Network Love - 6

1695 Words
                Lia                                 Malam ini langit tampak lebih terang dari biasanya. Bulan tampak bulat sempurna dan bintang di atas sana juga bersinar dengan begitu indah. Sayangnya, suasana langit malam ini sangat berbanding terbalik dengan hatiku yang akhir-akhir ini semakin terasa gelap pekat.                 Lagi dan lagi, entah ini sudah keberapa puluh kalinya, ayah dan ibu memintaku untuk menerima lamaran Mas Rico. Ayah bilang, beliau sudah kepalang malu karena aku masih belum memberi jawaban, sementara tiap kali kedua orang tua Mas Rico berkunjung ke rumahku, mereka hampir selalu menanyakan bagaimana jawabanku.                 Sebenarnya, jawaban dari awal sudah jelas. AKU TIDAK MAU, tapi ayah selalu denial dan masih berharap aku berubah pikiran. Meski begitu, mau sebanyak apapun ayah dan ibu bertanya, jawabanku selalu sama, aku tidak mau. Sama sekali!                 Dulu, ketika awal-awal kedua orang tua Mas Rico mulai menyinggung masalah lamaran, Ayah masih mudah memberi alasan aku menolak, karena waktu itu aku memang baru lulus kuliah dan diterima kerja sebagai guru. Namun, setelah satu tahun berlalu, Ayah belum juga memberi kepastian karena kedua orang tua Mas Rico tidak pernah menanyakan lagi. Baru dua bulan terakhir ini, kedua orang tua Mas Rico kembali sering datang ke rumahku dan juga sering menyinggung kesediaanku menikah dengan anak mereka.                 Rico Andri Pradana, nama yang cukup bagus sebenarnya. Laki-laki berbadan tinggi tegap, kulit sawo matang, hidung mancung, dan beralis tebal. Bohong kalau aku bilang dia tidak tampan, tapi apalah arti kata ‘tampan’ kalau tidak disertai attitude yang bagus?                 Sudah aku bilang, kan? Aku tidak pernah memberi standar khusus pada calon suamiku nanti, tapi aku benar-benar tidak bisa jika harus berakhir seumur hidup dengan laki-laki yang membuatku sempat begitu jijik dengan diri sendiri. Sejak dulu, aku selalu berdoa agar memiliki suami yang mampu membuatku merasa aman, nyaman, dan tentram berada di sisinya. Bukan malah yang selalu memberiku rasa takut, gemetaran, dan merasa rendah diri. Aku tidak pernah berpikir menikah itu untuk main-main, jadi jika aku sudah mengiyakan, sudah pasti aku akan berusaha semaksimal mungkin agar menjadi istri yang baik dan tidak mengecewakan suamiku nanti. “Argh!” tanpa sadar, aku menggeram tertahan dengan kedua tangan meremas keras rambutku.                 Aku menghela napas panjang, sebelum akhirnya kembali masuk kamar. Aku rasa untuk beberapa waktu kedepan, aku akan sulit tidur karena terus memikirkan jalan keluar agar aku terbebas dari pertanyaan orang tua tentang Mas Rico yang teramat menyiksaku lahir dan batin. Drrrt!                 Tiba-tiba saja, kurasakan ponsel di saku jaketku bergetar. Ada pesan masuk dari Mas Aji. “HE? MAS AJI?” Saat itu juga, aku langsung bangun dan bergegas membuka pesan darinya. Mas Aji mengirimiku sebuah foto  yang berhasil membuatku tersenyum begitu lebar.                 Di foto itu, tampak Luna dan suaminya sedang duduk bersebelahan sambil minum menggunakan mug couple pemberianku. Luna tampak tersenyum lebar menyandar di bahu suaminya, sementara ekpresi suaminya tampak datar karena tak sadar kamera. “Kata Dek Una, dia suka sama mug-nya. Makasih banget, katanya.”                 Senyumku semakin lebar saja ketika membaca tulisan di bawah foto itu. Aku buru-buru membalas pesan itu, “Minta tolong bilangin Luna, Mas Aji. Sama-sama.”                 Read.                   Typing.... “Ya.” Lagi-lagi Mas Aji membalas pesanku dengan begitu singkat. Tapi tidak apa-apa, ini jelas peningkatan karena dia tidak lagi membalas pesanku hanya dengan huruf ‘Y’ seperti waktu itu.   Untuk beberapa saat lamanya, aku tidak langsung membalas karena memikirkan apakah aku harus membalas lagi atau tidak. Dan akhirnya, setelah melalui sedikit perdebatan batin,  aku memutuskan untuk membalasnya lagi untuk berterimakasih karena sudah membantu menyampaikan pesanku pada Luna. Namun, belum sempat aku selesai mengetik, tiba-tiba Mas Aji mengirim emoticon yang membuatku membulatkan mata sempurna.  “INI MAKSUDNYA APA?” mataku seketika mengerjap dan menatap pesan itu berulang kali. Asal kalian tahu saja, pesan yang baru saja Mas Aji kirimkan adalah emoticon love merah, besar, dan bergerak seperti hati berdebar. ***                 Aji   “WARDANU!!!”                 Aku berteriak cukup keras setelah membaca pesan yang dikirimkan pada Lia terakhir kali. Aku tidak pernah mengirim eticon love pada Lia, tapi kenapa setelah aku tinggal ke kamar mandi, pesan itu sudah terkirim? Apalagi Lia membalasnya dengan tanda tanya tiga biji. “Danuuuu!” teriakku sekali lagi.                 Aku yakin sekali, ini pasti ulah anak itu. Tadi kami sempat ngobrol berdua, dan ponselku langsung kuletakkan begitu saja di meja ketika tiba-tiba perutku terasa mules. “Aku cuma ngikut usul Dek Una, mas!” sahut Danu dari arah lantai dua. Praktis aku mendongak, dan di sana Danu sedang meringis, lengkap dengan Una di samping juga sedang meringis. “Kan biar PDKT sama Mbak Lia makin lancar, mas. Ehehehe...”                 Melihat wajah tanpa dosa mereka, aku hanya bisa memijit pangkal hidung. Percuma sekali aku mengajak mereka berdebat, yang ada aku hanya akan semakin emosi. Pesan itu juga sudah terkirim, dan Lia sudah membacanya, bahkan membalasnya. “Kenapa, Ji?” aku menoleh ketika melihat Eza datang. Dia baru saja mengantar ibu beli sate langganan keluarga kami. Tadi, sebenarnya aku yang berniat mengantar ibu, tapi Eza justru menawarkan diri lebih dulu. “Ulah istrimu itu!” ketusku yang membuat Eza tampak bingung. “Istriku? Adikmu, dong?” Eza mendongak, menatap Danu dan Una yang masih memasang ekspresi sama.                  Aku baru akan membalas ucapan Eza, ketika tiba-tiba Danu dan Una berjalan menuruni tangga. “Mas Reza, satenya dapet kan, ya?” tanya Danu sambil tersenyum lebar. “Iya, dapet. Dibawa ibu, dan Ibu masih di luar lagi ngobrol sama tetangga.” “Mas Aji, jangan marah. Bercanda aja, loh,” ujar Dek Una sambil meringis. Kali ini ekpresinya sedikit menggambarkan rasa bersalah. “Kamu berulah apa lagi, Na?” tanya Eza. “Bercanda aja, Mas. Orang sama Mas Danu juga.” Dek Una tiba-tiba berjalan mendekati Eza, dan berdiri dibalik punggung suaminya.                 Sebentar, sebelumnya kalian sudah tahu kan, kalau Dek Una menikah dengan Eza? Ceritanya panjang, tidak bisa aku jelaskan semuanya sekarang. Intinya mereka sudah menikah dan menjadi pasangan suami istri. (Baca ‘I Love You, Sir’ buat yang belum/ingin tahu ^_^) “Bercanda kalian kadang nggak lucu. Kalau Lia salah paham gimana?” “Malah bagus loh, Mas. Aku setuju kalau Mas Aji sama Mbak Lia. Mbak Lia keliatan orangnya baik banget, lemah lembut dan senyumnya juga manis. Kata Mas Danu, wajah Mbak Lia juga enak dipandang. Iya kan, mas?” Dek Una menyikut Danu seperti minta dukungan. “Bukannya Danu belum pernah lihat?” tanyaku dengan mata menyipit. “Udah, mas. Tadi aku dilihatin fotonya sama Dek Una. Kan ada di foto profil whatsappnya.”                 Aku menghela napas panjang mendengar penuturan jujur mereka. “Lain kali kupastikan hapeku ganti password dan nggak lagi-lagi kalian kukasih tahu. Dasar troublmaker!” ***                 “Gimana Ji, usahamu? Lancar?” tanya Bapak malam itu, ketika kami ngobrol berdua di halaman belakang. Aslinya tadi bertiga, hanya saja ibu masih di kamar mandi dan belum juga kembali. Saat ini jam sudah menunukkan pukul setengah dua belas malam, semua sudah di kamar masing-masing kecuali kami bertiga.                   Sebenarnya aku tidak begitu paham kenapa akhir-akhir ini Bapak dan Ibu sering menyuruhku pulang disaat rumah yang aku buat hampir sepenuhnya jadi. Aku juga tidak tahu, apakah Dek una dan Eza yang juga diminta menginap di rumah, hanya salah satu alasan agar aku mau pulang, atau memang beliau kangen anak-anaknya kumpul. Untuk Danu, anak itu untuk saat ini memang masih sering stay di rumah, meski bulan lalu dia sudah membeli satu unit apartemen dekat kantornya. “Alhadulillah lancar, Pak. Kalau nggak ada halangan, mungkin akhir bulan depan mau buka cabang di Jogja sama Bandung. Biasa, kerjasama bareng temen.”                 Bapak mengangguk. “Bapak ikut senang kalau anak-anak bapak sudah pada bisa urus diri. Danu juga kayaknya lancar nerushin usaha bapak. Dasarnya anak itu suka IT, jadi kayaknya nggak ada masalah.” “Iya, Pak. Danu juga beberapa waktu lalu cerita, dia habis menang tender. Ini alasan dulu aku kekeuh nggak mau nerusin usaha bapak dan menyerahkan semuanya ke Danu. Selain karena Danu lulusan IT, dia juga anaknya bisa diandalkan. Nyatanya, baru beberapa bulan dia pegang, udah kelihatan hasilnya.”                 Bapak tersenyum, lalu menyeruput kopinya. Memang, usaha orang tuaku ini bergerak di bidang IT, sedangkan aku alumni Fakultas Kehutanan. Tidak ada alasan aku menerima. Selain karena merasa tidak cocok, aku juga ingin memberi kesempatan pada Danu yang paling cerdas diantara kami bertiga. “Itu pun Danu sempat marah-marah ke Bapak karena sebenarnya dia ingin buka usaha kuliner. Tapi setelah satu bulan dia menemukan ketertarikan berbisnis sesuai bidangnya, akhirnya dia minta maaf dan janji bakal besarin usaha bapak. Di tangan bapak, usaha itu hampir bangkrut, jadi bapak sangat bersyukur salah satu anak laki-laki bapak bisa membalikkan keadaan.” “Dasarnya Danu kompeten, Pak. Cuma anaknya nggak bisa diem.” “Sama aja kaya una. Dua-duanya berisik.” Bapak tertawa, dan aku pun ikut tertawa. Untuk beberapa saat lamanya, aku dan bapak diam. Kami hanya sesekali menyeruput kopi, juga sesekali menatap ke depan. Sampai ketika ibu akhirnya kembali bergabung. “Ibu ketinggalan apa, nih?” tanya Ibu begitu duduk tepat di sebelah bapak. “Nggak ada, bu. Barusan cuma bahas usaha anak-anak,” jawab bapak yang membuat ibu manggut-manggut.                 Hening lagi. “Ji...” “Gimana, Bu?” Aku segera menoleh begitu ibu memanggilku. Ah, ekpresi itu lagi. Aku sudah bisa menebak apa yang akan ibu bicarakan habis ini. “Dulu kamu bilang nggak mau nikah kalau Una belum nikah. Ini sekarang Una sudah nikah, jadi kamu sudah ada rencana kesana belum?”                 Nah, kan! “Rencana itu selalu ada, bu. Tapi mungkin belum kalau dekat-dekat ini,” jawabku mencoba santai. “Belum punya calon?” tanya ibu lagi. Aku menggeleng. “Belum, bu.” “Cari yang seperti apa kamu, Ji?” “Nggak cari yang gimana-gimana, bu. Yang peting nyambung diajak ngobrol, aku cocok, bapak sama Ibu juga cocok—“                 Aku belum sempat menyelesaikan kalimatku ketika tiba-tiba ibu menyodorkan sebuah foto berukuran 4x6 padaku. “Namanya Safa Olivia, anaknya Om Edi. Bulan lalu baru lulus D3 Keperawatam di Semarang.” “M-maksudnya, bu?” tanyaku tak paham. “Kalau kamu setuju, bapak sama ibu ingin kamu kenalan sama si Safa. Dan kami akan lebih bahagia kalau kalian cocok dan lanjut nikah.”                 Mendengar itu, aku tertegun cukup lama. “I-ini maksudnya, aku mau dijodohin sama dia?”                 Ibu mengangguk, lalu terseyum penuh harap padaku. “Iya. Mau, ya?” ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD