Panik!
Demi mendengar kalimat pamungkas Ririn tadi, Alvin jadi panik.
"Ya nggak sampai gitu juga Rin. Maunya aku, kamu bantu ngomong juga sama mama, mungkin kalo kamu yang ngomong mama jadi nggak bahas ini terus."
Tampak Ririn menghela nafas pendek karena sulit menahan rasa kesalnya, jelas diiringi juga wajah tak suka dengan permintaan Alvin barusan. Untung saja mereka makan di dalam ruang privat, jika tidak sudah pasti ada saja paparazzi dadakan yang akan merekam ekspresi Ririn dan besok sudah jadi tayangan gosip lambe - lambe di Media sosial.
"Ini tuh sudah sampai level pembicaraan orang tua, mama kamu sudah ngomong juga sama mamaku soal ini. Mama sudah cerita dan kami berdiskusi sampai akhirnya diambil keputusan kalau aku nggak bisa mengikuti maunya mama kamu soal pemutusan kontrak dan percepatan pernikahan kita, ini tuh sudah final dan kata mama, mama kamu sudah maklum, ya udah dong ya... Tapi kok sekarang begini lagi? Lagian nih, kita juga butuh persiapan untuk nikah. Memang nggak sulit untuk keluarga aku mengadakan pesta kilat seperti aa' atau mas Kana gitu, tapi kan mereka itu nggak ada kontrak apapun, nggak ada kewajiban apapun, beda sama kita."
Ririn menjeda sebentar, sepertinya dia mencoba menahan emosinya. Makanan yang ada di hadapannya pun sudah tidak menarik lagi di matanya.
"Iya aku tahu soal itu, mama juga tahu."
Alvin salah, disaat genting begini selalu saja dia menyebut mamanya, padahal itu bahaya, khawatirnya Ririn malah jadi anti pati sama calon mertuanya itu.
"Aku tuh heran banget ya, sudah tahu sudah ngerti tapi kok di ungkit lagi sih?"
"Bukan gitu juga Rin, mungkin ada alasan mama yang nggak enak kalo diomongin ke mama kamu."
"Memangnya soal apa?"
"Ini mungkin ya, mungkin karena aku anak paling tua, laki - laki satu - satunya dan umur juga sudah cukup matang , mama ingin aku cepat menikah sama kamu, mungkin juga mama mau punya cucu Rin. Aku pikir mama malu kasih alasan itu ke mama kamu yang cucunya sudah banyak."
"Agak - agak nggak masuk akal sih ya.." ucap Ririn, wajahnya terlihat sinis.
"Ya aku bilang kan mungkin. Aku juga nggak tahu kenapanya, mama nggak bilang ... nanti aku tanya deh."
"Aku tetap nggak bisa dan yang pasti nggak mau. Kalau kita mau tetap melanjutkan rencana kita ini, berarti bulan depan kita lamaran sekaligus tunangan, tahun depan baru kita nikah. Aku nggak mau semua rencana yang sudah matang kita rencanakan diubah seenaknya begini, sorry aku nggak bisa." Suara Ririn sangat tegas.
Kini giliran Alvin yang menghela nafas pendek, untung tidak kedengaran sama Ririn, bisa ngamuk dia.
"Ya udah, nanti aku yang ngomong sama mama," ucap Alvin mengalah sambil memegang tangan Ririn yang duduk di depannya.
"Harusnya yang kayak gini kamu nggak usah sampaikan ke aku, kamu selesaikan aja sendiri karena kita sudah punya kesepakatan dan banyak syarat dan ketentuan berlaku yang harus kita hadapi, masa kamu nggak khawatir sih sama kontrak kamu sendiri? Berapa banyak yang harus kamu keluarkan untuk uang kontrak itu dengan denda-dendanya? Belum lagi nama baik dan belum tentu juga kamu akan dikontrak lagi oleh perusahaan-perusahaan sejenis itu untuk jadiin kamu brand Ambassador mereka kalau kamu sendiri nggak bisa menjalankan kontrak dengan baik, apa nggak kepikiran sama mama kamu begitu ya? Kalo aku sih kepikiran, bisa saja Papa sama Mamaku mengcover semua biaya untuk pengembalian uang kontrak dan dendanya tapi aku nggak mau, Ini masalah tanggung jawab bukan melulu soal uang."
Ririn sudah cosplay seperti orang-orang bijak lainnya yang sedang menasehati Alvin soal ini, padahal Alvin lebih dewasa dan harusnya juga lebih paham. Mungkin karena yang dihadapinya ini mamanya sendiri jadi dia bingung.
"Iya ... iya nanti aku bicara sama Mama, tadinya aku mau berdiskusi sama kamu, kalo bisa kamu juga bantu ngomong sama Mama supaya lebih mengerti, tapi kayaknya kamu sudah nggak bisa diajak berdiskusi soal ini."
"Sekali lagi aku bilang, aku nggak mau. Kamu jelaskan sendiri sama orang tua kamu kalau kita tidak bisa menikah saat ini dan harus menunggu tahun depan. Itu pun kalau ini masih mau dilanjutkan."
Alvin terbelalak kaget, lagi - lagi Ririn berucap seperti itu.
"Nggak ada yang berubah Rin, aku pastikan semua seperti rencana kita."
"Ya bagus kalau gitu, atau kamu kepikiran nggak sih kalo mama kamu takut kalo adik kamu mau menikah duluan? Bukannya dia juga sudah punya pacar yang serius ya?"
Alvin mengangguk bukan mengiyakan, tapi seperti mendapat pencerahan dari ucapan Ririn.
"Bisa juga, kayaknya Resti sudah ada niatan mau menikah," tebak Alvin menyebut nama adiknya.
"Ya sudah biarin aja kalau dia mau nikah duluan, kamu nggak masalah kan?"
"Nggak tahu juga, tapi feeling ku bilang Mama yang nggak mau, seperti yang aku bilang tadi, mungkin karena aku anak yang paling tua, maunya aku yang duluan dan sudah punya calon juga, kalau aku jomblo mungkin lain lagi masalahnya, pasti Resti tetap akan duluan."
"Trus kalo sekarang kamu sudah punya calon dan menolak menikah tahun ini, apa setelah ini kamu akan dicarikan calon lain yang mau segera menikah gitu?"
"Ya aku juga nggak mau gitu Rin," jawab Alvin cepat.
"Boleh nggak setelah ini kita nggak usah bahas lagi soal percepatan ini? Case closed ya. Sekarang aku laper walaupun rasanya makanan ini udah nggak menarik lagi kelihatannya," ucap Ririn sedikit jutek dan membuat Alvin jadi tidak enak hati.
Beberapa jam kemudian ...
Alvin pulang ke rumahnya bintaro dengan perasaan galau. Memang salahnya mengungkit hal ini dengan Ririn, dia sebenarnya sedikit banyak sudah mulai paham karakter Ririn karena mereka sudah banyak melalui hari bersama, Alvin belum pernah membuat Ririn terlihat begitu kesalnya seperti tadi, bukan berarti mereka tidak pernah ribut atau berantem tapi paling jauh temanya soal cemburu atau janji yang terlambat, baru kali ini mereka membahas soal keluarga.
Sudah jam sepuluh malam Alvin memutuskan untuk langsung mandi saja dia sudah berkegiatan dari tadi pagi, baginya mandi selain membersihkan diri juga bisa mendinginkan kepala.
Selesai mandi Alvin melihat ada panggilan tidak terjawab yang tidak didengarnya karena memang teleponnya dalam mode silent sejak dia makan malam tadi. Ternyata itu panggilan dari mamanya, Alvin pun memanggil panggilan kembali.
"Halo mas Alvin."
"Ya ma, kok Mama belum tidur, ini sudah mau setengah sebelas lho?" tanya Alvin.
"Ya gimana bisa tidur, mama kan nungguin kamu cerita, sudah ngomong sama mbak Ririn, mas?"
"Sudah," jawab Alvin pelan. Tadinya Alvin menelepon sambil berdiri, kini duduk dipinggir tempat tidurnya.
"Terus?"
"Iya dia tetap maunya seperti rencana semula ma, Ririn kekeuh mama sudah oke waktu bahas ini sama mamanya, jadi dia heran kenapa ini harus kembali dengan hal itu -itu lagi."
"Ini kan bukan urusan yang saklek tho Mas ... ya mbok ikhlas majuin dikit gitu lho , maju enam bulan atau lima bulan kan nggak apa - apa, tunangannya nggak jadi tapi kita mundur enam bulan ke belakang, sekalian nikah ... kan nggak perlu dua kali repot, kamu bilang gitu nggak sama mbak Ririn?"
Mamanya Alvin ini tidak tahu betapa senangnya keluarga Pratomo dengan kerepotan pesta lamaran, pernikahan ataupun pesta - pesta yang lain, untung saja masalah kerepotan ini tidak disebutkan ke Ririn, bisa ngereog dia.
"Intinya Ririn nggak mau ada perubahan lagi Ma."
"Tapi kamu nyampeinnya bagaimana, bilang nggak kalo mama minta majukan enam bulan?"
"Aku nggak sempat ngomong gitu dia sudah menentang duluan."
"Yo wis, biar Mama aja yang ngomong nanti."
"Eh nggak, jangan ma, please ... kalo Ririn sudah ngambeg, bakal bubar jalan semuanya. Mama mau aku nggak jadi nikah sama Ririn?"
Alvin benar-benar khawatir dengan pergerakan mamanya yang akan menghubungi Ririn, sulit untuk Alvin bayangkan bagaimana nanti, dia tidak yakin semuanya akan baik-baik saja.
"Ckkk kamu tuh, ngomong aja nggak bisa, giliran mama mau ngomong kamu larang!" suara mamanya terdengar kesal.
"Kenapa sih nggak jalanin rencana yang sudah aku buat sama Ririn kemarin, Ma? Tetap lamaran dan tunangan bulan depan, kan maksudnya setelah itu kita bisa sambil menyiapkan untuk pestanya, bukannya itu makan waktu juga? Memangnya Mama ada rencana apa sampai nyuruh aku buru-buru untuk nikah, apa karena Resti mau menikah?" tanya Alvin. Akhirnya yang dia bahas sama Ririn tadi dia tanyakan juga.
"Banyak yang Mama pikirkan dan kalo mas Alvin sudah menikah dengan mbak Ririn, itu akan membuat Mama lega."
"Lega kenapa ? Sama aja kok bulan depan atau tahun depan, aku kan akan nikah juga."
"Setidaknya kalo anak paling tua dan laki - laki satu - satunya sudah menikah, masalah selanjutnya entar mau Resti, Tami atau Esih yang mau nikah, ya terserah."
Akhirnya dugaan Alvin yang pertama malah mendekati kebenaran alasan mamanya memaksa untuk menikah lebih cepat.
"Tapi nggak bisa Ma, aku nggak bisa maksa Ririn."
Terdengar decakan mamanya.
"Mama nggak ngerti lagi kalo nanti semua nggak sesuai harapan mas."
"Maksud mama?"
"Yo wes lah, Mama cuma bisa berdoa semua akan baik - baik aja sampai waktunya."
"Aamiin," sahut Alvin, tapi tetap memikirkan apa maksud ucapan mamanya tadi.
Sambungan telepon itu terputus, pikiran Alvin bukannya lega, malah semakin suntuk. Benar saja kata teman - temannya, belum apa - apa acara pernikahan sudah bikin pusing, apalagi sudah mendekati waktunya. Padahal ini baru mau memulai proses lamaran dan tunangan saja sudah jadi masalah antara calon istri dan mamanya, yang Alvin tahu selama ini hubungan mereka baik - baik saja, mereka biasa berkomunikasi via telepon. bahkan kalau mamanya sedang ke jakarta, pasti mereka sempatkan untuk pergi bersama. Sekarang malah seperti dua kubu yang sedang berseberangan.
***
Ririn tidak dalam keadaan galau cuman dia sedang kesal karena mama Alvin yang menurutnya terlalu banyak intervensi hubungan mereka. Kalau saja pembicaraan itu cukup dengan mamanya saja dan sudah selesai, jangan ditambah - tambahi atau diutak-atik lagi dengan merongrong Alvin untuk menyampaikan kepadanya soal percepatan pernikahan mereka, mungkin Ririn tidak akan sekesal ini.
Pulang dengan wajah yang tidak ceria menjadi pertanyaan mama Priska yang sedang di ruang tengah bersama Pakde Dimas dan budhe Wendy yang sedang bertamu, ternyata mereka mengantarkan eyang Ika yang akan menginap di rumah mereka.
"Sama siapa dek?" tanya mama Priska
"Sama Alvin," jawab Ririn menyalami pakde dan budhe lalu mencium pipi mamanya.
"Mana Alvin nya?"
"Sudah aku suruh pulang."
"Lho kok nggak turun dulu?"
"Udah biarin aja deh ma, aku lagi males," jawab Ririn dengan wajah yang masih belum berubah ceria.
"Katanya mau dilamar, tapi males - malesan gitu, gimana sih Dek?" tanya pakde Dimas.
"Bikin kesel tuh mamanya."
"Kenapa lagi?" tanya mama Priska.
"Masih aja nanya ke Alvin soal kemungkinan nikah lebih cepat itu, aku nggak mau pokoknya."
"Waah ... ngebet banget Alvin kayak papa Adek dulu tuh, pengennya cepet - cepet aja nikahnya."
"Owh lebih ngebet budhe, yang pacaran siapaaaa .. eh yang nikah duluan dia," balas mama Priska yang tidak terima suaminya jadi omongan.
Dimas dan Wendy malah tertawa mendengarnya.
"Kenapa lagi sih Dek?" tanya mama Priska lagi.
"Masih persoalan yang sama Ma, minta dicepetin itu."
"Alasannya apa lagi?"
"Cuma mamanya dan Allah yang tahu."
"Wuih berat itu kalo cuma sudah pake - pake Allah, nggak bercanda itu Dek," sahut Pakde Dimas.
"Aku nggak tahu berat apa nggak, aneh aja pokoknya. Biarin aja anaknya yang ngomong sendiri, aku udah malas. Mau ikutin rencanaku ayo, kalo nggak mau ya sudah, cari aja menantu yang lain."
"Ini anak Priska apa anak Owie bang?" tanya Wendy melihat ke arah bang Dimas.
"Anak asuh Nandi yang pasti."
Mereka semua malah tertawa.
"Eyang Ika mana, Ma?"
"Tuh di kamar sama Rahayu, ketemu dulu gih sama Eyang."
Ririn pamit untuk menemui eyangnya sebentar.
Setelah Pakde dan budhe nya pamit pulang, Ririn pun naik ke kamarnya untuk mandi lalu lanjut istirahat.
"Repot banget sih mamanya Alvin ini," gumam Ririn yang lebih mirip orang sedang ngedumel lalu mengambil ponselnya, sementara handuk masih di kepalanya karena dia baru saja keramas.
Ririn sampai lupa janji dengan papa dan mamanya soal Iksan, dengan ringan jarinya langsung menelpon Iksan, dia mau menumpahkan kekesalannya ke Iksan, tapi sayangnya telepon itu tidak tersambung karena ponsel Iksan tidak aktif.
"Iiih, kemana sih nih orang, jangan ikut - ikutan bikin kesel deh!" umpat Ririn
Ririn jadi kesal lagi karena tidak bisa menghubungi ponsel Iksan yang mati.
Dicobanya sekali lagi menghubungi Iksan tapi responnya masih sama, operator telepon yang dituju malah yang menjawab kalau telepon sedang tidak aktif atau berada di luar service area.
Ririn melihat lagi ke room chat dia dengan Iksan, dia mulai khawatir ada pesan yang terlewat karena jarang - jarang Iksan begini.
Mas Iksan
Rin, aku nanti malam ke Seoul, baru dapat revise gantiin orang.
Ternyata benar ada pesan Iksan yang masuk, dia lihat pukul tujuh belas dua puluh, itu berarti disaat dia sedang menuju lobby untuk menunggu jemputan Alvin.
Ririn tidak bisa mengingat apakah dia sudah membaca atau belum Tapi pesan itu sudah terbuka, berarti kan sudah dia baca. Apa mungkin dia tidak fokus makanya tidak sempat membalas dan melupakan?
"Kok bisa kelewat ya? pantesan aja teleponnya nggak aktif. Duh mas Iksan pasti mikir aku nggak mau bales wa-nya dia nih," pikir Ririn resah.
Ririn
Sorry mas aku baru baca lagi pesannya, aku tadi lagi sibuk banget, jadi nggak sempat bales, happy landing Capt!
Ririn meletakkan ponselnya lalu mengeringkan sebentar rambutnya dengan hair dryer sebelum tidur.