Taka dan Ayahnya

1528 Words
"Ya sering chat-an, jalan, dan segala macam." "Temen." Hahahaaha! Kalau Selina ada di sini pasti sudah terbahak deh. Eshal berujar santai. Ya kalau bukan temen apa dong? "Temen doang?" "Lah terus apa, Tak? Kan emang temen." Hahahaha. Pasti nyeri kan? Ya Eshal jadi tersadar sih. Ada yang berharap padanya nih ceritanya. Duh jangan deh. Ia tak begitu tertarik pada Taka walau cowok itu ganteng, tinggi, putih, lagi S2, dan baru bekerja. Ia sudah mengenal Taka itu bertahun-tahun dari zaman SMA. Jadi yaaaa kalau pun mau pasti sudah dari dulu lah bukan sekarang. Eshal memang tidak mengenal arti cinta karena terbiasa. Itu gak ada di dalam kamua hidupnya. Taka malah mangut-mangut pula. Hahaaha. Mungkin karena sudah dibuat down akhirnya, ia tak berani maju lebih jauh lagi. Tuh kan? Eshal tuh tahu loh kepribadiannya Taka ini. Ia tahu Taka bukan orang yang berusaha banget untuk mendapatkan sesuatu. Kalau yang ini gak berhasil, ia lebih baik mencari jalan lain tanpa perlu mencoba berusaha mati-matian. "Tumben kamu Sabtu begini gak kerja." "Ya lagi kosong aja jadwal kerjanya." Eshal mengangguk-angguk. Cowok ini juga kerja di konsultan. Tapi beda perusahaan tentunya. Sebenarnya dari segi fisik, Taka ini oke banget. Wong cewek-cewek juga banyak yang suka padanya. Mungkin hanya Eshal kali ya yang gak melirik? Kini mereka makan berdua. Tapi sikap Taka sudah agak canggung begitu. Ya mungkin kecewa karena ditolak begitu. Ia bahkan belum sampai ke intinya bukan sih? Ini tuh baru intro, tapi sudah gagal total. Ya kan? Teman-temannya di grup percakapan jelas saja terbahak mendengar ceritanya. Ya belum apa-apa sudah ditolak. Benar kan aku bilang! Susah luluhin hatinya Eshal! Eshal? Baru saja sampai di kos. Ia tak pulang diantar Taka. Alasannya masih ingin ketemu teman di tempat lain. Padahal pulang sendirian dengan naik angkot. Hahaha. Ia syok sih. Bahkan mungkin agak marah. Karena bisa-bisanya loh si Taka tiba-tiba nanya begituan. Pantas saja tuh cowok sering bilang kangen. Astagaaa! Kenapa Eshal tak mau? Padahal dari segi fisik ya oke banget. Tapi fisik itu gak akan cukup untuk dibawa jadi imam hidup. Ya kan? Apalagi ia sudah kenal lama loh sama Taka. Ia justru sudah menilai bertahun-tahun ia seperti apa dan ya bisa lah mengukur akan bagaimana jika hidup dengannya. Galau? Ada lah. Apalagi bercampur aduk dengan pikiran tentang adiknya yang juga hendak menikah. Ya kakak mana sih yang mau dilangkahi? Tapi ketika ada calon di depan mata, ia malah menolak. Padahal sudah kenal lama kan? Justru itu. Disaat yang sama, ia sadar kalau perkara pernikahan itu tak mudah. Ia berkaca dari ibunya loh. "Jangan buru-buru meski yang cowoknya terus ngeburu. Buru-buru itu gak bagus." Ia menghela nafas. Itu ucapan ibunya yang menyesali banyak hal. Ya ibunya blak-blakan kalau ditanya apakah menyesal menikah dengan ayahnya? Jawabannya, ya. Mereka bisa bertahan sampai sekarang itu semata-mata biar ibunya bisa melindungi anak-anaknya. Karena ibunya tahu kalau ia berlepas tangan, anak-anaknya akan dikejar suaminya untuk dimintain uang. Meski sudah terjadi. Eshal kan korbannya. Tapi ia tak bilang karena tak mau memperkeruh suasana. Kembali pada urusan Taka, ia tahu watak cowok itu seperti apa. Watak yang agak mirip ayahnya. Itu sih ketakutan terbesarnya. Mungkin orang lain justru memcari sosok suami yang mirip ayahnya, ia malah tak mau. Karena ia sudah mengalami banyak hal buruk. Ya lihat saja dari uang tabungan yang tak bertambah-tambah. Sudah empat tahun bahkan menuju lima tahun loh ia bekerja, tapi uangnya segitu-gitu saja. Pusing gak tuh? Ia juga ingin menikmati hidup. Berbelanja baju bagus yang harganya agak mahal sedikit. Ini? Boro-boro. Yang ia sanggup beli ya yang harganya 50 ribuan. Karena tabungannya bisa tergerus. Sementara pemasukan lebih banyak terbang ke kantong orang lain. Ngenes gak? Taka memang ganteng. Taka memang tinggi dan putih pula. Tapi tidak dengan mulut cowok itu. Duh mukutnya kasar. Sering membuat tersinggung. Eshal juga pernah beberapa kali sakit hati dengan ucapan ketusnya itu. Tapi memang tak pernah diungkit. Ia juga tak melawan. Ya tipikal diam ketika ada yang bicara begitu. Walau beberapa temannya.... "Ih kasar banget mulut kamu, Taak!" Yeah ada yang berani bicara begitu. Sekarang, Eshal tanya deh. Mau hidup sama cowok ganteng, tapi mulutnya kasar? Kalau ada, wah ia tepuk tangan deh. Karena ia tak mau. Capek tahu makan hati seumur hidup seperti ibunya. Ibunya kan sering dikatai ayahnya begitu. Memang gak pernah di depan orangnya langsung. Malah diomongin ke orang-orang. Itu namanya mempermalukan istri sekaligus membongkar aib keluarga kan? Hal kedua, ia tak menemukan sisi pekerja kerasnya Taka. Yeah lagi-lagi sama seperti ayahnya yang hanya berpasrah pada satu pekerjaan. Padahal ia ibgat loh waktu ia masih kecil dulu. Ayah dan ibunya sering berantem karena kan gaji ayahnya suka nunggak. Gak turun-turun bahkan sampai pernah 3 bulan waktu itu. Ya istri mana yang gak marah, bung? Mana ayahnya gak pernah berpikir untuk mau buka usaha lain. Padahal dulu sudah diajak loh sama ibunya. Hayuk kita buka perkebunan biar ibu yang menghutang modalnya ke bank dengan SK PNS-nya itu. Tapi apa kata ayahnya? "Berkebun itu kerjanya orang miskin dan gak sekolah." Ya sakit hati lah ibunya mendengarnya. Ibunya kan dari kampung. Dan ya memang banyak saudaranya gak sekolah dan hanya berkebun. Tapi miskinnya cuma saat dulu. Sekarang? Wah ayahnya sudah ditertawakan keluarga ibunya yang perkebunan sawitnya luas banget, rumah besar-besar, kendaraan banyak, dan buka toko di mana-mana. Lah ayahnya? Pensiunan sudah habis. Untung masih diterima kerja di sakah satu instansi pemerintah daerah untuk jadi konsultan individu. Kalau enggak? Ya pasti masih jadi supir dengan mobil yang dimodali ibunya. Kalau Taka? Ia pernah menganggur selama dua tahun loh dan tak berbuat apa-apa. Maksudnya, gak berusaha mencari sampingan apa gitu. Hanya berpasrah pada keadaan. Akhirnya lanjut S2 dengan uang orangtuanya. Pernah loh ditanya sama Eshal diawal ia kembali ke Jakarta itu.... "Kenapa gak nyari beasiswa aja, Tak? Kan banyak juga yang nganggur terus dapat beasiswa LPDP." Ya maksud hati biar gak jadi beban orangtua banget. Tapi apa kata Taka? "Ngapain? Kan ada orangtua, Shal." Jleb banget dong. Kalau Eshal kan mikirnya bagaimana supaya gak membebani orangtua bukan sebaliknya. Dari situ, Eshal makin gak srek sih sama Taka. Ya jujur, ia gak mau capek sendiri kayak ibunya loh. Ia ingin punya suami yang bisa diajak kerja keras sama-sama. Yang paham tanggung jawab sebagai suami juga. Dan sekarang sudah lewat 2 tahun si Taka kuliah, ya gak selesai-selesai juga. "Gue sih jujur, Sel. Realistis aja. Nikah gak cukup makan ganteng sama cinta doang!" Ujung-ujungnya pasti curhat di kamarnya Selina. Cewek itu terbahak. Ia tentu mendukung lah. Ia juga tahu Taka seperti apa. Memang kurang kerja kerasnya. Sementara Eshal justru sebaliknya. Dari zaman kuliah sudah sibuk mencari uang. Walau ya Eshal juga bingung kenapa tabungannya tak kunjung bertambah heh? "Tapi lo tertarik sama dia?" "Ya kalau suka pasti ada lah. Ganteng gitu. Tapi gue sadar, ganteng gak bisa diduitin." "Bisa. Lo jual aja dia ke om-om!" Eshal terbahak. Gak waras nih temennya! @@@ "Mamaaaaa pulaaang!" Bayinya tampak tersenyum lebar. Tentu digendong mertua. Yeah ibu mertuanya yang amat baik ini rela terbang dari Jerman ke sini sejak beberapa bulan lalu. Ya mungkin ketika kandunganbya berusia 6 bulanan? Mungkin merasa bersalah dan tak tega juga. Karena ia ditinggalkan begitu saja oleh suaminya yang entah di mana sekarang. Tak ada kabar. Tragis? Mungkin lebih dari itu. Rheina masih ingat kejadian itu. Seingatnya, tak ada yang aneh. Suaminya bermanja ria. Esoknya, berpamitan. Katanya mau ke Malaysia untuk mengurus bisnis. Ia tahu kalau suaminya memang berasal dari negara itu, jadi ia ikhlaskan kepergiannya. Ia kira ya akan pulang lagi. Eh sejak itu, ia tak pernah bisa menghubunginya lagi. Dan sekarang? Masih belum ada kabar. Ia terus mencarinya di Malaysia. Bahkan para iparnya juga sama. Walau memang ada yang disembunyikan. Rheina saja yang belum tahu kalau suaminya sudah mengkhianatinya. "Tadi Rhein baru ngomongin ke kampus soal pengajuan proposal penelitian ke Swiss, mom. Terus ya Rhein juga tertarik buat lanjut S3 di sana. Udah didesak juga oleh pihak kampus." "Jadi kamu akan mulai PhD kamu tahun ini juga, Rhein?" "Gak tahun ini, mom. Tahun depan aja. Tahun ini udah mepet. Pasti udah banyak kandidat juga. Dan lagi, Rhein belum persiapan sama sekali. Terus pengennya biar Rafa agak gedean. Kalau terlalu kecil kan gak tega juga ninggalinnya lama-lama." Ibu mertuanya memgangguk. Walau senyumnya pilu. Mengenang obrolan dengan anaknya tadi pagi. Ya yang tinggal di apartemen dekat sini namun setiap hari datang ke sini demi menjadi ayah untuk bayi kecil itu. Walau Rheina bahkan tak meminta. Ia tak tega jika bayi kecil itu kehilangan sosok ayah. Meski ia tahu, ia jhga tak berhak menggantikan. Namun sejauh ini, ia dan Rheina berpura-pura menjadi suami-istri di hadapan keluarga Rheina. Biar apa? Rheina tak tega memberitahu kedua orangtuanya. Ia juga masih berharap kalau suaminya akan kembali. Selain itu, ia juga ingin menjaga nama baik suaminya di hadapan keluarganya terutama ayah dan ibunya. "Awak yakin itu Reyhan, Dan?" "Kata-kata bang Vier, memang nampak macam dia. Memang dia lihat dia dari jauh. Tapi serupa sangat dengan Reyhan, mom. Macam mana abang boleh lupakan adik abang sendiri walaupun abang dah lama tak jumpa dia kan?" Ibunya menarik nafas dalam. Masalahnya yang dilihat Vier itu ya di sebuah vila pinggir laut yang ada di Taiwan. Ia melihat sendiri bagaimana Reyhan memeluk dan berciuman dengan perempuan itu. Sungguh sebuah pemandangan yang tak ingin ia lihat juga. "Siapa perempuan tu, bang?" @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD