“Eits, makasih aja, ini ga gratis lho,” ucapan Rasyid sontak membuat langkah gadis itu terhenti dan berbalik seraya menatap kesal lelaki itu.
“Maksudnya apa? kalau minta bayar, nanti aku bayar tapi abis gajian,” ucap Khadija dengan sorot mata tajam. Rasyid malah terkekeh melihat ekspresi Khadija seperti itu.
“Bayarnya ga perlu pake uang, uang aku udah banyak, nanti aku pikirin dulu mau minta dibayar pake apa, bye!” Lelaki itu terkekeh, setelah meletakkan helm yang tadi dipakai Khadija dia memacu kendaraannya tanpa menunggu jawaban Khadija lagi. Sementara gadis itu bergegas menuju ruang locker untuk menyimpan barang-barangnya dan bersiap sarapan dulu sebelum memulai kerja. Karena kasus kesiangan, akhirnya dia melewatkan sarapan di kontrakan, padahal harganya bisa beberapa rupiah lebih murah dibanding sarapan di sekitar pabrik.
Hari itu berjalan dengan baik, kesibukan membuatnya sedikit melupakan perih yang masih sering muncul di kalbunya. Ternyata patah hati semenyakitkan itu. Khadija berfokus pada tumpukan barang yang harus dia check satu-satu. Sebagai bagian quality dia harus bisa mendeteksi sekecil apapun abnormality dari setiap produk yang dia check, setelah itu membuat laporan dan memberikannya kepada leadernya.
“Wah, progres kamu lumayan cepat ya, baru satu bulan sudah banyak yang kamu fahami, bagus, apa kamu tidak ada rencana untuk meningkatkan skill dengan kursus atau kuliah lagi? Saya yakin kamu bisa menguasai hal baru dengan cepat dan bisa mencapai karir yang lebih tinggi.” Bu Riska yang merupakan supervisornya cukup takjub dengan hasil kerja anak baru bagian QC tersebut.
“Kuliah? Karir?” Khadija masih belum berfikir kearah sana, hidupnya kini baru memiliki rencana jangka pendek yaitu mendapatkan uang dan bertahan hidup.
“Saya melihat potensi terpendam dalam diri kamu, dan saya memang menerima kamu karena melihat proforma akademik dan ekstrakurikuler kamu yang signifikan nilainya, saya sarankan kamu untuk kuliah lagi Dija, beberapa tahun lagi perusahaan ini akan ekspansi, saya yakin akan banyak posisi yang kosong untuk level staff up.” Bu Riska kembali menjelaskan panjang lebar sambil masih berdiri dimeja check Khadija yang sudah rapi karena sudah waktunya pulang.
“Tapi saya kan kerja Bu, gimana mau kuliah, waktu saya saja habis di pabrik,” gadis itu menunduk sambil tersenyum hambar.
“Dija, untuk menjadi sukses itu bukan butuh alasan tapi butuh perjuangan, banyak kuliah kelas karyawan yang malam hari atau seminggu sekali, banyak kursus yang jadwalnya bisa menyesuaikan, intinya satu, apakah kita mau atau tidak? Itu saja dulu, jika kamu berfikir terus masalah waktu, biaya, capek, maka sampai kapanpun kamu akan tetap seperti ini.” Bu Riska menepuk lembut bahu Khadija sambil tersenyum. Wajahnya yang lembut dan keibuan berpadu dengan kecerdasan seorang wanita karir masakini membuat setiap orang akan nyaman berbincang dengannya.
“Ayo pulang, ingat milikilah alasan yang kuat dan rencana yang matang untuk masadepan, tapi berjalanlah dihari ini dan lakukan sebaik apa hal yang kita bisa, jangan menyia-nyiakan waktu, dulu diawal saya berjuang alasan saya adalah ibu,” ucapnya lagi sambil berlalu meninggalkan Khadija yang masih berdiri disamping meja pengecheckan.
“Dija, ayo, nanti ketinggalan jemputan!” suara Arina yang baru keluar dari locker karyawan menyadarkannya untuk segera bergegas.
“Iya Rin, duluan aja, aku ke locker dulu,” ucap Khadija sambil tergopoh-gopoh menyadari jika waktu yang dimilikinya tidak banyak lagi.
Akhirnya dengan kecepatan maksimal, Khadija berhasil menyelamatkan dirinya dan tidak tertinggal jemputan. Dia menaiki bus jemputan didetik-detik terakhir keberangkatan, beruntung Arina sudah membooking satu kursi untuknya. Diambilnya tas yang Arina letakkan ketika melihat kepala gadis itu menyembul dari pintu bus dan mencari-cari tempat yang kosong.
“Dija, sini!” Arina memanggilnya dari jejeran kursi yang ditempatinya.
Khadija bergegas menghampiri gadis itu dan duduk di kursi yang kosong disebelahnya. Dia menjatuhkan tubuhnya dan bersandar. Hembusan dingin dari AC membuat tubuh mungilnya terasa nyaman. Juru kemudi mulai menjalankan bus tersebut keluar dari gerbang, perlahan menyusuri jalan kawasan yang sudah ramai oleh kendaraan. Mata khadija terpejam namun pikirannya melayang. Teringat semua nasihat dari Bu Riska, atasan favoritnya mengenai konsep masadepan.
“Miliki alasan yang kuat, apa alasan yang kuat untukku?” Khadija masih memikirkan kalimat terakhir Bu Riska yang terngiang-ngiang dikepalanya.
“Apakah benar aku berpotensi seperti yang Bu Riska bilang, tapi apakah aku memiliki alasan yang kuat untuk sukses? aku sendiri tidak tahu, aku pergi dari kampung karena memang sudah tidak nyaman tinggal bersama keluarga baruku, aku bekerja disini untuk bisa mendapatkan uang untuk bertahan hidup, tidak tergantung pada keluarga, dan ingin hidup mandiri.” Gumamnya dalam hati sambil matanya tetap terpejam, sementara Arina yang disampingnya sedang sibuk mendengarkan musik menggunakan hands free tanpa mempedulikan teman sebangkunya yang dikiranya tengah tertidur.
“Memiliki rencana masa depan, ah aku saja belum tau nanti mau jadi apa, memang harus ya? bukannya semua manusia sudah memiliki takdir masing-masing, kenapa harus repot-repot membuat rencana, ah lebih baik nanti aku tanya lagi sama Bu Riska, otakku sudah terlalu lelah hari ini.” Akhirnya gadis itu mengakhiri perdebatan dalam pikirannya.
Bus jemputan yang membawanya kini sudah mulai memasuki kota dimana dia tinggal. Arina sudah membangunkannya sejak beberapa menit yang lalu. Dia benar-benar berfikir kalau Khadija tertidur. Sejak dia mencari pekerjaan, Arina sudah begitu banyak membantunya. Khadija bersyukur selalu saja ada orang baik ketika dia kesusahan. Ah, hatinya jadi teringat kembali akan manisnya kebaikan Ahmed namun pahitnya juga sampai kini masih dia rasakan.
Hampir pukul setengah tujuh ketika bus jemputan terparkir dititik jemput. Semua karyawan yang didominasi kaum perempuan itu berhamburan. Semuanya bergegas karena memiliki kepentingan masing-masing, adapula yang terlihat santai dan mencari makan malam dulu. Beragam menu kuliner tersedia pada setiap angkringan yang terlihat padat dikerubuni para karyawan yang baru pulang kerja. Khadija mampir ke sebuah angkringan ayam geprek yang antriannya tidak terlalu panjang. Dia tidak pemilih kalau soal makanan, yang penting murah dan halal.
“Mas, ayam gepreknya satu, sambel kacangnya yang pedes, lalapnya pake kemangi mentah, kalau kol nya mau yang digoreng, nasinya setengah aja,” ucap Khadija sambil duduk disalah satu kursi kayu panjang.
“Ayamnya paha, sayap atau dada mba?” si penjual ayam geprek memastikan.
“Paha saja Mas,” ucap Khadija singkat. Tiba-tiba Khadija teringat belum membeli lotion anti nyamuk, persediaan di kontrakannya sudah habis, dia pamit sebentar kepada penjual ayam geprek untuk mengambil pesanannya nanti.
Warung yang ditujunya tidak jauh, hanya beberapa meter darisana, tapi karena pembeli lumayan banyak jadi sedikit lama mengantri. Setelah selesai membeli lotion anti nyamuk dan beberapa keperluan lainnya dia kembali untuk mengambil pesanannya.
“Udah siap Mas?” Khadija langsung bertanya ketika sampai diangkringan tersebut.
“Udah Mba, ini silahkan,” penjual ayam geprek itu memberikan sebuah kantong kresek kepadanya. Khadija menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan untuk membayarnya.
“Mba, ini udah dibayar sama mas yang itu,” penjual ayam geprek menolak lembaran uang yang diberikannya. Kening Khadija berkerut sambil mengikuti arah telunjuk si penjual ayam geprek yang mengarah kepada salah satu tempat lesehan dibawah pohon kersen yang tidak jauh darisana. Yang ditengoknya seperti memiliki firasat, dia menatap kearahnya sambil tersenyum.
“Kak Rasyid,” gumam Khadija pelan. Terlihat lelaki itu tengah mengobrol dengan seorang wanita yang duduk membelakanginya, tapi kalau dilihat dari postur tubuhnya dia bukan Merlina yang bak model ibukota. Ini lebih seperti gadis biasa pada umumnya. Khadija tidak memiliki banyak waktu lagi untuk mengerti alasan kenapa lelaki itu membayari makannya. Sekarang waktu maghrib sudah hampir habis. Dia bergegas menuju kontrakan setelah menganggukan kepala kepada Rasyid sambil mengatupkan kedua tangannya tanda berterimakasih.