P4. Pagi tetangga

1218 Words
Mimpi buruk bagi Mona pun dimulai. Tidurnya terganggu karena mendengar obrolan dan tawa dari dua orang pria di teras depan rumah. Ramona menempati perumahan yang bertype kecil. Luas tanah hanya sembilan puluh m2. Garasi kecil yang menampung satu mobil city car yang tak Mona miliki karena sudah dijual untuk biaya rehabilitasi Rama waktu itu. Ia beranjak, dengan memakai daster bergambar spoge bob warna kuning itu, ia keluar kamar. Kepalanya menoleh ke kanan yang langsung tampak ke arah teras luar. Kafka sedang duduk dengan Bakti, entah apa yang mereka bicarakan hingga Bakti tertawa. Lalu mereka beranjak dan berjalan keluar pagar rumah. Ramona melirik ke jam dinding. Masih pukul setengah enam pagi. Ia menghampiri Katrin, Mamahnya yang sudah berasa di dapur. Harum roti bakar dan pisang goreng menyeruak sungguh nikmat. "Mah, ngapain Kafka sama Papa?" "Oh ... Kafka minta di temenin muter-muter lingkungan sini, kamu kok nggak bilang punya temen yang se-seru itu, Papamu langsung akrab, lho." Ramona berdecih malas sambil melengos menuju ke kamar mandi. "Dia bukan temen Mona, Ma!" teriak Mona dari dalam kamar mandi. "Baik kok, orangnya," lanjut Katrin lagi. "Siapa bilang! Mama nggak tau aja," Mona membuka pintu kamar mandi dan menyembulkan kepala. "Di Kedai, satu-satunya pelanggan yang resek dia doang, Ma, Mona harus tahan emosi setiap dia ke sana." Lalu pintu kamar mandi tertutup lagi. Di dalam kamar mandi, Mona mengguyur tubuhnya. Ia harus membuka Kedai KopiHitamnya. Dua hari tak beroperasi sudah menelan kerugian yang lumayan. Ia harus fokus membangun usahanya itu, tak bisa main-main apalagi malas. Tak butuh waktu lama, Ramona sudah bersiap. Ia akan berangkat ke kedai KopiHitam dengan ojek online. Dengan langkah kaki pasti, ia berjalan ke luar kamar. Tampak Kafka sedang duduk di meja makan bersama kedua orang tuanya. Ia melirik sinis ke Kafka yang tak melihat ke arahnya. "Hari gini nggak ada yang gratis. Bayar nih, pisang goreng!" Ketus Mona sambil mengangkat pisang goreng ke hadapan Kafka. Pria itu justru tertawa meledek. "Pagi tetangga..." sapa Kafka yang juga malah senyum-senyum. Ramona meletakan pisang goreng dan memutar bola matanya malas. "Kakak berangkat, Ma, Pa." Ia meraih tangan kedua orang tuanya dan mencium punggung tangannya bergantian. Kafka menyodorkan tangan kanannya. "Pamit sama gue, Mon," celetuk Kafka. PLAK! Ramona memukul tangan Kafka. "Ngarep! Sapa lo!" Ramona berjalan ke arah luar, karena ojek online nya sudah datang. "Iseng banget kamu, Kaf .... " tegur Bakti. "Maaf ya Om, Tante, Kafka iseng banget sama Ramona," kekeh Pria itu. Lalu lanjut makan pisang goreng sambil ngobrol dengan kedua orang tua Ramona. *** "Kak Ramona, kami turut kehilangan Rama," ke empat pegawai kedai KopiHitam duduk bersama di hadapan Ramona. Mereka menyerahkan amplop putih, berupa uang duka cita. Mona tersenyum lalu menggeleng. "Jangan, kalian doain Rama aja ya, ini maaf, bukannya saya nggak mau terima, tapi kalian juga butuh, pegang untuk kalian aja, ya." Mona memberikan amplop itu lagi. "Saya cuma berharap, kita bisa kompak bangun usaha ini bareng-bareng, saya hanya punya ini untuk jadi mata pencaharian saya dan kalian berempat." Ramona menatap para pegawainya yang rata-rata lulusan SMK, dan tak bisa melanjutkan kuliah. Untungnya, salah satu pegawainya ada yang lulusan SMK Perhotelan dan memang pernah ikut kursus barista kopi, cukup kompeten. "Iya Kak, kita berempat, juga mikir hal yang sama, kita paham posisi Kak Mona, Kak Mona semangat ya, kita dukung pokoknya!" ujar Intan, salah satu pegawainya di bagian pembuatan makanan dan jago menata makanan di display, sehingga memikat mata calon konsumen. "Siap! Ayo semangat!" ujar Mona sambil mengepalkan tangannya. Mereka lalu beranjak ke posisi masing-masing. Jam tujuh pagi, kedai dibuka. Ramona meletakkan papan tulis hitam yang mulai ia tulis menu promosi hari itu. Dengan lihai ia menggunakan kapur tulis dengan warna berbeda dan menghias tulisannya. Tiga jenis kopi dan paket sandwich cukup untuk hari ini. Mona menatap puas dengan hasil tulisannya. Ia menatap langit yang cerah di hari Minggu pagi. "Udah buka ya, Mbak?" tanya seseorang. Mona menoleh. Tampak tiga pengendara sepeda sudah memarkirkan sepedanya di depan toko dengan rapi. Mona mengangguk. "Silakan masuk, kami ada menu promosi hari ini, langsung ke meja pemesanan saja ya," ujar Ramona sopan. Pria itu mengangguk. Ramona juga membukakan pintu. "Ini yang gue bilang, Niel, kedai kopi rekomendasi temen gue, ownernya juga baik dan ramah," ujar teman di belakangnya. Ramona menunduk dan tersenyum. Promosi dari mulut ke mulut memang jauh lebih efektif. Strategi pemasaran klasik yang tanpa modal memang jauh lebih menghasilkan. Satu persatu kedai mulai di datangi pelanggan. Mona membantu pegawai di bagian dapur untuk menyiapkan makanan yang habis di display. Suara tawa, obrolan ringan, dengan secangkir kopi dan makanan di hadapan setiap orang, membuat suasana hidup. Ramona dengan lihai meracik campuran untuk isian sandwich sayur, menu baru yang ia racik. Karena beberapa pelanggan ada yang tak makan protein sama sekali. Lemak didapat dari mayonise. "Kak Mona, kita bikin promo untuk kantor sama kampus yuk, sekitar sini kan kantor sama kampus," ucap pegawainya sambil membungkus sandwich dengan plastik wrap guna menjaga ketahanan kualitas makanan dan kedap udara. "Boleh. Saya coba bikin pamflet sama bannernya ya." Ramona tersenyum. Mereka kembali membuat menu makanan. "Kak Mona," panggil Intan. Ramona menoleh. "Sandwich panggang habis," ucapnya. Ramona mengangguk. "Aku siapin ya," Ramona menuju ke lemari penyimpanan bahan-bahan dan mulai membuatnya. "Yang isi ayam keju, Kak." lanjut Intan. "Beressss .... " Ramona mengeluarkan filet d**a ayam dari kulkas dan mulai mengolahnya. "Ini udah siap, aku taruh di display ya kak," "Iya, makasih ya," Ramona tersenyum. Dengan begitu telaten, ia membuat menu yang sudah habis di display. Jam menunjukan pukul setengah dua belas siang. Ia kaget, karena sudah tiga jam lebih ia berkutat di dapur kedai miliknya. Setelah membersihkan tangan, ia pamit keluar kedai sebentar, melalui pintu belakang toko. Ia melangkah dengan hanya membawa dompet di tangannya. Berjalan menyusuri toko-toko dan rumah makan yang berjajar rapih dan bersih di kawasan Ring Gold Economic. Satu daerah kawasan perekonomian emas, di kelilingi apartemen mewah dan perumahan elite juga. Ramona masuk ke rumah makan yang menjual ayam bakar. Ia akan membeli lima paket untuk ia dan para pegawainya. Sistem kerja di kedai tak ada shift. Semua sama, jam tujuh pagi hingga delapan malam. Jika tak over time , yang kadang terpaksa ia lakukan karena beberapa pelanggan yang meminta. Raut wajah Ramona mendadak tak bersemangat. Lagi-lagi, ia bertemu dengan Kafka. Ia membuang pandangan sebelum masuk ke rumah makan ayam bakar itu. "Eh ... ada tetangga, beli makan siang buat pegawai, baik banget, si .... " Kafka memarkirkan motornya. Ia masuk ke dalam rumah makan, berjalan di belakang Ramona. "Suka makan di sini juga Mon? Ini tempat langganan gue," "Bodoh amat!" jeplak Ramona yang mengantri setelah mengambil nomor urut antrian. "Ck, judes amat si, Mon. Gue tanya baik-baik kali." "Ribet tau nggak, lo, Kaf! Kalo ketemu gue, anteng sedikit bisa kan!" Lirikan mata penuh kekesalam Mona tunjukan ke Kafka yang menaikkan sebelah alis matanya sambil tersenyum. "Nggak bisa. Gue seneng aja lihat lo ngomel-ngomel," Kafka senyum-senyum lagi. Ramona melengos. Ia berdiri dam diam sambil berdiri di antrian. "Nih. Sekalian pesenin punya gue. Dua paket ayam bakar pedes. Gue tunggu di luar." Dengan seenaknya Kafka memberikan uang ke tangan Ramona, sedangkan ia berjalan keluar rumah makan. "Kafka! Antri sendiri kek!" Teriakan Ramona membuat semua pelanggan menoleh. Ia menjadi tak enak sendiri. Kafka bersiul sambil menutup pintu. Ia menoleh dari luar dan terkekeh puas sambil meledek Ramona. Awas lo ya Kafkaaaaaa!'. Teriak Ramona dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD