Ririn membolak balikkan badannya diatas tempat tidurnya, kadang ke kiri, kadang ke kanan, kadang posisi tengkurap juga. Sejak pulang dari makan siang sama Papa dan mamanya tadi, perasaannya jadi tidak karu - karuan, jadi wajar dia gelisah. Bahkan baju yang dipakainya untuk pergi tadi belum juga digantinya, rupanya dia perlu kasur empuknya untuk membenamkan tubuhnya segera agar lebih rileks.
Obrolan dengan papanya tadi bagi orang lain yang melihat mereka, memang terlihat mirip diskusi daripada sedang dibacakan dosa- dosanya, tapi sebagai pelaku kesalahan, Ririn banyak diam dari pada menjawab apalagi menyahut. Apa yang diucapkan papanya memang sudah kejadian, dan baru sekarang matanya terbuka dan merasa bersalah.
"Adek pernah mikir nggak waktu adek kesel dan berantem sama Alvin, terus nelpon Iksan nangis - nangis? Ya papa sih nggak dengar langsung ya, cuma mama yang cerita. Papa yakin reaksi Iksan kalo ketemu pasti puk puk punggung Adek kan?"
Ririn menutup wajahnya mengingat itu, walaupun Iksan tidak puk -puk punggungnya seperti perkiraan papanya, tapi saat itu tidak lama setelah dia curhat di telepon, Iksan memang langsung datang menjemputnya, lalu dia diajak ke cafe hanya untuk ngopi dan ngobrol yang lucu - lucu, hanya begitu saja mood nya langsung membaik. Memang setergantungan itu dia sama Iksan, sudah macam narkoba saja dia.
"Mulai dari liburan bareng, janjian pergi berdua nggak sekali dua kali, dikit - dikit Iksan, dikit - dikit Iksan, kalo memang lebih cocok dan butuh Iksan, kenapa adek pacarannya sama Alvin?"
Ririn ingat kalimat tanya itu, sampai - sampai dia yang sedang menatap air mineral di gelasnya karena dari tadi mendengar ucapan papanya, kini dia mendongak ke arah papanya, dia terlalu kaget dengan pertanyaan itu, benar - benar tidak menyangka.
"Aku memang nyaman jalan dan ngobrol sama mas Iksan, bukan berarti aku harus putusin pacar demi dia dong Pa, kan bisa jadi bestie."
"Mana ada bestie antara cowok sama cewek. Adek berharap kalo nanti kalian sudah menikah dengan pasangan masing - masing, Iksan sebagai bestie Adek tetap akan bela - belain gitu mengikuti apa yang Adek minta?"
"Uncle Di sama Mama kan gitu?"
"Uncle Di nggak bisa disamakan dengan Iksan, mereka beda tujuan."
"Beda tujuan gimana sih Pa, kan sama aja, mereka sama - sama laki - laki. Kalo Papa bilang soal ketulusan, mas Iksan juga tulus kok sama aku. Dia nggak pamrih."
"Gini ya Dek ... Iksan itu kan dari awal sudah naksir sama Adek, aa' sudah bilang langsung, dan Adek juga tahu persis itu. Sedangkan uncle Di, dari awal sudah sering perang sama Mama dan budhe ... boro - boro naksir, dia bisa jalan dengan tante Ayu juga awalnya atas usaha dan sedikit ancaman dari Mama, Mama dan budhe tuh takutnya uncle Di itu salah arah. Nah jelaskan perbedaan mereka? Papa nggak bilang Iksan ada pamrih, justru karena itu Papa kasihan banget sama dia. Apa adek nggak pernah terpikir ya sedihnya dia, wanita yang dia cintai pacaran sama orang lain di depan matanya, malah sudah mau tunangan dan dia tidak bisa berbuat apa - apa selain tetap nurutin maunya Adek memaksanya untuk datang ke acara pertunangan itu, Dilain sisi cewek yang dia sayang ini seperti terus saja memberi harapan dengan cara bergantung dengan dia, walau maksud Adek nggak gitu kan?"
Ririn diam, menggeleng tidak, mengangguk juga tidak, ya diam saja kayak patung gitu.
"Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Papa yakin Iksan masih menyimpan harapan ke Adek, dia nggak keluarin aja karena dia takut Adek malah jauhin dia, dan mungkin dia belum siap jauh dari Adek. Jadi saran Papa, Adek mulai sekarang membatasi berhubungan dengan Iksan, mulai dari membatasi hubungan telepon atau chat. Fokus sama Alvin."
Ririn masih diam, memang cuma papanya saja yang banyak bicara dari tadi, mamanya saja hanya jadi pengamat. Apalagi suara papanya yang tegas dengan raut serius membuatnya sempat ciut juga.
"Tapi, kalo memang Adek tidak bisa mengabaikan Iksan, berpikirlah dengan pikiran yang jernih dan libatkan hati Adek juga, pilih salah satu dari mereka."
Nah sampai sini Ririn kaget lagi, masa iya sudah mau tunangan, orang tua juga sudah saling kenal dan membicarakan masa depan tiba - tiba papanya masih bisa - bisanya menyuruhnya untuk memilih lagi, bagaimana sih ini?
"Maksud Papa apa?"
"Ya pilih, Iksan atau Alvin."
Ririn meremas rambutnya mengingat ucapan papanya tadi, benar - benar dia sangat menyesal sudah ikut makan siang sama papa dan mamanya hari ini.
Ririn bergeser mengambil ponselnya diujung tempat tidur lalu membuka room chat-nya bersama Iksan, tidak ada satupun chat dengan Iksan yang dihapusnya. Dia baca - baca percakapan mereka yang sudah berlalu lama sekali.
Mas Iksan
Rin, aku beliin kamu skincare yang biasa ya, pasti udah mau habis kan yang dulu, aku yakin kamu nggak sempat beli.
Ririn menarik sudut bibirnya, chat ini waktu Iksan terbang ke Korea, dia memang sering memaksa membelikan skincare, memang Ririn butuh dan sulit menolak. Ririn men-scroll lagi percakapan mereka yang lain.
Ririn
Mas, aku mau show di Surabaya ... ada schedule ke sana nggak tanggal dua belas, Sabtu depan.
Mas Iksan
Ada
Sekarang Ririn baru lihat, eh bukan, maksudnya sekarang Ririn baru sadar kalau Iksan menjawab wa-nya di menit yang sama, apa iya itu memang schedule-nya? Soalnya pada akhirnya Iksan benar - benar tugas ke Surabaya tanggal dua belas itu.
Ririn menggelengkan kepalanya, kenapa dia tidak pernah berpikir saat itu, mungkin saja Iksan hanya sekedar menjawab iya supaya cepat saja, dan setelah itu dia baru berusaha tukaran schedule dengan temannya, soalnya kemungkinan jadwal mereka sama persis itu kok kayaknya agak - agak mustahil, apalagi bisa seratus persen persis, Kenapa dia baru menyadari kalau Iksan menjawab pesannya itu di menit yang sama, berarti kan itu hanya hitungan detik dia sudah menjawab, "Isssh ...kok aku nggak pernah berpikir saat itu ya? yang ada aku malah kesenangan bisa makan malam sama mas Iksan setelah tampil di acara. Ck ..ck ..Ririiin ... Ririin, kok kamu nggak nyadar sih?" gumam Ririn sambil memijat keningnya, sepertinya dia benar - benar pusing.
Ririn merubah posisi tidurnya menjadi terlentang, ponsel masih digenggamannya itu tiba - tiba bergetar, ada panggilan video dari Iksan!
Tangannya gatal untuk menerima, tapi dia tadi sudah janji sama papa dan mamanya membatasi komunikasi sama Iksan.
"Isssh .... kenapa sih ribet banget hiduuupp," teriak Ririn lalu membenamkan wajahnya ke bantal, sementara panggilan dari Iksan terhenti.
'Ting' notifikasi masuk satu menit setelah panggilan tadi berhenti.
Mas Iksan
Hei putri malu! Jangan bilang sudah siang gini kamu masih tidur ya.
Nih aku bawain Pie coklat kesukaan kamu, biar kamu gendut dan jelek ...hehe
Mau tidak mau Ririn jadi tersenyum membaca chat Iksan yang memang sering konyol serta foto kotak Pie kesukaannya. Dari latar belakangnya Ririn bisa melihat sepertinya Iksan masih di Cockpit karena kotak Pie itu ada diatas koper kerjanya.
Ririn menghela nafas, tidak membalas chat itu kok rasanya dia tidak nyaman.
"Maaf ya Pa, mulai besok deh aku membatasi dirinya," gumam Ririn lalu dia menekan panggilan balik ke Iksan.
Hanya satu kali nada panggilan, Iksan sudah menerimanya.
"Serius kamu masih tidur?" tanya Iksan yang melihat Ririn sedang tiduran.
"Serius lah ... ,mas Iksan di mana?"
"Di pesawat."
"Iya aku tahu, maksudnya di Indonesia bagian mana, apa masih di Bali?"
"Aku lagi transit di Surabaya, ini juga lagi antri mau boarding makanya tadi nelpon kamu."
"Oowh."
"Kamu nggak kemana - mana Rin?"
"Tadi makan siang sama Papa Mama di luar."
"Captain Owie di rumah?"
"Iya."
"Aku landing di Jakarta jam empat lima puluh nih nanti, mau aku jemput nggak, kita makan malam di luar yuk Rin, aku abis gajian ... nanti aku traktir."
Ririn tertawa.
Iksan keterlaluan dan selalu pintar beralasan, masa dia gajian tiap saat? Karena kalau pergi sama Ririn mana pernah Ririn mengeluarkan uang, masa sekarang mau traktir saja alasannya karena abis gajian? Tentu saja itu membuat Ririn tertawa..
"Perasaan traktir melulu, tapi baru sekarang bilang traktir karena habis gajian?"
"Iya ... soalnya baru mau belajar cara menafkahi, mulainya kan traktir dulu."
Ririn tergelak lagi.
"Cewek banyak ngantri nih mas kalo ada yang lagi trial menafkahi gini."
"Ngantri ya boleh aja, tapi syarat dan ketentuan berlaku, jadi gimana ... bisa nggak?"
"Duh sayangnya nggak bisa eeuuy, nanti malam mau pergi sama Papa, Mama dan Abang juga, next time kali ya mas ... sorry banget."
"Sama abang Wika?"
"Iya."
"Owka nggak diajak? Dia anak pungut ya?"
Tuh kan ... Iksan bisa saja membuat Ririn selalu tertawa.
"Dia terbang, cuma ada perlu doang sama abang, nggak ada acara keluarga kok."
"Owh selamat Owka kalo gitu, baru aja mau aku kasihani, jadi nggak bisa nih ngabisin gaji aku?"
"Pengennya langsung diabisin, ke GI cakep tuh ya, langsung ludes apa nggak kira - kira?"
"Ya kalo kamu yang belanjain sih langsung ludes kayaknya."
Ririn ngakak lagi.
"Nggak takut?"
"Takut? Ya nggak lah, bulan depan kan gajian lagi, nanti paling aku kasbon bensin sama Mama."
Ririn yang tadinya suntuk sekarang tiba - tiba saja banyak tawa, ya begitulah pengaruh Iksan ke Ririn, mungkin saja Ririn tidak menyadari itu.
"Kalo nggak karena udah janjian, mungkin aku bisa malam ini, tapi nggak mungkin juga aku batalin, maaf ya."
lagi - lagi Ririn minta maaf.
"Yaudah nggak apa - apa, gajinya aku tabung aja buat nyicil beli rumah kali ya."
"Nabungnya yang banyak biar rumahnya banyak."
"Rumah banyak paling aman pake jalur warisan Rin, repot banget pake nabung segala."
"Isshh, dasar!"
"Ya udah deh Rin, nanti Pie aku ojekin aja ya."
"Iya nggak apa - apa."
"Rin, aku boarding dulu ya, penumpang udah datang."
"Oke, safe flight mas."
"Thank you, bye."
"Bye."
Ririn memutus sambungan telepon.
"Duh maaf ya Mas, bukannya aku sekarang udah pintar bohong sampai - sampai nama abang yang nggak tahu apa - apa aku pake buat bohongin kamu, tapi aku ribet nih kalo giniii," gumam Ririn gemas.
***
Alvin datang menjemput Ririn ke rumah sakit. Sudah satu minggu mereka tidak bertemu, sejak Alvin berangkat sampai pulang dari Batam hari Senin yang lalu, mereka belum sempat ketemu karena Ririn sudah sibuk di rumah sakit, belum lagi Alvin sedang bersiap take vocal untuk single terbarunya.
Alvin menjemput Ririn ke rumah sakit tanpa asisten ataupun supir yang selalu setia menemaninya, kali ini dia menyetir sendiri. Rencananya sebelum pukul lima Alvin akan membuat kejutan menjemput Ririn, tapi sampai lima belas menit lagi waktunya Ririn pulang, dia masih terjebak macet, akhirnya mau tidak mau kejutan harus dibatalkan, Alvin terpaksa menelepon Ririn dan memintanya menunggu sampai dia datang.
Betul saja, Alvin baru tiba di rumah sakit hampir setengah enam sore.
"Tumben jemput sendirian?" tanya Ririn yang baru saja meletakkan bokongnya di jok kursi mobil Mini cooper Merah milik Alvin.
"Aku dari Studio tadi, Rusdi aku suruh pulang aja sama Andi dan Acel."
"Andi bawa mobil?"
"Iya, dia ada perlu ke Mal tadi, abis itu dia baru nyusul ke Studio."
"Udah beres rekamannya?"
"Udah."
"Hmm."
"Kamu mau makan malam dimana Rin?"
"Cari dekat rumah aja deh."
"Senopati?"
"Ya boleh."
Seperti biasa, kalau mereka pergi berdua, Alvin dan Ririn akan memilih tempat yang agak privat demi kenyamanan bersama. Mereka memang tidak merahasiakan hubungan mereka, tapi tidak juga diumbar - umbar. Gosip soal hubungan mereka sudah muncul dari beberapa tahun yang lalu, tidak ada klarifikasi apapun hanya saja mereka kerap tampil bersama dan akhirnya berita yang muncul adalah mereka sudah resmi berpacaran dan seolah - olah berita itu atas dasar klarifikasi mereka, padahal tidak. Makanya rencana pertunangan mereka akan dilakukan tertutup dengan undangan yang terbatas, tidak ada rencana untuk konfrensi pers untuk itu, nanti saja saat pernikahan, begitu rencana mereka.
"Mama masih nyuruh kita cepat nikah Rin," ucap Alvin tiba - tiba setelah makanan dihidangkan di hadapan mereka.
'Ya nggak bisa dong, kan kamu sudah tahu masalah kita."
"Aku juga sudah bilang sih, memang agak nurut, tapi disebut - sebut terus."
"Kamu kasih tahu konsekuensinya, baik dari sisi kamu dan sisi aku. Apalagi kamu baru tanda tangan kontrak beberapa bulan ... tetap sama kan nggak boleh nikah sampai tahun depan?"
"Iya, tapi kata mama bayar aja, uang bisa dicari."
Muka Ririn berubah masam sepertinya dia mulai kesal ... padahal kata mamanya, mama Alvin sudah oke kembali ke rencana semula yaitu tunangan, kok sekarang berubah lagi?
"Aku nggak bisa, kalo mama tetap maksa .. mendingan kita batalin aja semua."