bab 10

1347 Words
Yassa menatap lekat pada manik milik sang istri, sungguh terasa hingga ke dadanya, seolah tatapan mata itu mampu menyalurkan rasa sakit yang Hita rasakan. Pria itu lalu menarik napas dalam-dalam, ia merasa semakin bersalah dan serba salah jika mengingat satu rencana yang sudah ia susun selama ini. Rencana yang tak pernah terbayangkan oleh sang istri, rencana yang mungkin akan menghancurkan setiap keping harapan Hita. Untuk kabur dari situasi itu, Yassa menatap jam tangannya. "Udah siang. Aku harus berangkat sekarang." Tak ada jawaban dari Hita, wanita itu sudah mengalihkan pandangannya dan terlihat jelas sekali raut wajahnya kalau ia sangat kecewa pada sang suami. Yassa kembali menarik napas panjang, lalu menatap sang istri dengan sorot mata yang mengisyaratkan rasa iba. "Nanti aku akan pulang cepat, dan kita bisa membahas ini lagi nanti. Jadi, jangan hanya kamu simpan sendiri semua perasaan kamu itu. Nanti aku akan dengerin semuanya, dan kita cari jalan keluarnya bersama-sama. Kamu udah jadi istriku cukup lama, 5 tahun, dan aku yakin kamu tahu, aku menghargai dirimu sebagai istriku lebih dari cukup. Walau kita menikah karena wasiat orang tua kita." Hita masih saja tak menatap sang suami, hatinya bak teriris belati tajam karena ucapan sang suami. "Apa? Menghargai aku sebagai istri lebih dari cukup? Maksudnya dia selalu tidur di rumah yang sama denganku walau kami nggak seranjang? Juga memberiku jatah bulanan tanpa pernah memberiku perhatian layaknya seorang suami? Jalan keluar apa yang aku harapkan? Perceraian?!" tanya Hita dalam hati, ia hanya memendam semua tanya itu dalam hatinya saja. Yassa kemudian pergi meninggalkan sang istri yang masih membisu di meja makan. Pria itu berulang kali menghela napas panjang karena merasa ada sesuatu yang mencekik lehernya. Di satu sisi, ia tak ingin melukai perasaan wanita yang sudah menjadi istrinya selama 5 tahun ini. Namun, di sisi lain, ia juga memiliki ambisi yang ia rahasiakan dengan baik selama ini. Selepas kepergian Yassa, Hita memandangi meja makan di depannya dengan tatapan kosong. Ia benar-benar merasa kecewa, dan juga sakit, tetapi ia tak tahu harus berbuat apa nantinya. "Bagaimana kalau Mas Yassa benar punya wanita lain? Bagaimana kalau dia minta perceraian dari aku? Apa aku siap untuk menyandang status janda di usiaku ini? Janda kembang, jangankan punya anak, mahkotaku saja masih utuh terjaga baik walau aku sudah melepas status lajang 5 tahun yang lalu." Wanita itu menunduk dan menempelkan keningnya di atas meja. "Kenapa aku harus menjalani biduk rumah tangga macem ini? Aku bukan tipe wanita yang suka mempermainkan perasaan orang, aku juga selalu memiliki komitmen walau hubungan kami didasari karena perjodohan. Tapi kalau benar Mas Yassa selingkuh di belakangku, aku nggak tahu lagi harus gimana." Wanita itu tak tahu, jika dugaannya benar, apakah ia akan bertahan seperti yang ia lakukan selama ini, demi mewujudkan keinginan sang ayah. Atau malah pergi, demi memperjuangkan perasaannya sendiri. Wanita itu merasa ingin menangis, tetapi seolah air matanya sudah habis, lalu ia memilih untuk memejamkan matanya sejenak sebelum memutuskan untuk merapikan meja makan. Bukan untuk tidur, hanya saja matanya terlalu panas dan lelah untuk terus terbuka. Di saat Hita sedang mengalami kesedihan yang mendalam, Arutala seolah memiliki telepati dengan wanita yang ia cintai itu. Sejak bangun tidur tadi, ia merasa letih, lesu dan malas untuk memulai aktivitasnya. Bahkan, saat ini ia hanya duduk manis di atas ranjang, masih lengkap dengan selimut yang melekat di kakinya. Tangannya memegang ponsel yang awalnya akan ia gunakan untuk melihat sosial media, mengecek apakah ada pesan penting atau tidak. Namun, pada akhirnya ia malah sibuk melihat akun sosial media milik wanita yang cukup dekat dengannya. Di layar ponsel itu, Arutala dapat melihat beberapa postingan yang menunjukkan wajah sang pemilik akun yang mengunggah beberapa momen penting dalam hidupnya. Bersama dengan orang spesial tentunya, sayangnya orang tersebut adalah orang yang begitu Arutala benci saat ini. "Aku nggak tahu apa yang kamu pikirkan saat ini, Yassa. Yang jelas, aku akan buat perhitungan karena kamu sudah membuat wanita yang aku cintai menunggumu sendirian di tengah dinginnya malam." Pria muda itu lalu beranjak dari ranjangnya dan tanpa menunggu lama ia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Di jalan, Yassa banyak memikirkan sang istri. Beberapa kali ia tak fokus menyetir dan bahkan sempat melamun di beberapa titik lampu merah. Pikirannya terbagi, antara istri, kantor dan juga rahasia yang ia simpan selama ini. "Akan lebih mudah melakukan semuanya, kalau saja kamu nggak sebaik ini, Hita. Aku nggak pantas mendapatkan semua kebaikan kamu selama ini." Sebuah panggilan masuk ke ponsel pria yang berjas hitam itu. Muncul nama kontak yang mampu membuatnya tersenyum lebar. Tanpa ragu, ia mengangkat dan menyapa dengan suara lembutnya. "Pagi ...." "Pagi juga, Pak Yassa. Apa Bapak sudah berangkat bekerja? Atau masih di rumah?" tanya sang penelepon yang ternyata adalah seorang wanita. "Aku udah di berangkat, tapi masih di jalan ini. Kenapa?“ "Oh, pantas saja suaranya terdengar berbeda. Ceria betul kayaknya, apa karena semalam? Kamu masih belum bisa melupakan apa yang kita lakukan semalam? Atau kamu mau kita lakuin lagi? Kalau kamu mau, malam ini aku senggang." Wanita itu berbicara dengan begitu santai, tak lagi seperti sebelumnya yang terdengar formal. Yassa tak langsung menjawab, ia memainkan bibirnya sesaat. "Ngomongin masalah semalem, aku mau ngomong penting sama kamu. Kalau ada waktu, bisa kita ketemu siang nanti?" "Ngomong? Sama aku? Sekarang juga lagi ngomong, kan? Ngomong aja, untuk apa harus nanti siang." Suara wanita itu terdengar berbeda, nampak sedikit kesal karena ucapannya tak digubris dan malah beralih topik pembicaraan. "Ini penting, Hita mulai curiga. Dan aku nggak mau buat dia menderita lebih jauh lagi. Makanya, aku mau ngomong sama kamu. Nanti siang kita ketemu, ya?" "Aku nggak bisa, aku ada janji. Kita ketemu sore aja, atau malem." "Baiklah, aku hubungin lagi nanti." Pembicaraan di telepon itu berakhir begitu saja, padahal keduanya tampak senang saat di awal panggilan. Sayangnya, ketika nama Hita sudah disebut, suasana menjadi berubah seketika. *** Setelah mandi, Arutala makan pagi seadanya. Ia minum s**u dingin yang ia simpan di kulkas tanpa menghangatkannya, dan juga makan selembar roti yang ia olesi dengan selai srikaya. Lalu, ia keluar rumah, sengaja ingin menemui Hita dengan semangat yang ragu-ragu. Kenapa ragu-ragu? Ya, karena ia ingin sang pujaan hati tahu kebenaran yang ada, tetapi ia juga merasa takut jika Hita malah menuduhnya berkata bohong dan lalu menjauhinya. Namun, walau ia ragu, kakinya terus melangkah menuju ke rumah yang ada di samping rumahnya itu. Mengetuk pintu, Arutala menunggu pintu itu terbuka dengan cemas. "Kira-kira aku boleh masuk nggak, ya?" tanyanya dalam hati. Saat itu, Hita yang baru saja membersihkan meja makan, langsung menuju ke pintu utama dan mengecek siapa yang berkunjung sepagi itu. Ketika mengintip dari jendela, Hita mengernyit penuh tanda tanya saat tahu Arutala lah yang datang. Walau begitu, ia tetap membuka pintu itu untuknya. Hita hanya membuka pintu itu setengahnya saja, lalu berdiri di sana sebagai peringatan kalau pria di hadapannya tak boleh masuk ke rumahnya tanpa seizinnya. "Ada apa sepagi ini kamu sudah bertamu?" tanya wanita itu dengan ketus, seperti biasa. Arutala menatap wajah lesu dan mata sembap Hita dengan tatapan sayu. "Semalam kamu nggak tidur, Mbak?" Hita kembali mengernyit. "Pagi-pagi begini, kamu dateng cuma mau ikut campur urusan orang lain? Kamu kurang kerjaan? Kenapa selalu ganggu hidup aku? Nggak bisa apa kamu biarin aku hidup dengan tenang?" Wanita itu melampiaskan kekesalannya pada Arutala, padahal semua sumber kekesalannya adalah dari sang suami. Bukannya marah, Arutala malah merasa lega karena wanita di depannya itu meluapkan emosi padanya. "Marah lah, aku akan dengan senang hati menjadi tempat pelampiasan amarahmu, Mbak." Istri Yassa itu memicingkan matanya. "Kamu bener-bener gila!" Tangannya buru-buru mendorong pintu, berusaha menutupnya. Namun, Arutala secara refleks menahannya. "Jangan ditutup dulu, aku mau ngomong hal penting ke kamu." Ucapan pria muda itu berhasil menghentikan upaya Hita. "Apa yang mau kamu katakan? Aku sibuk, aku nggak ada waktu buat ngeladenin kegilaan kamu." "Ini tentang suami kamu." Hita membeku seketika, menatap Arutala tanpa berkedip. Jika saja ia bisa menghentikan napasnya, ia tak akan bernapas. "Apa yang mau kamu bicarain? Aku nggak akan maafin kamu kalau kamu cuma main-main aja." Wanita itu mengancam, masih dengan mata yang tak berkedip. Ia mendapatkan firasat buruk, detak jantungnya berpacu lebih cepat, kaki dan tangannya pun gemetar. Ia penasaran, tetapi juga takut menerima kenyataan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD