi minim waktu untuk hal-hal seperti ini. Saling memaklumi saja. "Gimana nih? Bisa?" "Ayu gimana?" Semua tatapan tertuju padanya. "Duh susah deh. Gue aja baru mau mulai shift." "Yaaah, Yuu. Malam minggu banget nih?" "Masa malam minggu lo di RS mulu, Yuu? Mana asyiknya, Yuu!" Ia tertawa. Ya memamg tak ada pilihan. Jadwal di sini kan ikut jadwal kosongnya dan yang lain. Jadi harus terima berhubung ia juga digaji. Bukan bosnya. Alhasil ya pamitan deh sama Ayu. Indra? "Hati-hati lo. Banyak mayat di belakang!" Itu kata-kata Indra sambil menahan senyum. Tentu aja Ayu sewot! "Gue kagak ke sana kali!" Indra terbahak. "Jangan songong! Hati-hati sama omongan!" "Ya kan elo duluan yang mulai!" Tuh masih sempat-sempatnya debat. Indra masih tertawa. Ia pergi menuju motornya kemudian menyusul yang lin karena parkiran mereka tentu berbeda. Ayu mendengus. Masih saja dongkol sama si Indra hanya karena persoalan sepele loh. "Ngajak ribut mulu tuh orang!" @@@ Selina dengan semborono membuka pintu kamar Eshal. Biasanya juga jarang dikunci. Ia memerhatikan Eshal yang sibuk di depan laptop. "Tumbenan. Lagi kerja atau ngirim CV lo?" Eshal terbahak. Fase itu sudah ia lewati. Selina jelas memincingkan mata. Mereka selalu perang soal siapa yang bakal keluar dari kantor untuk dapat pekerjaan baru yang lebih baik. Yang gajinya lebih manusiawi. Ya gaji lima jutaan di Depok di zaman sekarang ini sih pas-pasan lah. Belum ongkos, bayar kosan, dan segalanya. Itu kan gak bisa murah. Eshal mengalihkan layarnya. Yeah jadi laporan kantor. Huahaha. Padahal yang ia kerjakan bukan urusan kantor. Meski Selina memang mulai curiga. Soalnya, di kantor jadi rajin bener kan si bos kumis sampai muji-muji. "Udah dapat kerjaan baru lo ya?" Eshal terbahak. "Belum lah." Bohong sedikit sih. Hahahaha. Ia memang dapat pekerjaan baru. Bukan hanya satu, tapi di dua perusahaan sekaligus. Yang paling enak ya dua-duanya perusahaan asing. Kerjanya fleksibel. Gajinya dolar. Targetnya kan menabung untuk biaya kuliah S2. Jadi apakah akan terkumpul kali ini? Ia sepertinya akan melakukan demo kalau ayahnya masih meminta untuk bayar hutang. Bayangkan gaji sebulannya baru saja raib. Hahaha. Dan itu bukan hanya satu kali kejadian. Ia juga sedang menimbang-nimbang untuk melapor ini pada ibunya. Ia yang stres kalau tak beritahu ibunya. Kalau keduanya malah berantem? Mau ia beritahu atau tidak, keduanya tetap berantem bukan? Jadi ia sudah sebodo amat. Yang penting ia sehat mental dulu. Capek menghadapi orang yang suka berhutang. Gak akan pernah ada ujungnya loh. "Lo gak mau keluar?" "Gue udah duga kalo lo tetiba ke sini." Selina nyengir. Keluar yang dimaksud ya mencari jajanan atau semacamnya. Kan ada beberapa minimarket juga di apartemen tuh. Itu minimarket yang paling dekat. Belum lagi warung makan, barisan ruko jajanan, dan berbagai godaan lainnya. "Lo aja deh. Gue udah beli cemilan tuh." Ia menunjuk plastik besar yang ada di dekat kakinya. "Wuasem! Kagak ngajak-ngajak!" Eshal terkekeh. Bukannya gak mau sih. Tapi... "Lo aja masih tidur pas gue ketok tadi pagi." Ia nyengir. Jam 9 itu terlalu pagi untuknya dihari libur. Akhirnya, ia berangkat sendirian tuh. Ia tutup pintu kamar Eshal bersamaan dengan cewek itu menghitung keuangannya. Gajinya sudah lebih gila sih dari sebelumnya. Ya karena dari perusahaan asing bahkan ditawari kontrak 3 tahun. Yang satu lagi 5 tahun. Terus akan perpanjangan otomatis. Kurang nikmat mana lagi hidupnya heh? Gaji sudah lebih fantastis. Walau ia bisa menabubg jauh lebih banyak, ia tetap harus membuat ayahnya jera meminta uang padanya. Bukan soal pelit hingga harus ngirit sih. Tapi kalau ia hanya mendiamkan, ayahnya akan terus mengulang tanpa berpikir untuk berhenti. Ya kan? Sementara itu Selina berjalan keluar dari g**g masuk kosannya. Ia berbelok ke kanan. Tak lama ya belok lagi untuk masuk kawasan apartemen. Berjalan sekitar 3 menit pun sudah sampai di minimarketnya yang ada di sisi kiri. Ia jajan dulu. Tak banyak. Tentu tak mau makin gemuk. Ya setelah mengalami pengurusan ekstrem usai putus, dua tahun terakhir, berat badannya justru meningkat signifikan hingga 60-an kg. Tingginya c*m 156 cm ya. Jadi ya memang cukup pendek. Masih tinggian Eshal beberapa cm lah. Tapi Eshal itu kurus. Ia sebaliknya gemuk begini. Namun pipinya tak terdampak lemaknya sama sekali. Makanya kalau Selina selfie, ia masih tampak kurus, tidak gemuk sama sekali. Usai berbelanja ia keluar dari sana kemudian berbelok ke kiri. Ya kembali ke kosannya tanpa tahu ada seseorang yang menatapnya dari seberang. Sudah sejak pagi, orang itu ada di seberang. Hanya memastikan saja Selina tinggal di mana. Dan oh belum pindah, pikirnya. Tapi untuk apa? Apa urusannya? @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD