Cowok Problematik

1556 Words
Panggilan video itu selesai setengah jam yang lalu. Suaminya juga sudah berlari menuju masjid agar tak ketinggalan solat berjamaah. Sementara ia masuk ke dalam apartemennya. Ya kali ini pulangnya ke apartemen. Ia menghela nafas usai menaruh anaknya ke dalam box bayi. Ya setidaknya sudah pulas. Jadi ia enggan membangunkannya. Sementara ia berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Segelah itu segera solat. Sempat pula mengaji sebentar sebelum sibuk di dapur. Ada makanan? Ada kok. Ia hanya perlu memanasinya. Tak lama, ia sudah mendengar suara pintu dibuka. Itu sudah pasti Agha. Cowok itu bergegas mandi disaat ponsel Maira berbunyi. Ada panggilan video dari Saras. Gadis yang satu itu memang suka sekali meneleponnya kapan saja. Karena ia tak membatasi. Namun tetap Saras tentu sadar diri. Apalagi kan status mereka sangat berbeda. "Halooooo!" Saras terkekeh. Sapaannya tampak berbeda. Maira hanya menyesuaikan saja. Saras kan sudah bahagia tuh tinggal di Swiss. Ia ingin sekali ke sana karena belum pernah. Tapi kalau urusan jalan-jalan, ia tak berani merengek sih. Karena kan Agha sedang membangun rumah tuh. Uangnya masih nyicil pada abi mertuanya. Jadi mereka harus sedikit menghemat. Toh waktu ia hamil Aldzam, kan sudah sempat tuh jalan-jalan ke luar negeri. Lebih tepatnya memang beberapa negara di Eropa. Itu seharusnya sudah lebih dari cukup. "Gimana Swiss?" "Ya gitu deh. Eh Agha mana?" Ia tentu ingin memastikan dulu sebelum menyebut nama Hanafi. Hahaha. Biar tak rusak rumah tangga sahabatnya. Kan bahaya juga. "Lagi mandi." "Ayooo abis ngapain?!" Ia malah diolok. Maira memutar kedua bola matanya. "Abis dari rumah sakit tahu. Baru juga sampai." Aaah. Saras terkikik-kikik. "Mau ngomong soal Hanaf sih." Apapun kabar Hanafi, Maira tentu saja masih tahu. Ya setidaknya hubungan teman itu harus selalu terbina. Toh ia dan Hanafi pasti akan selalu terkoneksi. "Kenapa? Belum move on?" "Ya gitu lah. Susah banget kayaknya lupain itu cewek." Maira tersenyum tipis. "Kan butuh waktu juga, Ras. Gak mudah." Tapi setidaknya Maira lega sih. Karena sudah move on darinya. Hahaha. Meski ya tentu saja ada jarak dengan Hanafi. Sudah tak bisa seperti dulu lagi. Disaat mereka masih berbincang soal Hanafi, Agha justru muncul. Baru selesai mandi. Maira buru-buru mengalihkan pembicaraannya. Hahaha. Tak mau ketahuan kalau tadi mereka membicarakan Hanafi sih. Maira tentu tahu kalau Agha punya rasa cemburu pada Hanafi. "Siapa?" "Saras." "Apa kabar, Gha?" Saras langsung menyapa. Agha tentu menjawabnya. Kabarnya sih baik. Ia juga bahagia dengan kehidupannya kok. "Ngomongin siapa kalian? Bani?" Ia mencoba mengoreknya. Mereka tertawa. Iya kan saja lah. Hahaha. "Eh iya, Bani apa kabar, Ras?" Agha sudah lama juga tak kontak dengannya. Karena sibuk. Bani juga sudah jarang menghubunginya sih. Saras hanya bisa tertawa. Ia mana tahu. Ia tak pernah berhubungan lagi semenjak putus. Walau ia juga penasaran. Apa kabar kamu, Ban? @@@ "Gue turun, Shal." Eshal mengangguk. Mereka memang terpisah. Selina tak ikut berkumpul dengan anak-anak daerah mereka. Gadis itu memilih untuk menemui adiknya. Adiknya sih yang mengajak ketemuan. Adiknya kebetulan bekerja di Jakarta. Jadi ya, ia ke sana. Ia tahu pasti ada urusan pembicaraan pernikahan yang menyangkut padanya. Sementara Eshal masih melanjutkan perjalanan dengan commuterline yang akhirnya mengantarnya ke Stasiun Cikini. Ia turun di sana. Perkumpulan sesama anak daerah di perantauan adalah hal biasa. Mumpung ia belum pulang karena sebentar lagi mudik makanya, ia sengaja menyempatkan diri untuk datang. Eh memangnya gak akan kumpul di daerah mereka kalau mudik semua? Pasti mudik kan? Nah sebagian besar kan sudah ada yang menikah dan tinggal di Jabodetabek. Jadi pasti tak bertemu kalau mudik. Karena tidak semua dari mereka akan mudik. Biaya mudik juga tak murah. Eshal yang sendiri saja tak cukup bawa 5 juta. Makanya ia kerja mati-matian nih. Ia tak mau tabungannya habis saat mudik. Itu sungguh tak lucu. "Ayuuuuuuuuukk!" Ia sudah diteriaki begitu tiba di dekat gerbang masuk Monas. Yeah perkumpulan mereka di sini. Mungkin baru akan pulang malam nanti. Tapi akan menyenangkan kok. Kapan lagi coba? Mumpung di sini. Ia melambaikan tangan dengan senyuman kecil. Yeah. Ia tak punya urusan asmara di sini tapi teman-teman satu daerahnya suka sekali menggodanya dengan beberapa laki-laki. Semakin digoda, semakin tak ada yang mendekati. Hahaha Walau ketiga lelaki itu muncul hari ini. Pertama, namanya bang Rudi. Yeah, anak teknologi pangan IPB yang usianya sekitar 3 tahun di atasnya. Ya jauh lebih tua tentunya. Dulu ia diolok-olok dengan lelaki itu. Sempat didekati tapi bang Rudi yang memulai mengirim pesan duluan, sudah dibalas tapi gak ada balasan lagi. Hahahaha. Pedih? Ia tak mau perduli lah. Ah terserah. Ia juga sakit hati sih gara-gara itu. Hahaha. Beberapa bulan setelahnya, ia mendengar kabar kalau lelaki itu katanya balikan dengan mantannya. Hadeeuh. Dari situ saja, ia sudah merasa dipermainkan. Kedua, teman SMA-nya juga. Ya sama seperti Selina lah. Ya teman-teman mereka juga. Cowok itu kuliah di IPB juga jurusan peternakan. Ia juga bekerja di Jakarta sekarang. Tapi eh tapi tak ada kelanjutan tuh. Paling cuma datang untuk modus doang. Lama-lama Eshal yang kehilangan rasa sukanya. Ya kalau gak ada pertanda serius buat apa? Ketiga? Nah teman cowoknya. Ya teman tapi punya rasa. Memang tidak ada pertemanan yang tulus antara laki-laki dan perempuan ya? Hahaha. Hanya saja sekarang, hubungan mereka merenggang. Tentu tahu kan penyebabnya? Eshal juga tak berani mengirim pesan. Kalau kata Selina sih jangan. Biarkan aja. Memang akan merenggang pada waktunya juga. "Yuk Selin mana?" "Selin lagi gak bisa sih. Ada acara keluarga." Ya menurutnya, pertemuan itu juga penting. Selina kan capek ya jadi beban. Masa gara-gara dia harus nikah duluan, adiknya jadi tertunda. Memang sih adiknya juga semuda adiknya Eshal. Belum lama bekerja dan sudah ingin menikah. "Aaah. Syukur deh." "Kok syukur?" Mereka tertawa. "Bang Ronald kan katanya udah lamar cewek." Eahal tampak kaget. Ia merasa belum mendengar kabar itu deh. "Beneran?" "Bener lah yuuk." "Rame yuk di medsos. Pada ngucapin selamet." Aaaaah. Ia ber-ah ria. Walau tak lama, perhatiannya teralihkan dengan kemunculan Indra. "Pak dokter! Pak dokter!" Mereka mulai mengolok. Indra terkekeh. Ia juga lama tak kelihatan. Tempo hari gak sengaja ketenu gara-gara insiden pencopetan itu. "Ciyeee tumbenan datang." Eshal langsung menyenggol lengannya. Ia terkekeh. Ya memang sudah lama sekali tak bertemu juga dengan Eshal. "Cewek yang kemarin mana heh?" Ia menggaruk tengkuknya. "Cewek yang mana?" Ia berupaya berkilah. Terang saja Eshal menoyor kepalanya. Wong ia dan Selina jelas sekali melihatnya makan berdua di salah satu restoran yang ada di mall di Depok. Bahkan ia sempat memotretnya. Rasanya aneh saja dengan Indra. Tumben-tumbenan mau dekat sama cewek. Ia bukan anti cewek sih. Tapi, insting Eshal dan Selina berkata, kalau yang ini tampaknya berbeda. "Itu sih temen, yuk." "Ah masa?" Ia tertawa. Itu benar temannya. Waktu perkumpulan BEM itu loh. Yang tersisa hanya ia dan Della waktu itu. "Selin mana, Shal?" Eshal menoleh. Agak kaget juga mendengar pertanyaan dari seseorang ya g diwanti-wanti Selina. Karena instingnya mengatakan cowok ini pasti akan datang. Eeh iya benar. Bahkan bukan sekedar datang. Ia bahkan apa tadi? Bertanya soal keberadaan Selina. Waaaaw. Udah akur? Rasanya enggak. Buktinya Selina masih menghindari dari semua ini. Ronald. Mantannya Selina. Terakhir kali memang melihat Selina di sekitar kosannya. Gadis itu tak tahu tentunya. Hanya Ronald dan Tuhan yang tahu. "Ngapain nanyain Selin heh?" "Gak boleh memangnya?" Ia sih berani mendekat karena tahu Selina sepertinya tak datang. Wong ia lihat kok si Eshal muncul sendirian tanpa Selina. Padahal mereka biasanya satu paket. Ya di mana ada Selina, di situ ada Eshal. "Katanya udah lamaran ya?" Ya Eshal kepo dong. Ronald? Hanya tersenyum. Aneh sih nih orang. Gak tengil kayak yang selama ini ia kenal. Ya memang sih, hubungan mereka juga turut merenggang begitu Ronald dan Selina putus. Padahal mereka pacaran cukup lama loh. Sudah hampir serius ingin menikah juga. Tapi waktu itu, Selina memang galau. Ia gak mau ikut Ronald balik kampung dan tinggal di area perkebunan sawit. "Di kampungnya Ronald tuh gak ada apa-apa, Shal. Sinyal aja gak ada. Gue ngapain coba?" Eshal terbahak kala itu. Ya sih. Mana lumayan jauh juga dari pusat kota. Ditambah lagi, si Selina gak bisa mengendarai motor. Waah tewas di dalam rumah deh. Yang biasanya tinggal di daerah yang serba ada terus tiba-tiba tinggal di dserah seperti itu rasanya pasti syok sekali. "Emangnya Ronald gak mau nyari kerja di Jakarta juga?" "Kagak. Katanya harus nerusin usaha orangtuanya. Ya lo tahu kebun sawitnya banyak yang kudu diurusin." Eeh begitu putus, Ronald malah menetap di sini dan dapat kerja di Jakarta. Sungguh lucu kan dunia ini? Kadang Eshal juga bertanya-tanya, nih cowok ada rasa menyesalnya gak sih udah membuang gitu aja sahabatnya? Menurutnya sih apa yang dilakukan Ronald itu jahat. Dia yang salah, kok dia yang mutusin? Wah harga diri temannya jelas merasa tercoreng. Selina juga baru menyadarinya dan benar-benar patah hati. "Kamu sendiri aja, Shal? Biasanya sama si Taka." Ia nyengir. Duh harus banget ya cowok yang satu itu dibahas? Mana mantan pertamanya Taka datang juga. Yeah walau sudah tak ada hubungan panas antara mereka. Itu karena cewek itu cemburu mati sama Eshal. Eshal? Ia juga mana tahu kalau Taka selalu memprioritaskannya. Ia tak pernah minta. Cowok itu yang selalu datang. Ya cowok problematik itu. Yang kalau kata anak-anak lain sudah lama suka sama Eahal, tapi gak berani juju karena takut persahabatan mereka hancur. Eeh malah pacaran sama cewek lain. Mantan Taka yang pertama tentu saja memincingkan mata ke arahnya. Bukan hanya cewek itu kok. Teman-teman segengnya juga. Tapi Eshal berlagak bodo amat. Ya terserah mereka. Ia sih tak merasa ada hubungan dengan Taka. Namun ternyata datang sebuah kejutan ketika Taka muncul, tapi tak sendiri. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD