Malam harinya, Camila berencana keluar dari kosannya untuk berbelanja pakaian baru untuk bekerja serta memotong rambutnya. Kalo kata orang sih, buang sial. Padahal ia juga ingin mencari penampilan baru di ibukota ini. Siapa tahu, hatinya akan lekas pulih seiring berubah penampilannya. Namun entah kenapa hujan sejak sore turun sangat deras dan masih gerimis hingga Camila ingin pergi. Ia pun hanya menatap jendela kamarnya yang menempel bulir-bulir air hujan yang tampak cantik.
Camila pun beranjak dari tempatnya dan memilih untuk keluar dari kamar dan menonton TV di lantai bawah. Ia sungguh bosan dengan hari minggunya ini. Jika di Malang, ia pasti sudah membantu pekerjaan kedua orangtuanya terutama ibunya, Esti. Ia dan ibunya akan sibuk memasak di dapur sementara ayahnya sibuk di kebun sayur mereka. Mendadak ia rindu suasana kampung halamannya yang tenang dan damai, walau sejak batalnya pernikahannya dua minggu yang lalu, para tetangga sibuk membicarakan keluarganya. Terutama soal dirinya. Mereka banyak mengasihani dan mengiranya sangat malang sebagai wanita. Sudah telat menikah karena umurnya sudah dua puluh enam tahun sedangkan di kampungnya, umur dua puluh tahunan saja sudah pada punya anak, eh batal menikah lagi.
Sememalukan itu kah?
Bukankah akan lebih parah jika melanjutkan pernikahan dengan pria yang ternyata suka main perempuan? Bukankah akan lebih menyakitkan jika mengetahui fakta pahit itu setelah pernikahan? Justru Camila merasa Tuhan menyelamatkan dirinya dari pria yang tidak bertanggung jawab itu. Walau ia juga rugi soal materi karena persiapan akad dan resepsi itu adalah uang bersama, artinya uangnya juga ikut andil dalam membuat acara itu. Acara yang ujung-ujungnya bukan untuknya. Seakan ia sia-sia, menyiapkan semua itu demi calon suaminya yang berkhianat.
Memikirkannya lagi membuat perut Camila terasa bergejolak. Ia agak shock dengan kejadian itu, membuatnya sedikit trauma. Ia jadi takut, apa semua pria memang begitu? Mempermainkan sebuah komitmen dan bisa mencicipi setiap wanita begitu saja?
Saat sampai di lantai bawah, Camila malah melihat Bara yang ketiduran di sofa dengan TV yang menyala. Sepertinya pria itu ketiduran saat sedang menonton acara motogp di TV. Ia pun enggan mengganggunya dan berbalik, berniat kembali ke kamarnya.
"Nonton aja kalo mau nonton." Suara Bara membuat Camila menghentikan langkahnya dan menoleh pada pria itu yang kini sudah membuka matanya.
"Nggak deh. Saya juga nggak ada yang mau ditonton banget."
Bara hanya diam. "Kalo begitu, mau keluar nggak? Temani saya. Eh panggil aku kamu aja kali biar nggak terlalu kaku. Gimana?"
Camila jelas terdiam mendengar ucapan dari Bara, juga permintaan-permintaan pria itu yang terasa janggal. Bara meminta merubah panggilan mereka jadi aku-kamu yang kesannya seperti teman dekat. Walau memang iya panggilan 'saya' itu terlalu kaku. Tapi bukankah cocok, Bara kan atasannya. Walau Bara jadi seperti temannya sejak hari ini. Apalagi barusan pria itu mengajaknya keluar bersama. Sesuatu yang sangat Camila inginkan, karena ia juga bosen di rumah aja.
"Kalo nggak mau gak apa-apa sih. Aku nggak mau memaksakannya."
"Mau kok." Camila mengangguk seraya tersenyum kecil. "Aku juga rencananya mau keluar tapi hujan terus."
"Oh ya? Ada tempat yang mau kamu kunjungi?"
"Mau ke mall sama salon aja. Aku mau potong rambut dan cari baju untuk kerja. Baju yang aku bawa baju lama semua." Camila tampak malu-malu mengutarakannya. Ia jadi takut Bara mengiranya seperti gadis aneh-aneh yang suka ke mall dan ke salon. Padahal ia memang ingin kesana, dan juga ia tidak minta dibayarin kok.
"Ya sudah. Aku ke atas dulu ambil jaket." Bara beranjak dari tempatnya dan berjalan melewati Camila.
"A-aku juga mau ambil tas sama jaket," ucap Camila yang mengikuti di belakang Bara. Untungnya pria itu tak menjawab yang aneh-aneh. Setelah mengambil tas dan jaketnya, ia pun segera turun kembali. Bara sudah berdiri di ambang pintu dengan jaket jeansnya serta celana jeans hitam yang membuatnya tampak seperti anak muda. Padahal jika Camila kira-kira, mungkin umur Bara sudah di atas tiga puluh tahun. Atau ia terlalu sok tahu?
"Kenapa? Ada yang aneh dengan penampilanku?" tanya Bara yang menangkap Camila sedang memperhatikannya. "Yuk berangkat. Nanti keburu malam."
Camila mengangguk pelan, gadis itu kemudian mengikuti Bara yang berjalan menuju garasi mobilnya. Gadis itu terkejut melihat tiga deretan mobil di dalam garasi yang bernuansa coklat itu. Ada satu mobil merah yang biasa Bara gunakan. Lalu ada satu mobil tua berwarna hitam tapi terlihat sangat terawat dan satu mobil putih pajero.
"Dua mobil itu dulu biasa digunakan orangtuaku. Jadi sekarang hanya aku simpan untuk kenang-kenangan. Aku jarang menggunakannya. Hanya sering dipanasin tiap hari dan diservis aja biar nggak rusak," ucap Bara seakan tahu apa yang ada di dalam benak Camila saat melihat ke dalam garasi mobilnya.
"Oh. Lalu orangtuamu?" Camila segera menutup mulutnya yang telah lancang bertanya pada Bara, padahal mereka tidak sedekat itu untuk saling bertukar cerita. Apalagi wajah Bara tampak muram. "Maaf, aku gak bermaksud..."
"Nggak apa-apa." Potong Bara langsung. Ia tersenyum menunjukkan ketegarannya. "Aku sudah ikhlas dengan kepergian mereka kok."
Kepergian.
Satu kata itu cukup membuat Camila tahu dengan apa yang sudah terjadi. Pantas saja rumah sebesar ini malah dibuat kos-kosan. Ia juga tidak pernah bertemu pemiliknya selain Bara. Walau ia tidak tahu penyebab kepergian orangtua Bara, ia juga tidak mau mencari tahu lebih dalam atau akan menggali luka di dalam diri pria itu lagi.
"Sudahlah. Ayo kita berangkat aja. Ini kan weekend. Harus dihabiskan seefektif mungkin." Bara kembali tersenyum, sangat berbeda dari sosok yang pertama Camila lihat. Seakan Bara bersikap terbuka dengannya. Apa ini pertanda hubungan mereka sebagai partner kerja akan semakin baik?
"Baiklah." Camila pun naik ke dalam mobil Bara. Tak lama mereka sudah melaju menuju mall di salah satu pusat kota.
Tidak sampai dua puluh menit, karena jalanan cukup lancar di hujan deras ini sehingga tidak banyak orang yang pergi keluar. Kecuali jika benar-benar kebosanan seperti Camila dan Bara ini.
"Kamu mau cari apa dulu? Ke toko baju atau ke salon?" tanya Bara begitu mereka sudah di lobby mall.
"Kamu emang nggak mau kemana-mana? Masa nemenin aku doang." Camila jadi sungkan.
"Nggak apa-apa. Nggak ada tempat spesifik yang mau aku kunjungin kok."
"Ya udah aku ke salon dulu deh. Mau potong rambut biar fresh." Camila menyentuh ujung rambutnya yang bergelombang.
Bara pun mengangguk lalu mereka masuk ke salah satu salon.
Setelah selesai, mereka melanjutkan ke toko pakaian. Disana Bara juga melihat-lihat kemeja pria sementara menunggu Camila memilih pakaian. Sebenarnya Bara sedikit mengalihkan pandangannya dari Camila karena terpesona dengan penampilan baru gadis itu. Rambut Camila yang awalnya panjang dan bergelombang, kini dipotong sebahu. Membuatnya terlihat manis.
"Loh, Pak Bara, kan? Kebetulan banget." suara itu membuat Bara yang sedang memilih kemeja menoleh ke sumber suara.
Ya elah. Kenapa mak lampir lagi. Bara membatin sembari memejamkan matanya dengan kesal.