Bu Riska tentang rencana masadepan. Dia mencari-cari buku catatan kecilnya ketika pertama kali masuk pabrik. Disana selain mencatat beberapa materi, dia juga mencatat beberapa nomor telepon teman-temannya dalam satu tim termasuk atasannya. Dengan mata berbinar dia memasukkan nomor Bu Riska kedalam kontaknya.
“Assalamu’alaikum Bu, saya Khadija, saya mau bertanya terkait yang ibu katakan siang tadi, rencana untuk masadepan itu seperti apa?” tulisnya dalam pesan WA. Dia menunggu dalam waktu beberapa lama, kemudian sebuah pesan masuk.
Ting
“Ditinggal biar istirahat malah online, apa sengaja biar besok kesiangan lagi terus dianterin lagi?” sebuah pesan baru masuk dari kontak bernama pangeran tampan, diakhiri dengan emoticon meledek.
“Hah? pangeran tampan?” Kening Khadija berkerut, sampai akhirnya dia sadar kalau tadi Rasyid sudah menyimpan kontaknya dan menamainya sendiri.
“Lelaki yang menyebalkan,” gerutu Khadija. Kemudian dia mengetik pesan balasan.
“ Walaupun besok kesiangan, aku sudah download aplikasi ojek online, apaan nganterin kalo ujung-ujungnya ngutangin, huh,” balas Khadija cepat. Sementara pesan yang ditunggu dari Bu Riska belum datang juga.
“Ha ha ha, jangan ngambekan gitu, tar kangen.” Apaan lagi ini balesannya semakin tidak penting. Akhirnya Khadija mendiamkan pesan itu dan tidak membalasnya lagi sampai akhirnya ketiduran menunggu pesan balasan dari Bu Riska.
Keesokan paginya, Khadija bangun awal, hari itu dia tidak lagi kesiangan. Wajahnya terlihat lebih fresh. Setelah sholat shubuh, tadarus, kemudian dia mencari sarapan terdekat dengan kontrakan, makan super cepat, mengenakan seragam, memakai bedak tipis dan lip balm, kerudung instan menutup kepalanya membuat tampilannya terlihat simple dan segar. Khadija berjalan melewati rumah utama, hari itu yang ada didepan rumah hanya motor Rasyid yang berdiri dengan gagahnya. Tidak ada Khalima, mungkin gadis manja itu tengah menikmati tidur malam yang kesiangan. Khadija berjalan santai menuju tempat bus jemputan.
Tin Tin
Bunyi klakson membuatnya terkejut dan menengok. Sepeda motor honda wing yang tadi terparkir didepan rumah utama kini ada disampingnya. Rasyid menyodorkan helm tanpa basa-basi.
“Ayo!” ucapnya sambil tersenyum.
“Apaan?” Khadija menatap heran kepada lelaki yang ada didepannya, yang tengah tersenyum sambil menyodorkan helm.
“Naiklah, aku anterin,” ucapnya.
“Engga ah Kak, makasih, aku mau naik jemputan,” Khadija menolaknya.
“Eh, kenapa? hari ini gratis, ga aku utangin kho,” ucap Rasyid lagi sambil tertawa kecil memperlihatkan deretan gigi putihnya.
“Emang Kak Rasyid mau kemana? ngapain nganterin aku?” Khadija mengernyitkan dahi penuh pertanyaan.
“Ya kuliah lah, kebetulan ada keperluan dulu jadi searah sama tempat kerja kamu,” ucapnya datar.
“Oh, ya udah, aku duluan ya Kak, nanti Kak Rasyid telat kalau nganterin aku dulu, assalamualaikum.” Khadija menutup percakapan sambil berjalan meninggalkan lelaki yang masih menatapnya tidak percaya kalau dirinya sedang ditolak oleh teman adiknya itu.
“Wa’alaikumsalam,” ucap Rasyid pelan.
Tubuh mungil Khadija semakin menjauh, lelaki itu masih mematung sendiri mencerna kejadian yang dialaminya. Rupanya dirinya terlalu percaya diri, dia bangun lebih awal demi mengantarkan Khadija, meskipun hari itu sebetulnya sedang tidak ada mata kuliah pagi. Tetapi kenyataan tidak seindah mimpi. Lelaki itu memutar balik kendaraan menuju rumahnya kembali.
Khadija hari itu sangat bersemangat berangkat kerja, dia membaca pesan dari Bu Riska yang membalasnya ketika dia sudah terlelap. Bu Riska janji akan menjawab pertanyaannya ketika jam istirahat nanti. Sepanjang perjalanan menuju tempat bekerja, gadis itu seolah memiliki energi baru untuk menjalani hari itu dengan berbeda.
Akhirnya perjalanan bus jemputan yang tersendat berakhir di halaman bangunan tempatnya mencari nafkah. Khadija berjalan sumringah, tidak lupa dia meminta kontak Arina sebelum berpisah darinya di locker karyawan. Ponsel barunya disilent dan disimpannya karena tidak diperkenankan membawa ponsel kedalam area kerja. Khadija tidak sabar jika harus menunggu istirahat, kebetulan masih ada waktu sekitar setengah jam lagi sebelum jam kerja dimulai. Dia mencari Bu Riska ke ruangannya.
“Selamat pagi Bu,” sapa Khadija yang sudah tiba didepan ruangan Bu Riska, tampak wanita itu tengah menyalakan komputer di meja kerjanya.
“Pagi Dija, cerah sekali hari ini,” ucap Bu Riska sambil tersenyum melihat gadis yang sedang berdiri didepannya.
“Ayo duduk, semangat sekali sampai mencari saya sepagi ini." Bu Riska terkekeh kecil sambil mengajak Khadija duduk dikursi depan mejanya.
“Aku sejak kemarin kepikiran terus ucapan Bu Riska, terutama tentang alasan yang kuat dan rencana masa depan, aku masih bingung Bu, selama ini tujuanku kerja cuma buat dapetin uang biar bisa makan dan pergi dari rumah,” ucap Khadija terkekeh sambil menunduk malu.
“Dija ada cita-cita atau impian?” Bu Riska mengawali pertanyaan. Gadis itu terdiam, mengingat-ingat masa kecilnya yang penuh kenang menyakitkan. Kemudian dia menggeleng.
“Aku tidak tahu Bu, dulu aku cuma ingin ayah berhenti berbuat maksiat, dan menafkahi keluarga dengan uang halal, itupun sudah selesai, ayah sudah meninggal, sejak itu, aku hanya ingin segera pergi dari rumah dan bisa hidup mandiri,” ucap Khadija.
“Hidup mandiri, apakah Dija sudah memvisualisasikan secara khusus yang kamu maksud sebagai hidup mandiri itu?” Bu Riska bertanya. Gadis itu hanya menggelengkan kepala.
“Buatlah gambaran sejelas-jelasnya, apa yang ingin kamu capai dalam waktu satu tahun ke depan, dua tahun, tiga tahun, dan seterusnya, buatlah tanggal dan tahun yang jelas untuk setiap perencanaan,” ucap Bu Riska menjeda sebentar memperhatikan respon dari gadis belia yang menatap penuh pensaran didepannya.
“Misalnya?” Khadija melontarkan pertanyaan.
“Misalnya, tahun ini kamu akan melanjutkan kuliah, pilih jurusan yang spesifik, perkiraan mulai dan estimasi selesai, setelah kuliah memiliki rencana apa yang akan kamu capai, apakah menikah, berwirausaha atau bekerja?" Bu Riska kembali menjeda. Khadija manggut-manggut.
“Sampai berapa tahun aku harus membuat itu Bu?” tanya Khadija lagi.
“Itu kembali kepada visi kita masing-masing, seberapa banyak dan seberapa lama target atau impian kita itu yang harus diselesaikan, untuk saya sendiri, saya membuat sampai saya pensiun dan menikmati hidup,” ujar Bu Riska sambil tersenyum.
“Kenapa kita harus menulisnya Bu?” tanya Khadija menatap wanita itu kembali dengan penuh rasa penasaran.
“Karena kita memiliki alam bawah sadar, dia membutuhkan afirmasi dan visualisasi, semakin jelas, semakin nyata akan semakin cepat dia bergerak kesana, jadi sebetulnya kita tidak hanya bisa menulis tetapi bisa juga membuat visual berupa gambar dan dipasang di meja belajar, di dinding atau kita sengaja mendengarkan audio hypnoterapi agar suggesti tentang mimpi dan cita-cita kita sampai pada alam bawah sadar, karena dia menerima gelombang ketika frekuensi otak sedang pada gelombang theta (4-7).” Bu Riska menyudahi pembicaraannya ketika bell masuk berbunyi.
“Dija, udah faham? Itu saya sharing aja berdasarkan pengalaman yang pernah saya alami, saya melihat kamu memiliki potensi, hanya tinggal menggali motivasi dan tujuan kamu menjadi lebih jelas,” ucap Bu Riska sambil tersenyum.
“Terimakasih banyak Bu, Dija kerja dulu.” Gadis itu berjalan meninggalkan ruangan Bu Riska menuju tempatnya bekerja dengan membawa ilmu dan pengetahuan baru.
Dia menjalani pekerjaan dengan perasaan begitu ringan, seolah-olah ada sebuah buncah-buncah semangat baru. Gadis itu seolah sudah mulai memiliki arah kemana dia akan mendayung kehidupannya. Wajah polosnya tampak begitu cerah dan dalam otaknya mulai membuat titik-titik yang kemudian dia akan menarik satu garis menjadi kesatuan mimpi dan afirmasi seperti yang dijelaskan Bu Riska tadi.