Saat siang menyapa, Hita keluar dari kamarnya. Setelah mandi tadi, ia masih saja mengurung diri di kamar. Ia tak menulis seperti yang biasa ia lakukan, tetapi melakukan pekerjaan lain yang menurutnya bisa membantunya mengalihkan pikirannya dari satu nama-Arutala.
Hita merapikan isi lemari, mengelap meja dan perabotan lainnya yang ada di dalam kamar, dan bahkan mengganti gorden yang sebenarnya belum waktunya diganti. Semua pekerjaan itu sebenarnya bisa dilakukan Mimi, hanya saja Hita sengaja ingin melakukannya agar ia lupa tentang perlakuan dan sikap Arutala yang begitu mengusik hidupnya.
Mimi tahu apa yang dilakukan sang majikan, ia bahkan sempat menawarkan diri untuk melakukannya, tetapi Hita lah yang menolak tawaran itu.
"Mau makan, Mbak?“ tanya Mimi yang saat itu sedang mengelap piring untuk ditata kembali ke rak.
Hita mengangguk lemah. " Iya, Mbak." Wanita itu masih terlihat lesu, tetapi ia memaksa tersenyum pada sang asisten rumah tangga demi terlihat baik-baik saja.
"Mau saya buatkan minuman, Mbak?" tanya Mimi, wanita itu menatap Hita penuh ragu. Suaranya pun terdengar sedikit lebih lirih dari biasanya. Sang anak pun seolah tahu kondisi rumah, hanya menatap sang ibu dan pemilik rumah dengan bibir yang tertutup rapat.
Hita menatap Kafka secara tidak sengaja, lalu ia merasa bersalah setelahnya. Ia melihat anak yang biasanya nampak ceria dan asyik bermain, kini terlihat murung dan diam karenanya. Wanita itu kemudian tersenyum getir, menatap Kafka lekat dan lalu mengembuskan napas panjang.
"Buatin jus tomat aja, Mbak. Sekalian buatin juga buat Kafka sama Mbak Mimi kalau mau." Hita menatap Mimi cukup lama, tersadar kalau ia terlalu lama larut dalam kegelisahan yang ia nikmati sendirian. Ia tersenyum, walau terlihat sekali kalau itu terpaksa.
"Baiklah, saya akan buat yang seger, biar Mbak Hita semangat nanti nulisnya." Mimi dengan penuh semangat segera menuju ke lemari pendingin, mencari bahan-bahan yang ia butuhkan untuk membuat jus tomat. Ia tak peduli apakah Hita tersenyum karena terpaksa atau tidak, setidaknya ia sudah melihat ada warna baru di wajah wanita cantik itu.
Sembari menunggu Mimi membuat jus tomat, Hita menikmati makan siangnya bersama Kafka. Wanita itu bahkan menyuapi anak asisten rumah tangganya itu dengan lahap.
Kafka sendiri senang, karena suasana rumah sudah kembali seperti biasa, tak lagi sunyi seperti tadi.
***
Sore tiba, waktunya Mimi pamit pulang. Hita memeluk Kafka sesaat sebelum membiarkan anak kecil itu pergi dari hadapannya, anak kecil yang berhasil mengalihkan perhatiannya dari seorang Arutala.
Saat Mimi keluar rumah, ia menatap rumah yang ada di sebelah rumah sang majikan, yang tak lain adalah rumah Arutala. Tepat saja, pria muda itu sedang membersihkan pekarangan depan rumahnya. Keduanya saling tatap untuk sesaat, sebelum akhirnya Mimi mengabaikan pria muda itu.
Arutala cukup terkejut melihat sikap Mimi, apalagi ia berharap wanita itu akan membantunya suatu saat nanti. Yang ada, kini ibu dari Kafka itu malah mengabaikannya.
"Mau pulang, Mbak Mimi?" tanya Arutala yang tak peduli jika Mimi berusaha mengabaikannya.
Mimi sendiri terus berjalan menuju ke gerbang, dengan terus menggandeng tangan Kafka, tanpa menjawab atau menoleh ke Arutala. Di hari pertama ia kenal dengan pria muda itu, ia sangat senang dan antusias, tetapi di hari kedua, kini ia begitu membencinya.
"Hai ...." Arutala melambaikan tangan, tersenyum manis melihat Kafka yang melihat dirinya dengan diam.
Kafka melihat sang ibu kemudian, merasa takut ingin membalas sapaan pria yang tidak ia kenal.
"Itu anaknya, Mbak?" tanya Arutala yang sejak beberapa saat lalu sudah menghentikan aktivitasnya dan kali ini malah berdiri dan bersandar di pagar pembatas rumah, menatap Mimi dengan santai.
Tak mendapatkan jawaban, Arutala tak berhenti berusaha. "Ganteng banget, namanya siapa?" tanya pria itu lagi.
Jika sebelumnya Mimi berhasil mengabaikan pertanyaan Arutala, kali ini wanita itu tak bisa lagi menahan rasa kesalnya. Ia menghentikan langkahnya tepat di depan gerbang, lalu menoleh pada pria yang sedari tadi menatapnya. "Mas Arutala, saya mohon sama Mas, jangan ganggu Mbah Hita lagi. Dan jangan pula ganggu saya dan anak saya."
Wanita itu terlihat begitu kesal, tetapi di dalam lubuk hatinya, ia merasa tak enak hati, juga penasaran, apakah benar semua yang ia pikirkan tentang pria itu. Melihat penampilan yang di atas rata-rata itu, seharusnya Arutala tak perlu mengusik wanita yang sudah menjadi istri orang.
Arutala menatap Mimi dengan perasaan kecewa, ia sadar wanita itu sudah memandangnya buruk. Namun, ia tak bisa berbuat banyak, karena pada kenyataannya memang tak seharusnya ia menggoda wanita yang sudah bersuami. Pria itu tak menjawab, hanya menghela napas dengan teratur dan menatap ibu dan anak di depannya itu secara bergantian.
"Mas pasti tahu kalau Mbak Hita sudah punya suami, jadi jangan rusak rumah tangga orang dengan cara apa pun. Kalau pun Mas suka sama Mbak Hita, pendam sendiri perasaan itu dan jangan memaksa Mbak Hita punya rasa yang sama dengan Mas!" seru wanita itu yang kemudian berlalu pergi begitu saja, meninggalkan Arutala dengan mimik wajah yang sama sekali tak enak dipandang.
Arutala masih diam, ia tak ingin mengucapkan satu kata pun karena tahu apa pun yang ia ucapkan akan sia-sia. "Lain kali, aku akan ceritakan semuanya di waktu yang tepat. Aku harap Mbak Mimi mau membantu aku, juga aku mau Hita memilih jalan yang tepat, yaitu memilih berpisah dari suaminya." Pria muda itu berbicara sendiri, suaranya lirih, sedangkan matanya masih tertuju pada wanita yang pergi meninggalkannya sembari menggandeng tangan sang anak.
***
Saat makan malam tiba, Hita menunggu sang suami dengan sabar, seperti biasa. Ya, sudah waktunya makan malam dan Yassa masih belum menginjakkan kakinya di rumah. Tak ada rasa curiga, atau khawatir yang berlebihan, karena hal itu sudah biasa terjadi.
Walaupun merasa lapar, Hita memilih menahannya dan hanya minum saja. Walaupun tak ada jaminan nanti sang suami akan makan malam dengannya, ia tetap saja menanti kepulangan sang suami dengan sabar. Sembari menunggu, ia memilih menulis karena seharian tadi pikirannya terganggu oleh tetangganya-Arutala. Ia perlu lembur malam ini demi mengganti waktunya yang terbuang seharian tadi, yaitu demi menjaga kepuasan para pengikutnya yang selalu menunggu setiap bab yang ia tulis di novelnya.
Waktu terus berjalan, saat malam sudah semakin merangkak, sang suami masih jua tak menunjukkan batang hidungnya. Hita sudah selesai menulis, sejak tadi ia tak memegang ponselnya demi menjaga konsentrasinya agar fokus menyelesaikan pekerjaannya. Namun, kini ia mengambil benda pipih itu dan kemudian mengeceknya. Tak ada notifikasi pesan atau panggilan tak terjawab dari sang suami. Yang ada malah notifikasi pesan dari teman-temannya.
Tak ada satu pun pesan yang Hita buka atau baca, ia terlalu malas saat ini. Juga, ia mulai khawatir pada sang suami. Sudah jam 10 malam, dan Yassa sama sekali tak memberi kabar.
Hita berinisiatif menghubungi sang suami, mencoba mengirim pesan terlebih dahulu.
[Kok belum pulang, Mas?]
Setelah itu, ia menunggu balasan dengan menatap ke luar jendela. Tak puas karena hanya ada di dalam kamar, Hita mencoba keluar rumah dan lalu duduk di bangku yang ada di teras. Saat itu, matanya menatap jalan di depan rumahnya dengan penuh harap. Semoga saja sang suami pulang dengan selamat.
Hingga beberapa menit berlalu, tak ada balasan dari sang suami. Saat itu, Hita semakin khawatir dan lalu menoleh ke kanan dan ke kiri. Tepat saat ia melihat rumah Arutala, ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Ia ingin sekali hidupnya seperti sebelumnya, saat ia dan pria muda itu belum menjadi tetangga. Ia ingin merasa damai lagi hidupnya, tak ingin resah akan sesuatu hal yang tak ia lakukan, walau sebenarnya hidupnya selalu hampa dan sepi karena ia sendirian di dalam rumah.
Tak ingin berlama-lama memikirkan Arutala lagi, Hita memalingkan wajahnya dari rumah pria itu dan lalu menatap layar ponselnya lagi.
"Mas Yassa ke mana, ya? Aku telepon aja, deh, biar tahu dia di mana. Kalau lembur, masak sampai selarut ini."
Hita kemudian mencoba menghubungi nomor ponsel sang suami. Terdengar nada dering yang artinya nomor Yassa aktif. Sayangnya, panggilan dari wanita cantik itu tak kunjung diangkat.
"Ke mana sih kamu, Mas?"
Hita semakin khawatir.
Walaupun hubungannya dengan sang suami terasa hambar, tak ada cinta di sana, tetapi ia merasa takut kehilangan sosok suaminya. Sudah 5 tahun berlalu dan mereka masih belum berhubungan badan layaknya suami istri pada umumnya. Namun, sikap Yassa selama ini selalu baik padanya, di luar hubungan itu. Di mana Yassa bersikap ramah dan berbicara dengan tutur yang lembut pada istrinya, juga selalu memenuhi kebutuhan rumah dan memberi uang saku yang tidak sedikit pada sang istri.
Ya, hanya materi yang Hita dapatkan, tetapi kebutuhan lain tidak terpenuhi.
Hita tak putus asa, ia terus menghubungi sang suami walau tak kunjung diangkat. Waktu terus berlalu, rasa khawatir dan gelisah semakin menggunung. Detik berganti detik, menit berganti menit, dan kini waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Hita tak putus semangat, ia terus menelepon sang suami. Lalu terdengar suara sepeda motor, ternyata itu milik Arutala. Pemuda itu baru saja pulang. "Ternyata dia nggak di rumah dari tadi. Ke mana aja?" tanya Hita lirih, ia sesekali melirik Arutala karena takut pria itu menyadari kalau dirinya ada di sana.
Namun, pemuda yang baru saja turun dari sepeda motor itu sudah pasti melihat rumah Hita dan akhirnya menyadari ada sesosok wanita cantik duduk di teras. Helm masih menempel di kepalanya, tetapi Arutala sudah berjalan mendekati pagar. "Malem-malem begini kenapa duduk di situ, Mbak?" tanyanya yang merasa khawatir.
Itu sudah larut malam, dan Hita sendirian di teras.
"Bukan urusan kamu!" seru Hita. Sebenarnya ia tak ingin menjawab pertanyaan Arutala, tetapi ia tak ingin pria itu masih di sana. Ia ingin tetangganya itu segera pergi, makanya ia langsung menjawab dengan jawaban yang super ketus itu.
Arutala mengulum lidah. "Apa kamu nunggu suami kamu? Dia belum pulang?"
Hita terkejut mendengar pertanyaan Arutala, ia takut dan malu ketika mendengarnya. "Aku bilang, bukan urusan kamu! Udah sana masuk!"
Sikap ketus Hita terus saja ia tunjukkan, tetapi tak ada rasa benci di hati Arutala. Pria itu malah merasa kasihan. "Kalau memang suami kamu belum pulang, nggak usah ditungguin. Mending Mbak tidur aja, percuma Mbak nungguin orang yang sibuk seneng-seneng sama orang lain."
Arutala memasang wajah serius, Hita begitu terkejut melihat ekspresi wajah itu, serta ucapan pria itu yang begitu menggoyahkan hatinya. "Apa maksud kamu?!"
Arutala mundur beberapa langkah, tak lagi berdiri di samping pagar pembatas. "Kalau sudah waktunya, Mbak akan tahu semuanya." Pria itu pergi begitu saja, meninggalkan Hita yang malah semakin gelisah tak karuan.
Apa maksud ucapan Arutala barusan?
Bersenang-senang dengan orang lain?
Siapa?
Apa benar?