Sesampainya dikontrakan, dia bergegas melakukan ritual mandi singkat, dilanjut dengan melaksanakan sholat maghrib. Setelah sholat dipastikan suara alunan merdu membacakan ayat demi ayat dengan tartil itu mengalun. Kali ini Khadija tidak terlalu lama mengaji karena perutnya sudah merasakan protes keras dari cacing-cacing yang minta makan. Segera berbenah dan menyantap nasi ayam geprek gratis yang didapatkannya hari itu.
Setelah selesai makan, adzan isya berkumandang. Dia bergegas menunaikannya diawal waktu. Kali ini dia bertadarrus lebih lama karena sudah merasa nyaman dan perutnya pun sudah aman. Lagi-lagi sebuah ketukan pintu membuatnya harus menghentikan aktivitasnya. Dia menyimpan AL-quran diatas lemari jejeran dengan kotak kado yang masih belum dibuka. Dia membuka mukena dan menggantinya dengan kerudung instan.
Ceklek
Dilihatnya seseorang yang tidak asing, dia adalah Rasyid. Untuk kedua kalinya lelaki ini berkunjung ke kontrakannya. Wajahnya terlihat segar. Kaos hitam menambah aura maskulinnya terpancar. Dia berdiri sambil memasang wajah penuh senyuman.
“Ada apa Kak?” Khadija mengerutkan dahi, wajah lelahnya tidak bisa berbohong, terlihat sekali garis-garis kelelahan diwajah manisnya.
“Mau ngasih iniini." Rasyid memberikan kantong plastik.
“Apa ini?” Khadija bertanya.
“Tadi beliin makan kamu, lupa gak beliin minumnya,” ucapnya santai sambil terkekeh.
“Aku udah minum kho." Khadija menjawab cuek sambil hendak mengembalikan kantong plastik yang ternyata berisi satu cup jus jeruk dingin.
“Ya udah, itu buat kamu, minum kan ga cuma sekali,” ucapnya santai.
“Kakak ngapain sih traktir aku makan sama minum, tar diutangin lagi." Khadija menatap sekilas wajah pemuda yang masih berdiri didepan pintu kontrakannya.
“Memang iya,” jawabnya sambil tertawa.
“Ishhh, ya udah tar aku bayar semua, sebentar." Gadis itu mendengus kesal, sambil masuk kedalam dan membiarkan pintunya tetap terbuka. Sementara Rasyid malah melepas alas kakinya dan duduk disamping pintu yang terbuka.
“Kak Rasyid kenapa malah duduk disitu?” Khadija protes, dia kembali sambil membawa dua lembar uang lima puluh ribuan.
“Aku kan tamu Dija masa suruh berdiri terus, lagian ini masih sore, memangnya kamu mau tidur, baru juga jam delapan,” ucap Rasyid sambil melirik kearah jam tangannya.
“Nih, bayar ojek tadi pagi sama bayar utang makan aku, udah lunas ya," ucap Khadija penuh penekanan, dia menaruh dua lembar uang lima puluh ribuan didepan Rasyid. Lelaki itu malah terkekeh.
“Aku ga butuh uang, uang aku banyak, aku mau minta dibayar pake yang lain,” ucapnya sambil menatap Khadija yang memandang ke sembarang arah.
“Kak Rasyid jangan aneh-aneh deh, aku ga punya apa-apa, memang mau dibayar pake apa?” Khadija merengut kesal. Lelaki yang didepannya itu kesan pertama begitu ramah dan menyenangkan, namum semakin kesini baginya terasa menyebalkan.
“Aku mau kamu membayarnya dengan mengajari Nayya mengaji dan ilmu agama lainnya,” ucap Rasyid serius sambil menatap lekat wajah gadis yang ada didepannya. Khadija tertegun, dia tidak menyangka akan apa yang akan diucapkan lelaki itu.
“Kenapa harus sama aku, bukannya di komplek sini banyak TPA, lagian waktuku sedikit,” ucap Khadija.
“Kamu keberatan?” tanya Rasyid lagi.
“Bukan itu, tapi aku takut Nayya malah ga maksimal mendapatkan pembelajaran dariku Kak.” Suara Khadija sudah melunak, aura terganggu dan kesalnya perlahan sirna.
“Nayya bisa belajar darimu setiap sore, ga perlu lama, soalnya dia ga mau kalau ke TPA, semua anak diantar ibunya, sementara yang dia punya hanyalah ibu sambung, dia selalu diledek temannya karena mereka tahu ibu kami meninggalkan kami dengan cara yang tidak baik,” ucap Rasyid suaranya mulai terasa berat.
“Aku hanya tidak mau jika Nayya akan menjadi seperti Khalima, tapi aku juga tidak bisa mendidiknya menjadi lebih baik, ibu sambung kami sebetulnya baik, akan tetapi dia hanya memiliki waktu sedikit karena sibuk juga dengan bisnisnya,” ucap Rasyid lagi yang membuat Khadija menatapnya iba, membayangkan Nayya yang kurang kasih sayang dari ibunya membuat hatinya teriris.
“Ok Kak, aku mau ngajarin Nayya, tapi ilmu agamaku tidak terlalu banyak, aku bukan lulusan pesantren,” ucap Khadija lembut.
“Makasih ya, aku harap Nayya akan bisa menjadi wanita sepertimu,” ucap Rasyid dengan tulus.
“Eh kadonya udah dibuka belum?” Lelaki itu kembali menanyakan kado yang diberikannya.
“Belum,” jawab Khadija.
“Sini!” Lelaki itu menyodorkan tangannya.
“Hah?” Khadija bingung.
“Sini kadonya aku bukain, takutnya nanti kamu bingung gimana makenya,” ucap Rasyid lagi. Khadija berdiri mengambil kotak yang tergeletak disamping Al-quran, diberikannya pada Rasyid.
Lelaki itu perlahan menyobek kertas kado pembungkus benda kotak itu. Kemudian dengan hati-hati dia membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah smartphone. Mata Khadija terbelalak, tidak menyangka kalau hadiah yang diberikan Rasyid barang yang baginya cukup mahal dan masih belum mampu membelinya.
Rasyid dengan telaten memasangkan sebuah simcard yang memang sengaja dia beli. Kemudian menyalakan ponsel tersebut dan mengatur settingan menggunakan sambungan internet ponselnya. Setelah semuanya selesai dia memberikannya kepada Khadija.
“Kak itu ga salah? smartphone kan mahal." Khadija memastikan.
“Sudah kubilang, bagiku uang ga masalah Dek, nih coba pake, bisa ga?” Rasyid terlihat gemas melihat tingkah laku Khadija yang masih begitu polos.
“Adek, emangnya aku adiknya Kak Rasyid,” ucap Khadija sambil mencebik, tangannya menerima ponsel itu, beruntung dia sering memakai ponsel Khalima ketika ada keperluan jadi minimalnya untuk mengoperasikan saja dia sudah bisa.
“Ok, itu udah aku save nomorku disitu, kalau ada apa-apa tinggal WA atau telpon, besok kamu mulai ngajari Nayya ya, bisa?” ucapnya sambil bersandar.
“Kak ini beneran buat aku?” Khadija masih tidak percaya atas apa yang dialaminya sekarang.
“Iya, anggap saja DP dari biaya Nayya mengaji ke kamu, nanti tiap bulan aku akan kasih uang jasanya juga,” ucap Rasyid.
“Eh ga usah Kak, aku mau ngajarin Nayya karena Allah, kalau ini Kakak jadiin DP, aku ga mau terima,” ujar Khadija sambil mau mengembalikan smartphone itu.
“Kalau gitu itu bukan DP, aku ngasih kamu juga karena Allah.” Rasyid tersenyum merasa menang dapat membuat gadis itu tidak lagi memberikan bantahan.
“Makasih ya Kak." Itulah akhirnya ucapan yang keluar dari mulut Khadija sambil menyimpan ponselnya dengan hati-hati.
“Aku pulang dulu ya, kamu kelihatan capek banget juga hari ini." Rasyid beranjak dari tempat duduknya terus keluar dan memakai kembali alas kakinya.
“Assalamu’alaikum." Kini Rasyid mulai membiasakan mengucap salam, meskipun masih kadang-kadang.
“Wa’alaikumsalam,” ucap Khadija sambil menatap punggung lebar itu menjauh.
Khadija merebahkan diri diatas tempat tidur setelah memastikan pintu kontrakannya terkunci. Pikirannya bercabang, terkadang masih teringat bayangan menyakitkan itu, teringat kata-kata Bu Riska, tugas baru mengajari Nayya mengaji. Dan ah, dia teringat untuk menanyakan sesuatu kepada Bu Riska tentang rencana masadepan. Dia mencari-cari buku catatan kecilnya ketika pertama kali masuk pabrik. Disana selain mencatat beberapa materi, dia juga mencatat beberapa nomor telepon teman-temannya dalam satu tim termasuk atasannya. Dengan mata berbinar dia memasukkan nomor Bu Riska kedalam kontaknya.
“Assalamu’alaikum Bu, saya Khadija, saya mau bertanya terkait yang ibu katakan siang tadi, rencana untuk masadepan itu seperti apa?” tulisnya dalam pesan WA.