P2. Tom and Jerry

819 Words
Ramona menutup kedai kopi dan sandwichnya sudah jam sepuluh malam. Bersama ke tiga pegawainya, ia bahu membahu melakukan kegiatan itu. "Kita duluan Kak Mona," mereka bertiga melambaikan tangan ke Ramona yang dibalas anggukan. Mona berjalan ke Halte tempat ia menunggu taksi untuk pulang. Jam sepuluh malam bis juga sudah tidak ada. Detik berganti menit. Ramona masih duduk sambil melihat ke jalananan yang sudah mulai sepi, ia berharap ada taksi yang lewat. Udara terasa hangat, langit tak ada bintang dan berwarna kecoklatan. Mendung. Motor hitam itu berhenti di halte, Mona menatap malas. Ia membuang pandangan. "Buruan naik! Gue anter pulang!" ujar si pemilik motor itu. "Ogah amat. Sana lo pergi!" Tolak Ramona telak. "Mendung! Nggak ada taksi atau bis jam segini!" Masih mencoba santai. "Pergi! Gue bisa jalan kaki!" Ramona masih kekeuh pendiriannya. "Yaudah!" teriak si pengendara motor. BRUMMMMM .... Kafka pergi meninggalkan Ramona sendirian di halte. Lima belas menit berlalu, dengan bodohnya, Ramona baru membaca di berita online, jika perusahaan taksi kompak mogok membawa penumpang dan berdemontrasi di depan Istana Negara. Efek malas membuka ponsel campur sedikit tulalit, membuat Mona mendengus kesal. Mendung, juga terdengar suara petir. Ia berjalan meninggalkan halte dan berjalan menyusuri trotoar hampir tengah malam. "Ojek online juga kenapa nggak ambil orderan, si .... " Ramona berjalan sambil menatap layar ponselnya. "BURUAN NAIK!" suara itu lagi. Ramona menoleh. Kafka lagi. "Elo lagiiii ... ya ampun, lo buntutin gue, apa lo diem-diem ... lo penguntit ya!" kedua mata Ramona membulat. "Buruan! gerimis nih! aelah ...." Kafka turun dari motor dan memakain helm ke atas kepala Ramona. Ia menarik tangan wanita itu mendekat ke motornya. "Tunjukin arah rumah lo! buru!" Omel Kafka. "Lo apaan si Kaf, tiba-tiba ada disini lagi. Tadi lo kan udah balik?! Ninggalin gue!" Ramona sudah duduk di atas boncengan motor Kafka. "Pegangan. Ngomong aja lo!" Lagi-lagi suara ketus yang terdengar. "Kasih tau dulu, lo buntutin gue?!" "Enggak. Gue ngojek!" jawab Kafka Asal. Lalu motor melaju membelah jalanan Ibukota hampir tengah malam. Gerimis perlahan turun dan berubah menjadi deras. Kafka mengarahkan motor berteduh di depan halte. Padahal baru lima menit ia mengendarai motor. Keduanya sudah di guyur hujan. "Tuh, 'Kan ... gue bilang apa. Lama si lo!" omel Kafka sambil mengibas jaketnya yang terkena air hujan. "Bukan urusan lo gue mau kehujanan apa nggak!" Lirikan judes dan omelan juga tak bisa jika Ramona tak perlihatkan ke Kafka. Keduanya saling bertatapan penuh emosi. Bukannya mereda, justru hujan semakin deras membahasi jalanan. Kafka dan Ramona kompak membuang pandangan. Ramona berdiri berjarak, ia malas sekedar menoleh ke Kafka. SRET! Kafka memakaikan jaketnya ke bahu Ramona. Ia juga mengusap bahu Ramona. "Kali ini diem. Jangan ribut. Udah tengah malem. Hujan, dingin, nanti lo sakit. Pause dulu nyolot-nyolotannya," ucap Kafka lembut, walau tak dengan senyuman. Tetap jutek. Ramona diam. Ia memang kedinginan, air hujan dan angin membuatnya menahan umpatan dan makian ke pria di sebelahnya itu. Malam itu, hujan dan halte menjadi saksi jika Tom and Jerry pun bisa akur. Walau untuk sementara. *** Ramona bergulung di balik selimutnya. Kafka mengantarkan ia pulang hingga di depan rumah. Ia berkali-kali bersin. Mau tak mau, Mona meranjak dan berjalan keluar kamar, kearah dapur dan membuka kotak obat. Dengan segera ia meminum paracetamol. Ekor matanya menangkap sosok seseorang yang berdiri di depan pintu. Seperti sedang menunggu seseorang. "Pa .... " sapa Ramona. Pria tua itu menoleh. Menatap Mona lalu mendengus kesal. "Adek mu belum pulang, Papa khawatir Mon," wajah ayah kandung Ramona begitu kuyu, ia begitu lelah memikirkan anak bungsunya itu. "Papa tidur aja, Mona yang tunggu Rama pulang." Mona membujuk ayahnya, tak susah, pria bernama Bakti itu mengangguk. Ia menuju ke dalam kamarnya. Mona menutup pintu lalu menguncinya. Jam menunjukan pukul dua dini hari. Mona pun tak kuat menahan kantuk. Ia bergegas ke kamar dan tidur. Pagi hari. Suara teriakan Mamahnya terdengar. Ramona sontak terduduk di atas ranjang dan berjalan keluar kamar. Mamahnya menatap Mona panik, kedua sorot mata Mona menatap ke satu pria yang tergeletak seperti tak sadarkan diri. Mona berlari dan tersungkur. Ia mengangkat kepala Rama. "Ram ... Rama ... bangun, ini Kakak Ram ...." Mona menatap Ibunya. "Ambilin Mona kotak p3k, Ma." Ibunya mengangguk. Mona membuka jaket yang dikenakan Rama. Ia terkejut. Lengan adiknya sudah banyak tanda titik-titik. "Papa nyerah, Kak, Papa nyerah sama Adek kamu," Bakti menangis. Ramona menahan emosinya. "Sekarang tinggal tunggu, siapa yang mati duluan, Papa atau Rama." Lalu Bakti beranjak. Begitu hancur melihat Rama yang kembali seperti itu. "Ma, telfon ambulance. Mona yang bawa Rama ke sana." Ibunda Mona mengangguk. Ia menelepon ambulance rumah sakit. Sementara Ramona membersihkan lengan Rama dengan alkohol. Kedua mata Rama sudah membalik, hanya tamlak putih-putih di bola matanya. "Rama ... kenapa gini lagi, sih!" Dengan kesal, Ramona membersihkan lengan bagian dalam Rama. Lima belas menit kemudian Ambulance datang, Ramona membawa Rama ke RSKO untuk ke empat kalinya. Ia duduk di dalam Ambulance. Menggenggam jemari Rama yang tak merespon. Ia berdoa, supaya Tuhan tidak mencabut nyawa adiknya dengan cepat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD