Seperti Mimpi

1576 Words
Hal yang sungguh tak terduga karena malah bertemu di sini. Ya di Amsterdam beberapa hari yang lalu. Yang tak disangka-sangka. Andros masih kepikiran tentang pertemuan dengan Khalisa itu. Masih belum bisa ia enyahkan pikiran itu. Ya terbayang-bayang saja. "Kenapa, Boy?" "Lo di mana? Udah balik?" "Kenapa?" "Helah. Jawab dulu apa susahnya sih?!" Andros terbahak. "Gue lagi nunggu di halte." "Titip makan yak!" "Udah gue duga lo bakal ngomong begitu." Oboy terbahak. "Nasi Padang ya, Dros. Lauknya kayak biasa. Lo pasti tahu." Andros geleng-geleng kepala. Ia menutup telepon. Nanti ia akan mampir ke warung Si Bundo. Wes, di Amsterdam sudah banyak warung-warung ala Indonesia. Harganya tentu lebih terjangkau dibandingkan versi restorannya. Justru enak yang begitu. Yang murah-murah. Biaya hidup kan mahal. Ia baru tiba di halte. Ketika hendak duduk eeh ternyata ada orang yang tak tampak asing. Andros akui kalau perempuan ini tampak banyak berubah. Maksudnya, tak mengucilkan diri seperti dulu. Ia tampak jauh lebih percaya diri. Ya harus begitu. Kasihan kalau ia masih seperti dulu. Namanya sama dengan merendahkan diri sendiri. "Banyak profesi ya sekarang." Ia terkekeh. Tentu saja itu sebuah keharusan. Ia harus pintar mencari uang. Karena orang lain kepayahan. Ia bisa melakukan lebih. Jadi tak seharusnya menyianyiakan kesempatan bukan? "Gue belum sempet nanya, lo baru di sini?" Andros mengangguk. "Dapat loker aja dari temen. Cari pengalaman lah. Kalau kerja di Jakarta kayaknya kurang berkembang untuk sekarang." Khalisa mengangguk-angguk. "Banyak kesempatan sih di sini." "Kesempatan untuk?" "Lanjut sekolah lagi misalnya." Ya. Andros juga terpikir tapi mungkin nanti lah. Ia ingin menikmati pekerjaannya saja di sini. Rasanya mungkin akan menyenangkan ya? Kapan lagi coba? Kesempatan itu bisa jadi hanya datang sekali. Haah. Tapi pekerjaannya cukup memusingkan. Dan lagi, ia juga tak punya minat ke sana. "Lo akan terus di sini?" "Di sini tempat teraman sih, Dros." Ia tak mau di-bully di Indonesia. Di sini, para bule jauh lebih ramah padanya. Bayangkan, ia bahkan tak nyaman dengan orang-orang dari negaranya sendiri. Tapi yang paling penting baginya sih adalah beban sebagai anak pertama perempuan yang tak mudah. Anak perempuan seharusnya memang tak ada tanggung jawab untuk membantu finansial keluarga. Tapi keluarganya tak mengenal sistem itu meski memeluk islam. Bagi kedua orangtuanya ya, ia sebagai anak pertama, harus menanggung beban finansial keluarga termasuk urusan masa depan adiknya. Itu hal yang sebelumnya tak bisa ia terima. Kini? Ia sudah menerimanya makanya ia bekerja keras di sini. Ya sudah lah. Semoga berpahala ya kan? Mungkin pasrah juga. Ia berpikir habya untuk berdamai dan menjalani hidup. "Berarti terakhir itu lo langsung terbang ke sini ya?" Ia mengangguk. Ia memang pindah ke sini sejak itu. Ya tak menyangka juga kalau akan bertemu Andros lagi. "Udah gak pernah naik taksi lagi?" Khalisa tertawa. Lihat lah sekarang di mana mereka sekarang. Sama-sama berada di dalam bus. Hal yang tak pernah Andros tahu kalau ia juga naik umum di Jakarta kan? Naik commuterline untuk sampai ke rumah. Mana kuat juga bayarnya kalau harus naik taksi sampai ke rumah. Uang habis hanya untuk itu. Ia harus berhemat untuk bertahan di negara orang. "Lo tuh selalu nyelekit deh kalo ngomong." "Sorry deh." Khalisa terkekeh. Tapi ia sudah terbiasa sih. Mungkin itu juga yang membuatnya sadar. Ya sangat berterima kasih lah pada Andros yang blak-blakan. Walau sempat membuatnya marah tapi ia menyadari banyak hal. Meski sekarang ia memilih untuk menghindari mereka yang dulu mem-bully-nya, ia hanya ingin memulai hidup baru di sini. Ya jauh dari tanah air. "Ada rencana hari minggu nanti?" Khalisa menoleh. Andros bukannya naksir sih. Tapi ia menganggap Khalisa sudah seperti teman yang cukup dengannya juga. Jadi apa salahnya mengajak jalan-jalan? Lalu Khalisa akan berpikiran yang aneh? Sempat muncul sih pikiran semacam itu. Tapi ia segera menepisnya. Ia sadar kalau Andros memang begitu. Memang ramah dan baik pada semua orang. Lantas kali ini akan menolak? "Mau ke mana?" "Lo yang udah lebih dulu di sini masa gak ada rekomendasi?" Ia tertawa. Ia juga belum lama di sini. Hahaha. Jarang keluar karena kalau hari libur ia sibuk berjualan. Sibuk memasak tentunya. "Gue ikut aja." "Nomor lo yang kemarin itu kan?" @@@ "Hidup emang gak ada yang tahu." Tapi baginya terasa mimpi saja. Bayangkan, mereka baru hendak bertemu. Ya baginya memang bertemu. Tapi bagi Bagas jelas tidak sama sekali. Ia hancur bersama motornya sebelum mslihat Abizar. Abizar yang melihat semuanya hancur di depan mata jelas trauma dan merasa ini seperti mimpi. "Masih mau lo gak solat?" Temannya yang satu lagi datang. Tentu meniru kata-kata Bagas. Pemakamannya tadi cukup ramai. Banyak teman satu SMA mereka juga datang. Tentu menyempatkan diri. Ini adalah tempat istirahat terakhir teman terbaik mereka. Yang tak disangka-sangka justru meninggalkan mereka lebih dulu. Pahit memang. "Beliau ini kalau ketemu, omongannya selalu bener. Gak ada yang bisa gue sangkal." Abizar tersenyum tipis. Jujur, ia memamg masih skeptis dengan agamanya sendiri. Ya pernah kecewa mendalam ketika orang sebaik ayahnya harus pergi meninggalkannya. Mana ditinggalkan bersama ibunya yang yaaah sulit untuk ia deskripsikan karena saking jahannamnya. Ia tahu mungkin ini bisa disebut sebagai durhaka. Tapi ibunya toh melakukan hal yang sama atau mungkin lebih parah? Usai ayahnya meninggal, ibunya menjual semua harta milik ayahnya. Kemudian pergi meninggalkannya. Ya ia dititipkan pada nenek dari ayahnya. Alasan ibunya ya mencari kerja di Surabaya. Karena ia merasa tak bisa hidup di Jakarta. Alasannya takut terbayang-bayang ayah. Tapi tak mau membawanya dengan alasan ia tak ada yang menjaga. Padahal usianya juga sudah 8 tahun. Ia sudah cukup mengerti. Namun ya pada akhirnya, ibunya tak pernah kembali. Beberapa tahun lalu, ia sempat ke Surabaya untuk mencari ibunya. Apakah dapat? Ya. Hidup mewah bersama keluarga barunya. Nyeri kan? Ia bahkan tak pernah dicari lagi. Setelah itu ya, ia memilih untuk fokus pada bisnisnya sendiri. Lantas kenapa marahnya pada Allah? Karena Allah mengambil ayahnya yang baik. Kalau ia hidup dengan ayahnya, ia tak akan mengalami semua hal pahit. Tapi ayahnnya malah diambil. Bagaimana ia tak marah jika ayahnya adalah satu-satunya harapan baginya? "Rajin solat lo. Yang suka ingetin lo udah dipanggil duluan." Ia mendesah. Pahit saja melihat teman terbaik dan orang yang sangat baik ini harus pergi meninggalkan mereka. Bahkan pergi untuk selama-lamanya. "Kenapa bukan gue ya?" "Dosa lo masih banyak. Harusnya lo bersyukur. Allah masih kasih lo kesempatan untuk perbaiki diri. Namun anehnya, ia malah tak senang-senang amat. Rasanya seperti ingin mengganti posisi Bagas. Cowok ini jauh lebih berguna dibandingkan dengannya yang hidup di bumi ini. Makanya ia bertanya-tanya, kenapa bukan ia saja? Ya terlepas apakah masih harus memperbaiki dan segala macamnya. Ia menghembuskan nafas. Rasanya benar-benar masih seperti mimpi. @@@ Kapal pesiar. Ia mendadak ikut menyeea juga saat tahu ke mana pergi padangan itu. Wajahnya belum begitu jelas. Tapi ia sangat mengenal perawakan adiknya. Ia tak mungkin lupa. Namun sayangnya, memang belum ada gambar jelas yang bisa memberitahu apakah itu benar adiknya atau hanya terkaannya saja. Kalau salah memang bisa jadi fitnah. Tapi setelah sekian bulan, ia baru melihat adiknya sekarang jelas sebuah kejutan. Selama ini, adiknya ke mana saja? Ya setelah gembor-gembor pemberitaan acara pertunangan hingga pernikahan mewahnya viral di negeri Jiran. Tentu dengan perempuan lain. Perempuan lama ia tinggalkan. Namun kan masalahnya, setelah pemberitaan itu, berita tentang adiknya tak pernah muncul. Perempuan yang ia nikahi juga tak memposting lagi fotonya bersama adiknya. Bukan kah harusnya masih syahdu? Karena mereka adalah pasangan yang baru menikah bukan? Ia melompat naik ke atas kapal. Kemusian mengambil teropong dan berjalan ke bagian kapal paling depan. Ini kapal mewah yang tak begitu besar. Ia juga tak boleh terlalu menonjolkan diri karena bisa ketahuan. Tak mungkin pasangan itu tak mengenalnya jika tebakannya benar. Yeah jika kedua orang itu benar-benar adik kandungnya dan perempuan itu adalah perempuan kedua yang dinikahi. Karena yang ia tahu, adik iparnya yang pertama dinikahi itu belum diceraikan. Tapi ia sudah menikah lagi bahkan sejak heum....mungkin hampir setahun? Ia lupa. Namun menilik keponakannya sudah tiga bulam ya berarti jedanya masih kurang setahun. Karena adik iparnya ditinggalkan begitu saja setelah hampir dua bulan dinikahi. Bayangkan, kurang dari sua bukan sudah ditinggal. Bahkan tak dinafkahi sama sekali. Berpamitan untuk urusan pekerjaan dan nyatanya tak pernah kembali. Mau bilang b******k pun, Vier sudah bosan memakinya. "Awak yaki itu dia, abang?" Ia menyambung panggilan pada adiknya. Cowok itu tentu penasaran. Karena belum ada hasil pasti. Masih sebatas asumsi dan dugaan. "Mereka tampak serupa. Tapi yang ini nampak lebih kurus. Argh, kenapa dia tak pandang belakang?" Ia agak kesal. Karena wajahnya tak kunjung tertangkap. Lihat lah adiknya bersenang-senang dikala istri pertamanya harus hamil sendirian bahkan sampai melahirkan juga sama. Ikhlas ditinggalkan dan justeu menyalahkan diri sendiri. Padahal kenyataan suaminya di sini bersenang-senang dengan istri kedua. Bukan kah ini kekampretan yang sangat hakiki? "Saya dah beritahu mom, bang." "Nanti saya beritahu awak kan? Masa awak malah cakap pada mom? Tapi awak tak bagitahu Rheina kan?" Adiknya memijat kening. Ia melihat Rheina sedang sibuk di dapur bersama ibunya. Ia? Ya mengurus si kecil Rafa yang dari tadi enggan tidur. Padahal jam 9 ini adalah jam tidurnya. "Saya sudah tidak tahan, abang." Ia hanya dongkol saja kalau asumsi itu benar. Vier menghela nafas. Masalahnya, ia juga tak terlalu bisa memastikannya. Kalau terlalu dekat takut ketahuan. Itu akan lebih berbahaya. Apalagi si perempuan juga mengenalnya. Meski mereka tak bertemu langsung? Betul. Karena cewek itu sudah mengikuti akun medsosnya dan juga adik-adiknya. Tapi tak satu pun dari mereka membalasnya. Ah adik-adik perempuan ya juga pasti tak tahu. Kalau tahu? Perempuan itu pasti akan dilabrak! Kini Vier mencoba berkonsentrasi kagi dengan teropongnya. Ia melihat si cowok sudah menghadap ke arahnya. Tapi.... "Aarrgh siaaal!" Karena kepala si cewek menghalanginya. Keduanya sedang asyik berciuman di atas kapal. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD