P3. Kesempatan terakhir

1336 Words
Ramona tertunduk duduk di ruang tunggu Rumah Sakit dengan wajah begitu kusut. Bagaimana tidak, sudah ke empat kalinya ia ke rumah sakit itu dalam kurun waktu dua tahun hanya karena Rama yang overdosis. Ia begitu bingung harus membawa Adiknya berobat di mana, tak di bawa ke tempat rehabilitasi alternatif, karena justru membuat Rama marah dan memukuli beberapa orang di sana. Semua ini terjadi semenjak keluarga mereka menurun perekonomiannya karena Bakti terkena pengurangan karyawan. Lingkungan pergaulan Rama yang terlanjur berada di area menengah ke atas, ternyata penuh kepura-puraan. Rama salah bergaul di sekolah barunya, ia justru bertemu dengan teman yang lebih parah dan menyeretnya ke lembah terlarang. "Mbak Ramona, di panggil dokter," ucap perawat yang menghampirinya. Ramona beranjak dan berjalan masuk ke dalam ruang praktek itu lagi. "Duduk, Mona," ucap Dokter pria itu. Ramona tak menunjukkan wajah ramah, bahkan untuk senyum pun tidak. "Saya langsung bilang apa adanya ya, Mon." Ramona hanya mengangguk. Ia menatap lekat dokter yang berusia tiga puluhan itu. "Sarafnya sudah kena, Mon, Rama sudah ke empat kalinya seperti ini, dan, yang sekarang sudah kena saraf di kepalanya." Mona menunduk. Helaan napas begitu terdengar seperti orang frustasi dan lelah. Ia tak tau lagi harus dengan cara apa untuk membuat adiknya sembuh. "Sekarang ... Rama udah sadar?" tanya Mona dengan wajah berharap. "Rama ... koma, Mon, maaf," lirih sang dokter. Mona diam, ia begitu kacau. Air matanya tumpah begitu saja, bagaimana ia memberitahu kedua orang tuanya atas kondisi Rama, ia semakin tak karuan rasanya. Dari penampilannya yang masih mengenakan baju tidur, rambut di kuncir asal, sendal jepit dan tas kecil yang ia selempangkan di tubuhnya. Sungguh membuatnya seperti orang gila. Ramona beranjak meninggalkan ruang praktek dokter dan menuju ke ruang rawat di mana Rama terbaring. Banyak alat menempel di tubuh kurus adiknya itu. Ramona berjalan menghampiri. Ia menatap Rama yang tak bergerak. Hanya napasnya yang naik turun. "Puas Ram. Kamu hancurin hidup kamu sendiri. Puas, hah ...," Ramona menggigit bibirnya. Ia menunduk. Bahunya bergetar hebat. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Perasaan itu kembali muncul, rasa di mana ia seperti seorang kakak yang tak becus melindungi, mendidik dan menjaga adiknya. "Maafin Kakak, Ram, Kakak nggak bisa didik kamu. Kamu jangan pergi secepat ini, dong, aku masih butuh kamu, Rama, Please." Air mata mengalir di kedua pipi Ramona. Ia menggenggam jemari Rama yang dingin. Ramona menciumnya berkali-kali. Berharap Rama bangun. *** Kedai kopi hitam tak beroperasi selama dua hari. Ramona berduka, Rama meninggal hari itu, di saat Mona terus menggenggam jemari Rama. Masih muda, delapan belas tahun. Kedua orang tua Ramona begitu terpukul, Bakti bahkan pingsan, begitu pun istrinya Katrin yang hanya bisa diam. Pemakaman tak dihadiri banyak orang atau sanak saudara. Ramona begitu marah. Setidaknya, ada mereka yang dulu dekat saat keluarga Ramona saat masih jaya, hadir dalam pemakaman Rama, tapi, kenyataannya tidak, hanya dua keluarga dekat yang masih terikat status kakak dan adik saja yang hadir. Sisanya, terbang entah ke mana. Ramona duduk di teras rumah, rumah mungil yang dibeli Bakti dari sisa hasil uang pesangonnya menjadi sepi. Kini anak mereka hanya satu, Ramona, wanita dua puluh dua tahun yang putus kuliah dan beralih profesi menjadi wiraswasta. Ia beranjak dari duduknya, saat melihat satu mobil truk merk toko mebel terkenal sejagad raya yang dari Swedia itu, parkir di depan rumahnya. Ia berjalan, dengan wajah sendu, menghampiri si supir yang turun bersama kenek. "Pak, saya nggak pesen apa-apa, lho?" ujar Ramona tak basa basi. "Mmm ... iya Mbak, numpang parkir ya, kami mau antar ke alamat rumah ini Mbak," kenek itu menunjukan invoice yang tercatat alamat rumah. Alamat itu tepat di hadapannya. "Itu?" tunjuk Ramona. Kenek mengangguk. Ia mulai membuka pintu truknya dan Ramona mau tak mau ikut melihat isi di dalamnya. Ada tempat tidur, sofa bed, meja makan minimalis, hiasan-hiasan, dan perabot lainnya. "Saya ke dalam ya, silahkan parkir di sini, mumpung gratis. Kalau besok baru bayar." celetuk Ramona yang di jawab kekehan si kenek. Kedua orang tua Ramona menatap anak satu-satunya yang duduk di meja makan dengan banyak kertas, kalkulator dan laptop yang layarnya menunjukan tabel laporan keuangan kedai kopi miliknya. Bakti dan istrinya menatap Ramona sambil duduk bersebrangan di hadapannya. "Kak ... Papa sama Mama mau tanya tentang bisnis kamu ini, apa progresnya baik?" Ramona menatap Bakti. Ia mengangguk. "Papa kenapa? Atau mau apa? Nanti bilang sama Mona ya, Mama juga, mau apa nanti bilang." Ramona tersenyum. Ia janji dengan dirinya sendiri, tak akan membiarkan orang tuanya sedih apalagi menangis. Sudah cukup mereka sedih karena kehilangan Rama. Banyak air mata dan semua habis untuk Rama. Bahkan, kedua orang tuanya melupakan kebutuhan mereka. "Nggak mau apa-apa, Kak, cuma mau ingatkan kamu, jaga kesehatan, jangan forsir kerja terus, kamu juga butuh istirahat, ini kesempatan terakhir Mamah sama Papah untuk urus anak kami, cuma kamu sekarang Mona. Mama sama Papa nggak mau kehilangan anak lagi, lebih baik kami yang pergi duluan, Mona .... " Ramona menatap Mama dan Papanya bergantian. "Jaga kesehatan ya, kami berdua minta itu aja, Kok." Ramona diam. Lalu senyumnya mengembang. Ia terkekeh. "Siap bos besar! Mama sama Papa juga ya, harus bangkit. Rama kita kirim doa tanpa putus, kita udah gagal jaga dan didik adek, ini bukan kesalahan Mama sama Papa, tapi Mona juga. Sekarang, Papa sama Mama harus relakan Rama, dan ceria lagi ya," senyuman Mona membuat kedua orang tuanya ikut tersenyum. Sebagai seorang anak pertama, beban Mona sebenarnya berat, tapi ia tak peduli. Tak masalah jika hanya lulusan SMA, tak bisa kuliah, setidaknya, ia punya usaha yang bisa menghidupi ia dan kedua orang tuanya. Ini juga kesempatan terakhir Mona untuk menjadi jalan kebahagiaan mama dan papanya, kedai kopi hitam menjadi satu-satunya jalan. "Permisi!" suara panggilan seseorang dari luar rumah terdengar, Mona berdiri dan berjalan. Ia memutar kunci dan membuka pintu. "Sia--" "NGAPAIN LO KE SINI!" Mona langsung berteriak sembari berkacak pinggang dan melotot ke arah Kafka yang sudah berdiri di depan pagar rumahnya. "Eh ... gue gak tau kalo ini rumahnya Ramona, wah ... kita tetanggaan nih, Mon, gue penghuni rumah seberang, nih!" Kafka senyum-senyum jahil. "Hah! Lo emang penguntit ya! NGAKU!" Mona sudah berjalan ke depan pagar. Mereka berbicara dengan pagar hitam rumah Mona sebagai pembatasnya. Mona mendongak karena tubuh Kafka yang tinggi besar. Kafka menunduk dan senyum-senyum. "Halo tetangga .... " ucapnya. "Gue mau kasih ini doang, sebagai tanda perkenalan tetangga baru." Kafka menyerahkan tas warna biru. "Apaan, nih! Lo mau isengin gue, kan?!" "Dih! Pede banget lo! Buruan pegang. Gue mau beresin perabotan lagi, nih!" "Nggak!" Mona berbalik badan. Tampak Bakti keluar dan menghampiri. "Tetangga seberang?" tanya Bakti sambil membuka pagar. "Iya, Om, saya yang beli rumah itu," tunjuk Kafka lalu menyerahkan tas biru itu. Ia juga meraih tangan Bakti dan mencium punggung tangannya. "Lo ngapain beli rumah itu! Lo nggak tau rumah itu banyak setannya!" "Cieee ... perhatian banget, takut gue diikutin setan ya?" Mona melepas sendal jepitnya dan mengangkat tinggi-tinggi. "Cari masalah amat lo sama gue!" omel Ramona. "Kak! Anak perempuan kok gini, Kafka, maaf ya, Ramona lagi nggak baik emosinya. Ini, terima kasih ya, nanti Om kasih tau Tante juga." "Iya Om, saya pamit kalau begitu, permisi." Kafka tersenyum. Setelah Kafka berjalan ke arah rumahnya, Bakti menatap ke putrinya. "Apaan sih, kamu, Kak? Malu-maluin aja!" Bakti berjalan masuk ke dalam rumah. "Pa ... Papa nggak tau aja siapa itu orang. Isengnya luar biasa, Pa!" Ramona kembali duduk di meja makan. "Ya tapi jangan kasar-kasar ah, Papa nggak suka lihatnya," lirik Bakti. Mona berdecak. "Apa Pa?" tanya istrinya. "Ini, ada yang baru pindahan rumah ke seberang, ternyata kenal sama Mona, tapi anak mu ini, galak banget." Sindir Papahnya. "Biasanya si, awalnya ribut, benci, lama-lama sayang, cinta, bucin .... " kekeh Bakti. "Hihhhh ... amit-amit deh. Mending Mona di jodohin aja, pilihan Mama sama Papa." "Yakin?" lirik Bakti yang diakhiri tawa Katrin. Mona mengangguk. Walau sejujurnya ia hanya asal bicara saja. Di dalam rumah Kafka. "Tetangga sama Mona, hmmm ... seru nih ..." ia bersedekap sambil senyum-senyum dengan ide jahil yang banyak untuk Mona. Kedua matanya melirik ke bendera kuning yang terpasang di pagar rumah Mona. Siapa yang meninggal? Kafka mengerutkan kedua alis matanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD