bab 9

2152 Words
Arutala yang baru saja pulang dan masuk ke dalam rumah itu membanting pintu karena kesal. Ia kesal karena banyak hal, salah satunya adalah melihat ketidaktahuan Hita yang menyebabkan wanita itu menderita sendirian. Ia juga kesal karena ia belum bisa menceritakan semuanya apa yang ia tahu, karena takut dituduh berbohong demi kepentingannya sendiri. Yang paling membuatnya kesal, adalah kenyataan apa yang Yassa lakukan sekarang. Pria muda nan tampan itu tahu apa yang suami Hita lakukan hingga tak kunjung pulang berkat postingan seseorang yang cukup dekat dengannya. "Ya Tuhan, harus dengan apa aku bongkar semua sikap buruk suaminya itu! Dasar berengsek!“ Pria muda itu meletakkan helm secara serampangan dan lalu melepas jaket, kemudian membantingnya ke lantai. Ia berharap apa yang ia lakukan dapat mengurangi rasa sesak di dadanya. "Argh!! Aku marah, tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa untuk saat ini!" Siapa yang tidak kesal jika mengetahui orang yang kita cintai ternyata disakiti orang lain. Begitulah yang Arutala rasakan, hati dan dadanya terasa begitu sesak dan tangannya pun mengepal erat seolah ingin mendaratkan pukulan ke seseorang yang ia benci. "Andai kamu tahu seberapa berharganya dirimu, Mbak." Arutala kemudian memilih untuk masuk ke kamar mandi, membersihkan wajahnya agar merasa lebih segar. Sementara Hita masih tenggelam pada rasa gelisah yang semakin membuatnya ingin meneteskan air matanya. Wanita itu masih duduk di teras, menatap lantai di hadapannya dengan tatapan kosong. "Apa maksud kamu, Arutala? Mas Yassa lagi seneng-seneng sama orang lain? Apa dia punya wanita lain yang dia sembunyiin dari aku selama ini? Apa itu alasannya, kenapa sampai detik ini dia masih belum mau menyentuh aku?" Tak terasa, buliran bening mulai mengisi kelopak mata wanita yang bernama lengkap Senja Suraduhita. Wanita itu menunduk tatkala air matanya semakin tak tertahankan, berebut untuk keluar dan kini sudah membasahi pipinya. Sakit. Satu kata yang bisa ia pilih untuk mewakili perasaannya saat ini. Bagaimana tidak, sudah selarut itu dan sang suami tak kunjung pulang? Pesan pun tak ada, dan yang lebih menyesakkan adalah ucapan Arutala. Walau belum terbukti benar, kenyataannya hubungan dirinya dengan sang suami memang tak bisa disebut sebagai hubungan harmonis. "Sebenarnya apa yang kamu lalukan sekarang, Mas? Aku pikir, dengan aku bersabar dan bertahan, kamu akan melihatku suatu saat nanti dan hubungan kita akan selalu baik-baik saja. Tapi, kenapa bersabar dan bertahan bisa sesakit ini?" Ketika air matanya terjatuh semakin banyak, Hita memilih masuk ke dalam rumah. Ia tak tahu bagaimana nantinya ia menyembunyikan rasa malu jika Arutala sampai melihatnya. Yang jadi masalah, apa benar pemuda tampan itu tahu apa yang Yassa lakukan sekarang? Kalau memang benar, bukankah artinya pemuda itu sudah melihat kekosongan dan keretakan di kedirupan rumah tangga Hita? Hita menangis sejadinya, merasa sakit dan juga merasa malu. "Di mana mau aku taruh mukaku ini kalau ternyata Arutala tahu apa yang Mas Yassa lakukan sekarang? Kalau benar Mas Yassa sama wanita lain, apa Arutala akan meremehkan aku? Apa itu sebabnya dia selalu godain aku?" Ada banyak pertanyaan di benak Hita, dan semua pertanyaan itu malah semakin menenggelamkannya pada rasa gelisah dan rasa khawatir yang berlebihan. Malam semakin larut, dan Hita semakin menikmati setiap bulir bening yang membasahi pipinya. Arutala sempat keluar rumah lagi, memastikan kalau wanita yang ia sukai sudah masuk ke dalam rumah. "Malem ini dingin banget, Mbak. Untung kamu udah masuk, seenggaknya kamu nggak akan sakit karena terkena angin malem. Aku sayang sama kamu, dan aku nggak mau kamu tersakiti sedikit pun. Tapi ... aku sadar saat ini aku belum bisa ngelakuin apa-apa. Sabar, Mbak, tahan. Aku akan kumpulin semua bukti kelakuan buruk suami kamu, dan selama itu, perlahan aku akan buat kamu mulai menyadari kehadiranku." Suaranya lirih, tetapi terdengar merdu walau hanya telinganya sendiri yang mendengarnya. Semua itu ia ucapkan secara tulus, tatapan matanya pun penuh harap saat ini. Semoga saja, Tuhan menunjukkan jalan terbaik untuk Hita dan juga untuk Arutala. Semoga. 15 menit sudah berlalu dari waktu tengah malam, saat itulah suara mobil Yassa baru terdengar. Untung saja Hita sudah menghentikan tangisannya beberapa saat yang lalu, wanita itu bahkan sudah mencuci wajahnya berulang kali. Saat mendengar suara mobil sang suami, Hita menarik napas dalam-dalam berulang kali, berdeham beberapa kali dan lalu kemudian keluar dari kamar. Melihat sang suami masuk ke dalam rumah dengan langkah tegap, Hita merasa puas. Itu artinya sang suami tidak mabuk-mabukan, dan artinya apa pun yang laki-laki itu lakukan tadi adalah dengan sadar sesadar-sadarnya. Seperti biasa Hita mengecup punggung tangan pria yang tak lain adalah suaminya itu. "Kenapa baru pulang, Mas?" Mendapati pertanyaan sang istri, tak ada rasa bersalah atau rasa gugup. Pria itu terlihat santai, tangannya dimasukkannya ke dalam saku celana dan lalu berjalan pelan meninggalkan pintu utama rumah itu. "Aku ada lembur," jawabnya santai. "Kok tumben? Sampai jam segini, dan nggak kirim kabar ke aku. Aku bahkan udah telepon kamu berulang kali tadi." Hita mencoba berbicara seperti biasa, tetapi ada gemetar yang tak bisa ia kontrol di ujung kalimatnya. Ia ingin menangis lagi, saat ia tahu sang suami begitu acuh tak acuh padanya, padahal ia sudah menunggu pria itu sedari tadi. Ia bahkan tidak tahu seberapa lama ia menangis, dan seberapa banyak air mata yang sudah tumpah karena suaminya itu. "Aku keluar sama temen kerja yang sama-sama lembur, terus nggak sengaja ketemu temen lama yang sekarang udah pindah tugas. Makanya tadi ngobrolnya keasyikan dan malah nggak tahu kalau kamu telepon aku. Maaf, ya." Seperti biasa pria itu menatap mata sang istri dengan tenang, seolah ia memang mengatakan semuanya dengan jujur. Lalu apa maksud ucapan Arutala? Apa maksudnya adalah teman-teman Yassa? Teman kerja? Apakah teman kerja itu wanita? Hita ingin bertanya lebih jauh, tetapi sudah larut dan ia tak ingin sang suami marah karena ia takut dicap sebagai istri yang tak percaya ucapan suami. "Berarti kamu sudah makan?" tanya wanita itu dengan suara yang amat pelan. Yassa mengangguk tepat ketika ia sudah berada di depan kamarnya. "Aku udah makan, dan aku mau langsung tidur aja. Selamat malam." Pria itu menutup pintu kamarnya, rapat-rapat, lalu Hita tak lagi bisa melihat sosoknya. Entah apa yang sudah Yassa lakukan dan apa yang akan pria itu lakukan, Hita tak akan pernah tahu. "Aku harusnya sadar, sejak awal aku tahu kalau Mas Yassa terpaksa menikah sama aku. Bahkan selama 5 tahun kami belum pernah berbagi selimut. Apa yang sudah aku tangisi tadi? Harusnya aku sadar, di hatinya nggak pernah ada aku, nggak ada tempat untuk namaku, walau secuil saja." Matanya tampak nanar, lalu ia menatap ke atas, menelan ludah dan mengerjap beberapa kali demi menahan air mata yang berlomba ingin keluar itu. Tak ingin berlama-lama larut dalam rasa kecewa, Hita memilih pergi dari tempatnya berdiri itu yang tepat berada di depan kamar sang suami. Lalu ia pergi menuju ke meja makan, mengambil nasi dan lauk seperlunya. Jangan tanya apakah ia lapar karena di tengah malam seperti itu malah mengambil makanan, tentu saja jawabannya tidak. Ia hanya merasa sakit hati luar biasa karena perjuangannya tak terlihat sama sekali di mata sang suami. Ia sudah memasak, menunggu kepulangan suami dengan perasaan gelisah, dan bahkan meneteskan air mata yang tak terhitung jumlahnya. Jangankan mau makan makanan yang sudah dimasak sang istri, sekedar tanya apakah sang istri sudah makan saja tidak. Satu suap makanan masuk ke dalam mulut wanita cantik itu, dengan ragu ia mulai mengunyah, pelan saja. Matanya kembali tampak nanar, dan ketika ia susah payah menelan makanan yang tak benar-benar ia kunyah, air matanya malah tumpah ruah. Kembali Hita menangis, di tengah dinginnya malam yang sebenarnya mampu membuat banyak orang menggigil, nyatanya wanita itu tak peduli jika semua pori-pori tubuhnya merinding. Ia terlalu sibuk dengan rasa sakit yang begitu menyesakkan dadanya. Hita tak jadi makan, makanan yang ada di mulutnya bahkan ia lepeh dan kemudian ia menangis. Tangisan yang tertahan itu, tak bersuara, tetapi begitu terasa sakitnya. *** Pagi tiba, Hita menyiapkan makan pagi seperti biasa. Sejak ia memutuskan untuk memasak tadi, ia sudah bertekad akan bersikap seperti biasa. Ia tak akan tanya apa pun pada sang suami, juga tak akan menuntut perhatian yang memang tidak pernah ia dapatkan selama menjadi Nyonya Yassa. Yassa duduk di salah satu bangku di depan meja makan yang di atasnya sudah ada beberapa jenis makanan. Mulai dari sayur berkuah, tumis, gorengan dan tidak ketinggalan buah-buahan. "Mau aku buatin kopi? Atau s**u aja?" tanya Hita dengan lembut dan penuh perhatian, benar-benar seolah semalam tak terjadi apa pun. Kebetulan wanita itu memang belum menyajikan minuman untuk sang suami. "s**u aja." Yassa menjawab seperlunya. Hita lalu membuatkan s**u dan meletakkannya di depan sang suami. Saat keduanya sama-sama makan, saat itulah Yassa melihat wajah sang istri. Wajah yang biasanya cantik dan berseri, kini tampak seperti orang sakit, pucat dan bahkan di bawah matanya tampak menghitam. "Kamu sakit? Atau semalam kamu lembur nulis?" tanya Yassa yang sebenarnya membuat Hita terkejut. Wanita itu tak terbiasa mendapatkan pertanyaan seperti itu, seolah ia sedang diperhatikan. "Iya, aku nggak enak badan, Mas." Susah payah ia memasang wajah ceria seperti biasa, satu kalimat tanya dari sang suami malah membuatnya terenyuh dan ingin menangis. Wanita itu menunduk, merasa salah tingkah di depan suaminya sendiri. "Kalau sakit, kenapa harus masak segala? Aku bisa makan di kantor nanti, atau kita bisa beli aja. Jangan memaksa seperti itu, kalau aku nggak di rumah, bukannya kamu sendirian?" tanya Yassa yang lagi-lagi malah membuat Hita semakin ingin menangis. "Andai kamu tahu siapa yang udah buat aku begini, Mas. Ah, enggak, harusnya kamu tahu siapa yang udah buat aku begini!" seru Hita dalam hati. Hita mengangkat wajahnya dengan berani, walau matanya tampak nanar. "Aku enggak apa-apa, Mas. Nanti kan ada Mbak Mimi sama Kafka, mereka kan yang jadi teman aku selama ini." Entah itu kalimat yang ditujukan untuk menenangkan sang suami agar tak khawatir lagi, atau malah sindiran untuk pria itu. Namun, yang jelas, tak ada rasa bersalah sama sekali yang ditunjukkan oleh Yassa untuk sang istri. Yassa mengangguk. "Atau kamu mau mereka tinggal di sini aja? Biar kamu nggak kesepian juga kalau malem." Hita menatap sang suami dengan sorot mata tajam, tak berkedip. "Apa kamu akan lembur setiap hari? Atau kamu akan keluar dengan teman-temanmu setiap malam? Apa kamu berencana pulang larut malam terus setiap malam, Mas?" Wanita itu akhirnya memberanikan diri untuk bertanya dengan lugas dan lantang. Yassa sampai terkejut dibuatnya, pria itu membeku sesaat sebelum akhirnya menjawab pertanyaan sang istri. Ia tahu ada kekecewaan yang terselip dari pertanyaan barusan. "Bukan itu maksudku. Aku cuma takut kalau tiba-tiba aku ada jadwal dadakan dan aku harus lembur kayak semalem. Aku cuma nggak mau kamu kesepian." Suara pria itu terdengar sedikit gagap, mau tidak mau ia akhirnya mulai berpikir apakah sang istri mulai mencurigainya. "Bukankah aku sudah terbiasa kesepian kalau Mbak Mimi nggak ke sini?" Sekali lagi, ucapan Hita membuat Yassa merasa dipojokkan. "Maaf, kamu pasti kesepian selama ini. Nanti aku akan tanya Mbak Mimi apa dia bisa tinggal di sini. Kalau nggak bisa, aku akan cari ART lain yang bisa tinggal di sini." "Nggak perlu, Mas. Aku nggak masalah, kok. Aku cuma minta satu hal sama kamu, kalau seandainya kamu harus lembur lama dan pulang larut seperti tadi malam, aku mau kamu kasih kabar ke aku." Dengan lugas dan lantang, Hita mengutarakan keinginannya, menatap mata sang suami dengan lekat. Yassa pun tak mengalihkan pandangan dari sang istri yang tampak seperti orang yang berbeda itu. "Baiklah." "Biar aku tahu, aku harus makan malam duluan, atau nungguin kamu." Kembali Hita berbicara lugas. "Kamu nggak perlu nungguin aku, silakan makan malam duluan walau tanpa aku." "Mana bisa seperti itu, Mas? Aku istrimu, aku akan berusaha jadi istri yang baik. Aku akan nunggu selama kamu masih bisa ditunggu, jadi ... kabari aku kalau kamu harus lembur, sesibuk apa pun itu." Yassa mengangguk. "Baiklah, maaf untuk yang semalam." Hita menggeleng pelan, ia kemudian menurunkan pandangannya. "Maaf kalau aku menuntut kamu, soalnya semalam aku nungguin kamu dan mikir kalau kamu kenapa-napa." Wanita itu kembali teringat, malam tadi sang suami juga tak menanyakan alasan kenapa ia masih menyambut pria itu walau sudah larut malam. "Kamu nggak perlu minta maaf, aku tahu aku yang salah. Baiklah, mulai sekarang aku akan kasih kabar ke kamu kalau aku harus lembur dan pulang malem. Dan terima kasih, karena kamu udah khawatir dan perhatian sama aku." Yassa menatap sang istri penuh iba, tiba-tiba saja pria itu merasa bersalah dan ingin lari dari situasi yang menyudutkannya itu. Hita kembali mengangkat pandangannya. "Kita ini memang suami istri, Mas. Apa yang aku lakukan memang sudah menjadi tugas aku, istri-istri di luar sana juga melakukannya. Untuk apa kamu berterima kasih?" Wanita itu tampak sangat kecewa. "Karena aku tahu, aku belum bisa jadi suami yang baik untuk kamu. Aku juga tak melakukan tugasku sebagai suami sebagai mana mestinya. Tapi, kamu selalu memperlakukan aku layaknya suami yang baik di rumah ini." "Kalau kamu memang sadar akan hal itu, jangan malah berterima kasih. Tapi, cobalah kamu menjadi suami yang sebagai mana mestinya itu. Kamu nggak perlu terburu-buru, karena aku akan sabar menunggu." Kalimat yang Hita ucapkan barusan, bak mampu mengiris hati Yassa. Pria itu benar-benar merasa bersalah pada sang istri, apalagi jika ia mengingat perbuatannya selama ini, termasuk apa yang sudah ia lakukan tadi malam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD