Tragedi

1726 Words
Maira sudah sibuk mengepak barang. Walau penyelidikan masih belum selesai. Tapi ia sudah mendapatkan dukungan semua pihak. Persaingan tak sehat di dalam kantor itu harus dihentikan. Ia menyadari itu dikala sudah memperjuangkan. Ya walau yang lain menyurutkan nyalinya. Maklum kan ini pertama. "Jadi, ma. Ini Mai mau kirim barang ke rumah." "Terus kerja apa di rumah?" "Mai ada sambilan. Kalo cuma buat hidup di rumah ya cukup lah." Ia sudah menaruh surat pengunduran diri di meja manajer SDM tadi. Jadi keputusannya untuk keluar sekalipun ia menang, ia akan tetap keluar. Sulu bekerja di luar negeri memang impiannya. Tapi setelah dijalani, sepertinya akan lebih menyenangkan bekerja di rumah. Ya tinggal bersama orangtuanya. Ia menghitung uang tabungan ditambah uang gaji per bulan dengan pekerjaan sampingan ya sudah sangat cukup lah. Pekerjaan sampingannya saja sampai 25 juta per bulan. Sangat cukup kan? Apalagi hanya tinggal di rumah. Paling mungkin ia habiskan untuk jajan sih. Gaji di sini tentu akan masuk tabungannya yang sepertinya akan terkena pajak. Tapi ya ia akan pilih untuk membiarkan sisa uangnya di tabungan negara ini. Toh ada cabang bank-nya di Indonesia kok. Jadi lebih dari aman. Barang selesai. Uang aman. Apalagi? Jodoh? Ingin tertawa rasanya. Ketemu jodoh di luar negeri baginya keniscayaan. Di Malaysia sini saja tak bertemu. Apalagi dibeberapa negara sebelumnya yang didominasi non muslim heh? "Oke, selesai." Ia sudah membereskan kamarnya. Yang tersisa hanya baju-baju yang akan ia pakai di sini selama sebulan. Kemudian ia keluar dari kamar kecilnya ini. Berjalan menuju balkon yang terhubung. Balkon di mana ia menghabiskan waktu selama hampir setahun di sini. Ya menatap laut yang tampak begitu dekat. Ia pasti akan sangat rindu suasana ini kan? Betul. Rasanya waktu begitu cepat berlalu. Ia ingat ketika pertama kali datang ke sini. Kepayahan sendiri membawa barangnya. Dibantu oleh bapak-bapak yang jaga gedung kecil ini. Anak-anak yang berlarian di pahi dan sore hari. Bis-bis sekolah yang melintas. Anak-anak kampus juga yang mengingatkannya pada masa-masa kuliah di UI. Ah kalau membicarakan UI, ia jadi teringat sahabatnya, Eshal. Gue jadi balik ke Indo. Ayo ketemuan! Tapi masih dua bulanan lagi yaaaa! Ya semoga lancar sih rencananya untuk keluar ini. Masih menunggu kebaran lewat dulu baru ia keluar. Pagi hari Senin, ia masih jogging seperti biasa. Gak ada cowok yang menabraknya dengan sepeda. Tapi berkat kejadian itu, ia juga jadi lebih hati-hati. Takut benar-benar ditabrak. Ia kembali ke apartemen kecilnya setelah berkeringat. Menyiapkan sarapan dulu baru makan dan setelah itu ya mandi. Kemudian? Ya berangkat. Rutinitas pagi ini mungkin tak akan bisa ia lakukan dengan nyaman lagi jika sudah kembali ke Jakarta. Karena meski di sini padat, asapnya tak separah Jakarta. Mungkin karena ia tinggal tak begitu jauh dari pantai. Angin pantai yang cepat membawa asap kendaraan pergi. Mengingatkannya juga pada suasana kampung halaman Eshal ketika ia ikut berkunjung beberapa tahun lalu. Tiba di pintu masuk ruang kerja, teman-teman seruangannya sudah mengerumuninya. Ya adegan yang sama seperti artis dikerumuni wartawan. Ini ada apa sih? "Mai, awak kata nak keluar?" "Ya, Mai?" "Betul ke, Mai?" Ia sudah disemprot beberapa pertanyaan. Aah soal itu rupanya sudah tersebar ya? Padahal ia diam-diam melayangkan surat pengunduran dirinya. "Iya." "Yaaah, Mai." "Kenapa, Mai? Awak dah cuba sejauh ini. Kenapa awak yang pergi?" "Betul, Mai. Usaha awak tak boleh jadi sia-sia, Mai." "Mems patut dapat hukuman yang sepatutnya. Dia dah susahkan ramai orang untuk kerja kat sini tau. Bukan cuma awak, Mai!" "Betul...betul...betul!" Ia tahu sih. Tapi menurutnya, rencananya keluar ya sekarang tak ada lagi hubungannya dengan kejadian ini. "Mula-mula saya nak pergi sebab dia. Tapi sekarang saya rasa lebih elok kalau saya kerja sahaja dekat ibu bapa saya di Jakarta. Jadi, saya tak pergi sebab dia. Lagipun, apa pun kesudahannya, saya sudah ikhlas kan. Kalau berjaya seperti yang nampak kita harap, saya anggap ini sebagai hadiah untuk kawan-kawan di sini supaya kawan-kawan lebih bersemangat untuk bekerja. Kerana tiada lagi orang yang menindas macam dia." Ucapannya disambut tepuk tangan. Ya baginya sekarang itu jauh lebih penting. Ia sudah perjuangkan keadilan di sini agar semua mendapatkan kesempatan yang sama untuk naik jenjang karir terbaik tanpa ada yang menghalangi. Itu kan memang hak setiap orang. Dan ia sudah cukup senang karena bisa meninggalkan sesuatu yang baik pada teman-teman di sini walau ia juga tak lama di sini. @@@ "Bener sih kata lo. Sebetulnya kan kita tuh gak masalah mau gajinya lebih gede suami atau istri. Selagi sama-sama legowo. Tapi kalau gaji suami kalah gede harusnya ya sadar juga. Jangan sampai malah enak-enakan dan gak mau ngasih nafkah. Banyak yang model begitu soalnya." "Banyaak, Sel!" Selina terkekeh. Ya obrolan yang terbawa suasana sih. Masih membicarakan Taka. Yang dibicarakan baru saja tuh berangkat bersama timnya untuk pergi ke Malang. Yeah mengambil data tentunya. Sebelum subuh mereka sudah berangkat. Dalam keadaan patah hati itu, ia hanya menatap jalanan dari jendela. Gak ada yang menarik. Hanya mencoba mengalihkan pikiran. Walau bertanya-tanya juga. Setinggi apa sih Eshal mematok urusan cowok? Dan apakah ada yang bisa menjawabnya? Teman-temannya di grup tentunya tahu. Makanya di kantor di mana beberapa di antaranya ya kebetulan berada di kantor yang sama, Taka dan Eshal jadi bahan gosipan. "Eshal tuh cewek tapi pekerja keras. Gue inget pas semester berapa gitu, dia launching buku pertamanya! Ya disaat yang lain yang penting tugas kelar, dia malah sempet-sempetnya nulis satu buku!" Temannya yang satunya mengangguk. "Ya kan Eshal pinter dari dulu, Dol. Masuk tiga besar terus di kelas. Kadang masuk barisan juara umum juga. Mana cantik. Mana solehah!" Mereka tertawa. "Ngajinya aja bagusan Eshal!" "Nah itu. Aku aja minder. Makanya kalau mau deketin cewek kayak Eshal kudu pikir panjang dulu. Udah ada prestasi apa sampai berani lamar Eshal?" Mereka tertawa. "Tapi Taka emang gak pernah mikir ke arah sana. Buat dia yang penting dia cinta dan ceweknya cinta ya selesai." "Kalo sama cewek kayak Eshal, gak cukup kalau cuma modal cinta. Bisa nangis seunur hidup susah makan, men!" Mereka terbahak. "Aku prediksi kalau pun Eshal mau sama Taka berarti dia bucin banget sama si Taka." "Bisa jadi juga dipelet!" Mereka terbahak lagi. "Bukannya mau jelek-jelekin Taka sih. Tapi Taka lupa kalau Eshal bukan kayak barisan mantannya yang jatuh cinta aja sama kegantengannya. Eshal beda. Cewek pinter gitu terus kerja keras dan cantik sih emang harus modal gede kitanya. Minimal bisa humoris dan kerja keras juga." Temannya mengangguk-angguk. Ia setuju kalau soal itu. "Mungkin harus nunggu Taka-nya settle dulu gajinya." "Kalo kayak gitu sih si Eshal udah mapan banget, Dol. Ketinggalan jauh. Pasangan kalo gak jalan barengan emang susah. Apalagi kalau yang satu kerja keras yang satu malas-malasan. Kalau yang malas yang cewek gak akan jadi masalah. Tapi bisa jadi petaka kalau yang cowoknya yang males." "Betul! Mana si Taka ngomongnya suka kasar sama orang. Cewek mana pun bakal mikir-mikir lagi." Ia setuju kali ini. "Kecuali kalau yang udah bucin banget sih." Mereka terkekeh. "Tapi menurut kamu nih, Dol. Si Taka bakal perjuangin Eshal gak?" "Gak bakal, Bre. Kita udah sama-sama tahu si Taka kayak gimana." Dan gak salah juga. Buktinya ketika postingan mantannya lewat di media sosial... Apa kabar, Tan? Ya ia pikir dari pada perjuangin orang ya mending nyari mantan aja. Lebih mudah diajak balikan tentunya. Ye gak? "Menurut lo, Taka bakal masih ngejar gak?" "Enggak deh, Shal. Lo tahu tipikal Taka kayak gimana. Paling juga nyari cewek yang menurut dia lebih gampang didapetin. Taka kan emang orangnya gak mau ribet. Gak mau usaha pakek banget. Padahal kalo dia kerja keras dikit, lo mau kan?" "Bisa gue pertimbangin. Cuma urusan mulut nih yang susah berdamai!" Selian terbahak. "Ih asem kalo ingat itu. Gue ingat banget waktu kita jalan sama dia terus dia bilang lo bau!" Eshal terpingkal. Astagaa! Selina masih inget aja kejadian waktu itu. "Tapi bukan cuma lo aja sih, Shal. Ada beberapa cewek yang dia bilang gitu saja. Mana dia sampe ngomong tuh sama si Dolly. Mohon-mohon minta parfumnya buat tuh cewek. Kan asem! Cewek kalau urusannya kayak gitu kan malu. Kalo mau bantu, harusnya gak yang seterbuka itu juga ngomongnya. Dia sih terlalu frontal dan gak mikir." "Lebih ke gak perduli kan? Gue kalo merhatiin dia tuh abis ngomong ke orang dan bikin tersinggung, gak pernah minta maaf. Sama orang lain aja gitu apalagi sama keluarga sendiri, Sel. Yang ada makan hati." Selina mengangguk. Keduanya turun dari angkot. Eshal sudah bersiaga mengingatkan ponselnya untuk tidak ditenteng dengan tangan. Karena mereka kan turun di pinggir jalan. Selina terbahak. Yeah kejadian minggu lalu memang sangat membekas. Ia jadi teringat Indra dan.. "Eh iya, lo ikutan nanti acara kumpul anak daerah?" @@@ "Gue baru sampai parkiran sih, Gas." "Oke. Gue baru jalan dari rumah nih." "Sambil nelpon?" "Pakek earphone lah." "Ya udah. Hati-hati." "Yoi, bro!" Abizar mematikan ponselnya. Bertemu sejenak dengan sahabat itu hal luar biasa. Ia dari Malang terbang lagi ke Tangerang. Pulang ke rumah orangtuang sebentar kemudian menemui klien. Sore begini menyempatkan diri untuk bertemu kawan lama. Mereka akan bertemu di salah satu kafe berlantai tiga. Ia sudah duduk menunggu di lantai tiga. Posisinya di rooftop. Area terbuka. Banyak asap rokok yang berterbangan. Kemudian mengeluarkan rokoknya dan jadi teringat dengan obrolan bersama Bagas tahun lalu. "Rokok itu gak bagus buat kesehatan, Bi." "Kan jarang-jarang, Gas." "Mau jarang atau enggak, efeknya sama, bro." "Efek sama. Tapi mau meroko atau enggak, ya tetap mati, Gas." "Emang tetep mati. Tapi lo bisa kali milih mati lo dengan jalan mana. Misalnya nih, lo dikasih umur 70 tahun untuk hidup. Gara-gara rokok, umir 40-an lo udah didiagnosa kanker paru. Sisa 30 tahunan lo hanya ngurusin penyakit lo itu. Apa gak sayang?" Ia hanya bisa terkekeh. Ya angan-angan yang muncul membuat tawa. Ia memang susah menang kalau lawannya si Bagas. "Tuh orang emang gak pernah salah." Ia geleng-geleng sambil mematikan puntung rokoknya. Kemudian beranjak dari kursi dan berjalan menuju pagar pembatas. Ia mengeluarkan ponselnya untuk merekam langit sore yang indah. Cukup cerah kok meski asap di mana-mana. Dan saat ia merekam itu lah, ia melihat motor yang biasanya dipakai untuk nanjak gunung muncul. Yeah melaju ke arahnya. Ia tentu mengenal siapa pengendara itu kan? Ia tersenyum tuh. Menurunkan ponselnya dan melihat si pengendara dari kejauhan. Ya masih cukup jauh. Tapi warna motor yang nyentrik dan gayanya mengendarai ditambah kaca mata hitam itu membuatnya tertawa. Namun tawa itu hilang dalam sekejab ketika secara mendadak dari sisi kiri arah laju motor itu, muncul sebuah tronton yang hendak terus. Pengendara motor mungkin tak mendengar. Karena earphone yang menempel ditelinga itu kan ada lagunya. Ia tak mendengar suara klakson berkali-kali. Dan..... BRAAAAAAAAAAKKKK!!! @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD