Network Love - 7

1566 Words
Aji                 “Kopinya, Ji.”                 Aku menoleh ketika tiba-tiba ada secangkir kopi hitam pekat di depanku. Eza yang tadi pamit ke kamar mandi, ternyata juga membuat kopi untuk kami berdua. “Makasih, Za.” Aku tersenyum tipis, lalu Eza kembali duduk di kursi yang ada di seberang meja.                 Saat ini kami berdua sedang ada di rumah orang tuaku. Aku kembali disuruh pulang, dan tenyata Eza juga Dek Una sedang ada di rumah. Berbeda dengan Danu, anak itu mulai sering tinggal di apartemen barunya karena kerjaan semakin banyak. “Kata Una, kamu mau dijodohin. Emang bener?”                               Mendengar pertanyaan itu, aku tidak langsung menanggapi. Aku lebih memilih untuk menyeruput kopi di tanganku, lalu mengangguk. “Siapa yang sangka, Za, dulu aku sempet ngajarin kamu buat nolak waktu mau dijodohin, sekarang malah aku juga ngalamin sendiri. Kenapa sih, orang tua harus sesibuk itu sampai berusaha mengatur jodoh untuk anaknya?” aku tersenyum getir di ujung kalimat. “Sebenarnya maksud mereka baik, mereka mencarikan yang jelas dari segi bibit bebet bobotnya, tapi mungkin cara mereka yang terlalu kuno.” “Jelas gimana? Keluarga kamu bahkan hampir dipermalukan oleh calon besan.” “Kasusku mungkin memang aku yang lagi apes. Aku nggak menampik kenyataan kalau Amel dari segi fisik, pendidikan, juga keturunan, semuanya baik. Tapi kembali lagi, mungkin jodohku memang bukan Amel, tapi Una.” Mendengar nada suara Eza yang agak tak biasa, aku langsung menoleh. “Barusan kamu senyum, apa ketawa, sih?” tanyaku dengan mata menyipit. “Dua-duanya.” “Kenapa? Dek Una banyak berulah ya?” “Lumayan.”                 Mau tak mau aku ikut tertawa ketika Eza tiba-tiba tertawa. “Kadang aku meragukan status kalian. Saudara kandung, tapi bedanya kaya kutub utara sama selatan.” “Una sama Danu yang sebelas dua belas. Aku beda sendiri, nggak tahu juga.” “Mungkin kamu anak pungut, Ji?” “Bisa jadi.” Eza tertawa agak keras, ketika aku menanggapi candaanya dengan pasrah. “Eh, tapi enggak sih. Dari segi wajah, Una lebih mirip kamu dari pada Danu. Jauh sebelum aku tahu Una itu adikmu, aku udah ngerasa wajah dia itu nggak asing.” “Banyak yang bilang. Dari segi wajah Una lebih mirip aku, tapi kelakuan mirip Danu.”                 Eza mengangguk setuju, lalu kembali menyeruput kopinya. “Hubungan kalian membaik, kan? Maksduku, ada kemajuan?” tanyaku lagi, ketika aku melihat dengan jelas Eza menatap kosong ke depan dengan bibir mengembang. “Itu rahasia.” “Dilihat dari ekpresimu, kayaknya baik-baik aja.” “Mungkin?” Eza menaikkan sebelah alisnya, lalu lagi-lagi tersenyum misterius. “Segera kasih keponakan kalau gitu!”                 Mendengar itu, Eza menghela napas panjang. “Sabar kali, Ji. Butuh proses. Jinakin adikmu sama sekali nggak gampang.”                  Aku meringis, lalu mengangguk. “Memang, sih. Una itu anaknya gampang-gampang susah. Ya pokoknya, aku berdoa yang terbaik untuk kalian.” “Makasih...”                 Untuk beberapa saat lamanya, aku dan Eza hanya diam tak berbicara sedikitpun. Eza kadang sibuk dengan ponselnya, sementara aku hanya menatap kosong ke depan. Otakku terus mengingat kata demi kata yang Bapak dan Ibu katakan tadi sore. “Namanya Safa, Za,” ucapku tiba-tiba, setelah suasana di antara kami hening cukup lama.   “Hah?” “Yang mau dijodohin sama aku itu, namanya Safa. Kalau di foto wajahnya cantik. Kalau aslinya, aku baru mau ketemu besok.”                 Eza menoleh, lalu dia diam beberapa saat sebelum akhirnya kembali berbicara. “Bagaimanapun kelanjutan pertemuan kalian besok, aku mau pesan satu hal. Pertimbangankan semuanya dari dua sisi, kamu dan orang tuamu. Jangan hanya salah satu.” “Maksudnya?” tanyaku tak paham. “Jangan hanya memikirkan dirimu saja, karena itu egois. Tapi juga jangan hanya memikirkan orang tuamu saja, karena kebahagiaanmu juga tak kalah penting.”                 Aku kembali diam, mencerna setiap kata yang diucapan Eza. Eza benar, aku harus memertimbangkan semuanya dari dua sisi dan mencari titik temu agar kedepannya tidak ada yang perlu disesali.   “Oke, aku bakal ingat itu. Thanks, Za.” “Hm.”                 Hening lagi. Sejujurnya, dari pada Safa, ada perempuan lain yang lebih menyita perhatianku akhir-akhir ini. ***                 Keesokan hari... Aku menyeruput iced americano di tanganku, sambil sesekali mengamati perempuan di depanku yang saat ini tampak sibuk dengan ponselnya. Dia Safa, perempuan yang akan dijodohkan denganku. Perempuan dengan rambut panjang bergelombang, kulit putih pucat, dan wajah yang berukuran mungil.                 Dilihat dari sudut manapun, Safa itu cantik, bahkan lebih cantik aslinya dari pada di foto. Tingginya sebatas leher atasku, dan senyumnya juga manis. Tapi aku tidak tahu kenapa, aku sama sekali tidak -atau mungkin belum- tertarik padanya. Safa cenderung terlalu pasif. Dia hanya bicara jika ditanya, dan tidak berinisiatif bertanya balik.                 Aku ini termasuk yang sangat irit bicara dengan orang baru, tapi Safa lebih irit lagi. Bisa dibayangkan kan, betapa membosankannya suasana di antara kami? Dari dulu, aku selalu berharap semoga istriku nanti memiliki daya tarik khusus agar aku ingin selalu bicara dengannya. Aku yang cenderung tidak begitu suka memulai percakapan, berharap bertemu dengan perempuan yang mampu membangkitkan rasa penasaranku sehingga aku bisa bicara lebih banyak dengannya dari pada orang lain. Sejujurnya, dari segi fisik, background pendidikan, juga background keluarga, safa memenuhi kriteriaku. Tapi sayangnya, kriteria utama justru sangat jauh dari yang aku harapkan. Aku memang tidak berharap Safa akan cerewet seperti Una, tapi ini terlalu jauh. Safa sangat pendiam dan dari tadi aku perhatikan, dia lebih sering sibuk dengan ponsel di tangannya, dari pada aku yang duduk di depannya.    Saat ini, mulai banyak pertanyaan berkecamuk di otak. Apa dia tidak penasaran tentangku? Apakah hanya aku yang dari tadi terus berusaha membangun percakapan agar tetap berjalan? Kalau terus seperti ini, bagaimana kami akan berkomunikasi nantinya? Bukannya sebuah hubungan itu harus dibangun bersama, bukan salah satu saja? “Fa,” panggilku setelah tidak tahan dengan keheningan yang aku tidak tahu kapan ujungnya. “Iya, Mas?” “Sebenarnya kamu tahu nggak, kenapa hari ini kita ketemuan?”                 Safa mengangguk. “Tahu, saya disuruh ibu untuk ketemuan sama Mas Aji dan kita harus kenal satu sama lain. Memangnya kenapa, Mas?”                 Medengar jawaban Safa yang terlampau jujur, aku langsung terdiam. Ini kenapa aku merasa seperti om-om yang mengajak ketemuan anak SMA? Padahal umurku belum setua itu jika dibandingkan dengan Safa. Kami hanya terpaut lima tahun, itu artinya jarak umurku dengan Safa kurang lebih sama dengan jarak umur Eza dan Una. Padahal, ketika aku melihat Eza dan Una bersama, aku selalu merasa mereka itu cocok catu sama lain. “Nggak papa. Kalau nggak ada yang mau dibicarakan lagi, saya balik duluan.” “Oh iya, mas. Saya juga mau ada acara habis ini.”                 Aku menagangguk, lalu beberapa menit kemudian kami berdua keluar cafe. Safa bawa mobil sendiri, jadi aku tidak perlu mangantarnya pulang.                 Selepas keluar dari halaman cafe dan belok menuju jalan pintas arah ke toko, aku menginjak pedal gas agar cepat sampai. Rasanya aku butuh air dingin untuk mendinginkan pikiran.  Namun, baru saja aku melewati jalan sepi depan sekolah kosong, aku melihat perempuan terduduk di pinggir jalan, dengan motor yang juga ambruk di sampingnya. Mataku menyipit ketika melihat perempuan itu memakai baju formal seperti seragam guru. “Lia?” Mataku membelalak ketika megetahui kalau perempuan itu adalah Lia. Setelah memastikan kalau perempuan itu benar-benar Lia, aku segera menepikan mobilku, lalu keluar. “Lia,” panggilku begitu keluar mobil dan menutup pintu.                 Lia menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. “Mas Aji?” “Kamu kenapa, Li?” tanyaku begitu jongkok di dekatnya.                 Lia menggeleng, lalu berusaha berdiri namun gagal. Melihat sebelah kakinya terluka, aku segera membantunya berdiri dan membawanya duduk di trotoar. Baru setelah itu, aku menegakkan motornya dan membawanya menepi. “Tabrakan, atau gimana?” tanyaku lagi ketika melihat Lia hanya diam dengan kepala menunduk.                 Tidak ada jawaban, jang ada hanya punggung yang kulihat sedikit bergetar. “Li?”                 Kali ini Lia mendongak, lalu tersenyum dengan jenis senyuman yang terlihat sangat dipaksakan. Matanya memerah, dan aku bisa melihat dengan jelas ada air mata yang menggenang di kedua pelupuk matanya.   “Mau ke rumah sakit?” “Aku nggak papa, mas. Makasih.”                 Lia berdiri, lalu berjalan menuju motornya tanpa menoleh ke arahku lagi. Lagi-lagi, aku melihat badannya bergetar, dan sebelah tangannya tampak sedang menghapus air mata. “Lia!”                 Aku berteriak begitu melihat motornya kembali ambruk menimpa sebelah kakinya yang tadi terluka. Kali ini tanpa menunggu persetujuannya, aku memindahkan motornya dan mengunci stang. Baru setelah itu, aku segera mengangkat badannya dan membawanya duduk di samping mobilku agar tidak begitu terlihat orang yang sedang lalu lalang.                 Aku diam saja tak bersuara ketika Lia juga diam saja dengan kepala menunduk dan punggung yang terus bergetar. Dia sedang menangis, aku tahu itu.                 Aku mundur satu langkah ketika tiba-tiba Lia menegakkan kepalanya, lalu mengusap air matanya buru-buru. Dia berdiri, kemudian merebut kontak motornya dari tanganku. “Pura-pura nggak pernah lihat ini ya, Mas Aji? Saya mohon,” lirihnya pelan, lalu balik badan bergegas menuju motornya.                 Melihat Lia tampak begitu nekat ingin mengendarai motor, padahal jelas aku lihat air matanya masih belum berhenti, aku segera menghampirinya lalu merebut kembali kontak motornya. Aku menarik tangannya agar dia ikut aku menuju mobil. “Mas Aji—“ “Kamu mau melukai dirimu lagi, gitu? Kamu nggak lihat celana bawahmu robek? Atau sengaja buat tontonan orang-orang?” potongku sembari mengambil selimut tipis milik Dek Una di jok belakang, lalu melilitkan selimut itu agar menutupi celana bagian bawahnya yang robek sampai lutut.                 Lia diam, dan lagi-lagi aku melihat air matanya kembali menetes. “Seberat apapun masalahmu, jangan sampai mencelakai diri sendiri. Masuk!”   *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD