Aji
“Dia bilang nggak mau, jangan dipaksa.” Aku meraih tangan Lia sebelum laki-laki yang belum kuketahui namanya ini menyentuh tangan Lia.
“M-mas Aji?” Lia tampak sangat terkejut begitu melihatku, namun dia langsung bersembunyi di belakangku ketika aku menarik pelan tangannya.
Sebelumnya, jangan ada yang salah paham dahulu. Sejujurnya aku juga tidak tahu kenapa aku malah berdiri di sini, bukannya masuk toko. Tapi yang jelas, aku sama sekali tidak menyukai pemandangan perempuan yang ketakutan ketika bertemu seorang laki-laki. Bisa dipastikan, ada sesuatu yang buruk di antara mereka.
Barusan, sebelum aku benar-benar masuk toko, aku menoleh untuk memastikan apakah Lia keluar atau memilih untuk tinggal lebih lama di cafe. Tenyata dia menyusul keluar, dan langkahku langsung terhenti ketika Lia tampak membeku di tempat setelah melihat seorang laki-laki melambaikan tangan padanya. Aku yang awalnya buru-buru ingin masuk toko karena di luar sangat panas, justru malah menghampiri Lia, tepatnya ketika aku melihatnya perlahan mundur dengan tatapan ketakutan.
“Siapa kamu? Jangan ikut campur!” ucap laki-laki itu dengan mata menyalang parah padaku.
Oh oke, bisa aku pastikan laki-laki ini memiliki tempramental yang menakutkan.
“Saya tidak bermaksud ikut campur, tapi harusnya anda paham kalau dia tidak mau anda ajak bicara,” ujarku dengan nada santai.
“Dia mau, kok. Dia tidak bilang tidak mau—“
“Aku nggak mau! Pokoknya nggak mau!” potong Lia cepat. Aku bisa merasakan tangan Lia meremas ujung bajuku, ketika dia menegaskan kalau dia sama sekali tidak mau bicara dengan laki-laki itu.
“Sudah jelas, ya? Kami permisi dulu.”
Kali ini aku segera menarik Lia pergi dan mengajaknya menyebrang jalan untuk masuk ke tokoku. Lia tidak menolak, dia hanya terus menunduk dan tampak sangat pasrah.
Sebenarnya ada apa di antara mereka?
Aku baru saja masuk toko ketika tiba-tiba salah satu pegawai menghampiriku.“Mas Aji, ini tadi ada telfon dari Mbak Una, katanya—“
“Nanti ya, Ben. Nanti biar kutelfon balik Dek Una. Makasih, ya...”
“O-oh oke. Mas. Ngomong-ngomong ini siapa mas?”
“Kenalan,” jawabku sekenanya, lalu segera pergi meninggalkan Beni.
Tapat sebelum aku naik tangga menuju ruanganku di lantai dua, aku bisa mengengar dengan jelas ucapan Beni pada Endah si petugas kasir.
“Katanya kenalan, tapi gandengan tangan. Mantap ya, Ndah?”
***
Lia
“Ini diminum...”
Aku mendongak ketika saat ini ada uluran botol air mineral di hadapanku. Mas Aji yang tadi tiba-tiba keluar setelah membawaku masuk ke ruangannya, akhirnya datang kembali dengan satu botol air mineral di tangannya.
“Terimakasih,” ucapku sambil menerima botol itu, lalu buru-buru membukanya, namun gagal.
Melihatku tak berhasil membuka tutup motol, Mas Aji kembali mengambil botol itu dari tanganku dan membantuku membukakan tutupnya.
“Terimakasih,” ucapku lagi, yang hanya dibalas dengan anggukan kecil yang bahkan hampir tak terlihat.
Saat ini badanku masih gemetaran, meski tidak separah tadi ketika hanya berdua dengan Mas Rico. Aku tidak tahu akan bagaimana jadinya kalau Mas Aji tidak datang dan membantuku menghindar. Bisa-bisa, aku pingsan di tempat.
Tidak peduli ini sudah berapa tahun lamanya, aku masih saja seperti ini. Aku ingin sembuh dan biasa saja ketika melihat Mas Rico, tapi susah sekali. Wajah Mas Rico masih saja membuatku mengingat dengan jelas kejadian waktu itu.
Aku meneguk air mineral sampai habis separuhnya, lalu menghirup napas panjang dan menghembuskannya perlahan-lahan. Setelah lebih tenang, aku menoleh ke arah Mas Aji yang saat ini sedang duduk di kursinya, dengan tatapan mata fokus pada layar komputer di depannya. Melihatku menoleh menatapnya, Mas Aji tampaknya langsung sadar dan balik menatapku.
“Kenapa?” tanyanya.
Aku menggeleng, sembari tersenyum tipis. “Nggak papa. Saya pulang sekarang saja ya, Mas? Terimakasih untuk yang tadi, dan maaf sudah merepotkan.”
Tidak ada sahutan, yang ada hanya tatapan datar yang sangat sulit kuartikan. Serius, aku tidak tahu Mas Aji ini sebenarya orangnya seperti apa. Ekspresinya memang datar, tapi tidak terkesan dingin sama sekali.
“Sekali lagi, terimakasih banyak, Mas. Saya pulang sekarang—“
“Dia masih di bawah.”
“Hah?”
Mas Aji mengisyaratkan aku untuk mendekat ke mejanya. Keningku berkerut bingung, namun begitu Mas Aji membalikkan komputernya, aku langsung paham. Ternyata ada rekaman cctv di dekat pintu masuk tokonya. Di layar, aku masih melihat mobil Mas Rico terparkir di tempat yang tadi, meski orangnya tidak ada di sana.
Sebelumnya, mengenai istilah toko, mari sedikit kuluruskan. Aku tidak yakin apakah sebenarnya ini hanya toko biasa atau gabung dengan operasional perusahaan. Tadi waktu aku naik tangga, aku melihat ada segerombolan laki-laki dan perempuan di ruang sebelah yang sedang sibuk dengan laptop mereka masing-masing. Juga, aku melihat di ruang yang lain tampak ada orang yang sedang membungkus barang yang terlihat hendak dipaketkan.
Jadi, aku mengambil kesimpulan kalau Mas Aji ini memanfaatkan satu gedung untuk toko offline juga online. Aku juga sempat dengar kalau toko ini sudah memiliki beberapa cabang di Jakarta, juga luar kota.
“Ah, iya. Nggak papa, mas. Saya tetap keluar—“
“Mas Aji! Aku udah telfon berkali-kali kok nggak diangkat!”
Aku berjengit kaget ketika tiba-tiba ada orang masuk tanpa ketuk pintu.
“Dek Una kebiasaan! Ketuk pintu dulu kalau masuk!”
Ah, dia Luna? Astaga, aku hampir melupakan wajahnya. Maklum, aku baru bertemu Luna satu kali, waktu itu saja.
“Hehe... Maaf mas. Aku— eh bentar, ini Mbak Lia bukan, ya?”
Mataku seketika mengerjap ketika Luna ternyata langsung mengenaliku.
“Iya, saya Lia.”
“Pakai aku aja, mbak. Dibuat santai,” balasnya sambil tersenyum ramah.
“Ah, iya.” Luna tersenyum lagi, lalu kami berjabat tangan sejenak. Dilihat dari sudut manapun, Luna ini sangat cantik. Mana senyumnya juga jenis senyum yang menular.
“Jadi, kenapa Mbak Lia ada di ruangan Mas Aji? Jangan-jangan kalian—“
“Sssst! Mulai ngawur kalau ngomong. Nih, sepatu sendalmu. Lia habis balikin ini,” potong Mas Aji sembari mengangkat paper bag yang tadi aku bawakan. Entah kenapa, ada perasaan aneh ketika Mas Aji menyebut namaku dengan begitu akrab.
“Ya ampun Mbak Lia, repot-repot. Udah agak buluk juga, aslinya nggak dibalikin nggak papa, lho...”
“Enggak, Na. Kan waktu itu minjem, bukan minta.”
Luna meringis, lalu mengangguk mengerti. “Iya udah, makasih mbak.”
“Aku yang makasih, sudah dipinjami. Kalau nggak ada kamu, bisa-bisa aku nyeker.” Luna tertawa pelan, lalu segera mengambil paper bag dari tangan kakaknya.
“O-oh iya, Na. Waktu itu aku nggak tahu kalau kamu mempelai wanitanya, jadi aku baru sempat kasih kado sekarang. Itu ada di dalam paper bag juga. Semoga kamu sama suami suka.”
“A-ah, iya.”
Aku menangkap ekspresi Luna berubah agak janggal, namun hanya dalam hitungan detik, dia tersenyum lebar, lalu berjalan mendekat dan tiba-tiba memelukku. “Makasih banyak, Mbak Lia. Jadi repot beneran kalau gini”
“Sama-sama. Enggak kok, sama sekali enggak.”
Setelah berpelukan sejenak, Luna kembali menghampiri kakaknya.
“Mas, jangan lupa nanti malem pulang lagi, ya. Aku bisa digorok ibu kalau Mas Aji nggak pulang rumah. Kata ibu, mentang-mentang rumah baru udah mau jadi, sekarang mulai jarang pulang.”
“Hm,”
“Ham hem ham hem. Pulang beneran, Mas Aji. Harapan ibu tinggal aku, soalnya ibu tahu kalau Mas Danu yang bilang, pasti bakal nggak bakal didenger.”
“Iya, kalau sempet aku pulang ke rumah lagi.”
“Pokonya harus sempet! Ya udah, aku balik sekarang aja. Lanjutin PDKT-nya sama Mbak Lia.”
“DEK!”
Mas Aji mendelik ke arah Luna, sementara Luna malah menatapku sambil meringis sampai kedua matanya membentuk bulan sabit. “Jagain Mas Aji ya, Mbak...”
“DEK UNA!” seru Mas Aji lagi, namun Luna tak mengindahkan penggilan kakaknya, dan memilih langsung pergi begitu saja. Setelah Luna pergi, tanpa sadar aku menoleh ke arah Mas Aji, dan ternyata dia juga melakukan hal yang sama.
Saat ini, kami berdua hanya bisa saling menatap canggung.
***