"Lo mau kemanain barang-barang gue!"
"Gue mau bakar semua buku-buku lo, baju-baju lo, semua barang-barang yang lo punya. Gue benci sama lo dan semua hal tentang lo."
Aku kaget, baru saja aku masuk kamar setelah seharian mengerjakan tugas rumah dan dalam keadaan yang sangat lelah, aku melihat Erina yang mengumpulkan semua barang-barang aku di kardus besar. Dia tidak sendirian, dia bersama mang Ujang yang membantunya memasukkan semuanya. Aku yakin mang Ujang tidak bersalah, dia hanya menuruti semua perintah Erina saja. Dia pasrah, sama sepertiku.
"Maksud lo apa? Tadi pagi lo kurung gue di toilet, membuat gue malu di depan banyak anak-anak di sekolah, terus sekarang lo mau bakar barang-barang gue?" Aku benar-benar tidak mengerti dengan pikiran Erina yang begitu dangkal. Ia sudah mendapatkan semuanya, memperlakukanku dengan keras begitu dahsyatnya, namun tetap saja ia belum puas?
"Apa lo masih waras? Otak lo kemana?" tanyaku.
"Maksud lo apa nanya otak gue? Ya di tempatnya lah!" Katanya dengan begitu lantang di depanku. "Emangnya lo? Masih mending orang tua gue mau adopsi lo, eh lo-nya yang gak tahu diri! Udah gitu mau sok-sokan rebut Adam dari gue? Lo pernah ngaca gak sih?!"
"Lo itu cupu, gak pantes dapetin Adam ataupun cowok ganteng lainnya!"
"Lo itu gak pantes sekolah, gak pantes punya teman, dan gak pantes hidup di dunia ini tahu gak?!"
"Yang pantas itu cuman gue!"
"Camkan itu baik-baik!"
Kubiarkan dia bermain dengan logikanya yang sudah mulai menggila. Memang sakit direndahkan seperti ini, tapi mau bagaimana lagi? Mau sebaik apapun aku di depan orang yang membenci aku, tetap saja aku menjadi buruk di matanya.
"Lo udah selesai ngomong, kan?" Tanyaku. "Kalau begitu lo keluar dari kamar gue. Gue mau istirahat karena seharian jadi babu di rumah ini dan tidak ada yang punya hati manusiawi sama sekali!"
Melengos tidak mau berhadapan dengan Erina lagi, mendekati mang Ujang yang terus memasukkan baju-bajuku yang dikeluarkan Erina dari lemari. Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari baju-baju itu, semuanya adalah bekas Erina semua. Tapi memang hati Erina lah yang sudah jadi batu, tidak menghargai apa yang aku punya. Selalu iri, walau semua yang kupunya adalah bekas miliknya.
"Mang, tolong balikin baju Abi. Lagipula semuanya udah jelek-jelek gini," aku mengeluarkan kembali baju-baju itu dari kotaknya, namun mang Ujang kembali memasukkannya ke kotak besar itu. "Neng, nanti kalau mang Ujang gak masukin ke kotak ini, mang Ujang gak dikasih gaji. Gaji bulan lalu aja gak dikasih, istri dan anak kelaparan di rumah," tutur mang Ujang yang menatapku dengan raut wajah memohon. Nadanya yang sedih dan bergetar.
Aku menganga mendengar tuturan mang Ujang. Kini, nasib mang Ujang, anak, dan istrinya ada di tanganku. Kalau aku tidak memberikannya, terpaksa anak dan istrinya kelaparan. Tapi kalau aku memberikannya, aku pakai apa untuk besoknya? Serba salah jika berurusan dengan ego Erina yang semakin menggila.
Menoleh ke arah Erina yang masih menyombongkan diri, melipat tangan di depan d**a dengan mata yang menyorot tajam, bahkan mang Ujang yang usianya lebih tua darinya pun takut menatapnya. Sungguh, Erina adalah jelmaan iblis yang sesungguhnya.
"Hati lo terbuat dari apa sih? Selama ini mang Ujang udah baik sama lo, sama mama dan papa, sana kita semua, tapi kenapa lo biarin mang Ujang kelaparan dan tidak menggaji dia? Keluarganya kelaparan. Lo masih beruntung bisa makan enak, tidak makan nasi kemarin, pakai baju yang bagus, semuanya dipastikan berkualitas baik, tapi kenapa lo tidak peduli dengan keluarganya?" Tanyaku pada Erina yang hanya menyeringai lebar, mendengus tak peduli. Dia malah tertawa.
"Kalau lo jahat sama gue, masih bisa gue pikirin. Gue masih bisa menerima, anggap saja sebagai balas budi gue sama lo dan mama-papa karena udah besarin gue di rumah ini. Tapi mang Ujang? Dia jaga rumah dari pagi sampai pagi, memastikan tidur malam lo aman dan nyaman, dan lo gak kasihan sedikitpun?!"
Sungguh aku sangat tidak mengerti dengan jalan pikiran Erina, mama, dan papa. Kalau papa, dia masih lebih baik dibanding Erina dan mama. Papa masih punya setidaknya sedikit rasa kemanusiaan kepadaku. Terkadang dia sengaja tidak menghabiskan lauknya untukku, karena papa tahu kalau mama tidak mengizinkan aku memakan lauk yang sebenarnya dibuat oleh tanganku sendiri. Aku hanya diberikan nasi dengan garam saja, tapi aku sudah sangat bersyukur dengan hal itu.
"Lo belum ngerasain rasanya jadi di bawah, Erina. Selama ini lo diberikan kesempatan untuk bersyukur sama Tuhan, tapi lo sia-sia in ini semua. Gue yakin, suatu saat nanti, lo pasti akan rasakan imbasnya, dan lo akan tahu bagaimana rasanya jadi gue ataupun mang Ujang," ujarku.
"Udah pidatonya? Atau mau lanjut sampai besok pagi? Sampai tahun depan?" Tanyanya.
"Tapi sayang, gak ada yang peduli. Gue gak peduli apapun tentang lo!" Ia malah tertawa tidak jelas. Ia benar-benar orang yang gila.
Astaga, keras sekali hatinya. Aku heran dengan makhluk hidup yang satu ini. Aku penasaran, di kemudian hari, hal terburuk apa yang akan dia rasakan karena sudah berani dzolim seperti ini.
"Mang, cepetan bawa semua baju-baju lusuh dan buku-buku cewek yang satu ini, tanpa terkecuali. Satu aja yang tersisa, gaji dipotong seratus ribu." Seenaknya Erina berkata demikian kemudian berlalu pergi begitu saja.
Aku benar-benar tidak tahu mau berkata apa lagi. Antara merelakan baju-baju itu, atau tega membuat mang Ujang beserta keluarganya kelaparan.
Aku harus bagaimana? Kalau semua baju-baju itu dibakar, aku pakai baju apa untuk ke sekolah, dipakai sehari-hari, dan semua buku-buku pelajaran itu juga untuk menunjang keperluan Erina. Tanpa buku-buku itu, aku tidak bisa mengerjakan semua tugas miliknya. Lalu kenapa Erina seakan tidak peduli sedikitpun? Astaga...
Aku bingung.
"Neng, bagaimana ini? Mang Ujang gak tega ambil semua baju neng, tapi keluarga mang Ujang juga kelaparan di rumah." Mang Ujang mengusap matanya, ternyata ia menangis.
Aku hampir mau ikut menangis, kenapa semuanya seberat ini? Dan kenapa aku malah dipertemukan dengan orang-orang yang tidak berperasaan seperti mereka.
Kuambil satu baju saja, dan satu buku wangsit yang memuat semua pelajaran. "Mang, aku ambil dua ini aja, aku sembunyiin di bawah bantal biar gak Erina gak tahu. Selebihnya mang Ujang bisa bawa," ujarku, mencoba menerima kenyataan ini. Kulebarkan senyumku pada mang Ujang, seakan-akan aku berkata kalau aku baik-baik saja dengan semua ini, padahal sesak sekali rasanya. Namun, melihat perjuangan mang Ujang untuk keluarganya, aku tidak bisa egois begitu saja.
"Gak apa-apa kan, neng?" Tanyanya.
"Iya, gak apa-apa, mang. Nanti Abi usahakan sembunyiin serapat-rapatnya dari Erina dan nyonya," kataku.
"Terima kasih banyak, neng," mang Ujang memelukku, dan saat itu juga air mataku keluar begitu saja. "Alhamdulillah, setelah ini anak dan istri mang bisa makan," katanya lagi, membuatku kesusahan menarik dan menghembuskan napas dengan baik.
Tolong, kenapa dunia bisa sekejam ini? Untuk kesekian kalinya ku mengakui kalau aku tidak sekuat itu. Tapi orang-orang di sekitarku lah yang membuatku menjadi kuat.
"Iya, terima kasih juga ya, mang. Terima kasih sudah jaga Abi," kataku.
Setidaknya mang Ujang lebih baik dibandingkan keluargaku sendiri. "Sehat-sehat ya, mang. Jangan sampai sakit," kataku dan menguraikan pelukan ini.
"Iya, neng. Neng juga harus kuat ya," ujarnya, menguatkan.
***
Pikiran Erina sudah sangat gila. Aku pikir dia hanya menggertak ku saja dengan mengancam akan membakar semua barang-barang yang dibawa mang Ujang. Akan tetapi ketika subuh, aku melihat tong bakar sampah yang masih menyala. Semuanya sudah dibakar habis-habisan olehnya, tidak tersisa sedikitpun.
Apakah itu artinya aku tidak bisa masuk sekolah lagi? Putus sekolah dan berdiam terus di rumah seperti pembantu? Astaga, kenapa bisa seperti ini akhirnya?
Kubongkar sisa pembakaran, kali saja ada yang masih bisa digunakan, namun sayang, semuanya sudah habis terbakar. Aku hanya bisa pasrah. "Kenapa Erina kejam banget sama aku. Aku tidak pernah merugikan dia, tidak pernah menolak permintaannya, dia selalu mendapatkan apa yang dia mau. Apakah mungkin hanya karena Adam mendekatiku, makanya dia jadi gila seperti ini?" Tanyaku, memikirkan kembali sekiranya apa yang membuat Erina sampai seperti ini.
"Tapi bukan mauku didekati cowok itu. Aku udah menghindarinya sebisa mungkin, tapi cowok itu lah yang terus menerus mendekatiku. Dia buat Erina dan banyak cewek-cewek lainnya membenci aku."
"Ah, sudahlah. Gak ada gunanya lagi aku seperti ini. Toh juga kalau aku sekolah, Erina akan terus siksa aku, dan setelah lulus sekolah takdirku pasti ditentukan sama keluarga ini. Belum tentu aku diberikan izin kuliah seperti Erina yang masa depannya sudah dipersiapkan matang-matang dari sekarang. Mau iri pun tidak bisa," aku pasrah dan masuk ke dalam rumah, mengerjakan tugas rumah lagi seperti biasa.
Kumulai dengan menanak nasi. Sembari menunggu, aku menyapu dan mengepel setiap sisi rumah sampai bersih dan tidak membiarkan ada satu debu pun yang berani menempel. Jika kedapatan masih kotor, nyonya besar akan marah. Coba saja dia yang melakukan pekerjaan rumah, maka dia akan tahu bagaimana lelah setiap pagi sampai paginya lagi.
"Abi, baju gue belum lo setrika ya?!"
Seruan itu berasal dari kamar tuan putri Erina. Segera kulepas pengepel dan berlari naik tangga menuju kamarnya. "Baju yang mana?" Tanyaku.
"Baju olahraga gue!" Jawabnya dengan nada yang tinggi, tidak pernah sekalipun menjawab dengan nada yang lembut. Dibalas dengan keras pun dia tidak akan suka.
"Maaf, kayaknya gue lupa bawa deh kemarin malam. Mana sini, gue setrika in dulu," pintaku, mengulurkan tangan.
Dia melemparnya begitu saja, tidak beritikad baik memberikannya dengan cara yang baik pula. Apakah harus dilempar seperti itu? Padahal itu adalah bajunya sendiri. Ah, sudahlah, aku tidak peduli, yang penting tugasku yuk menyetrika bajunya harus siap sebelum dia selesai mandi.
Kupastikan baju Erina digosok dengan rapi, tanpa ada yang kusut satu senti pun. Karena dia akan memakainya pagi ini, maka aku tak perlu melipatnya. Setelah ku pastikan rapi, membawanya ke kamar Erina dan ternyata dia sudah selesai mandi.
"Ini baju lo, udah gue setrika rapi," kataku.
"Lama banget sih lo!" Ketusnya.
Aku hanya diam, dilawan pun dia akan semakin merasa bahwa dirinya lah yang paling benar. Kemudian aku menaruh bajunya dengan sangat perlahan di ranjang pink miliknya. Kamar Erina memang sangat berbeda dengan kamarku. Kamarnya full pink, tema princess, sedangkan aku sangatlah biasa bahkan tidak ada corak sedikitpun.
Ya sudahlah, syukuri aja apa yang ada.
"Ngapain lo terus di kamar gue? Bau busuk lo yang kemarin masih ada. Gue gak mau kamar gue bau busuk hanya karena lo masuk ke kamar gue," katanya bahkan mendorongku keluar kamarnya.
Ah iya, aku tak pantas. Baik, aku terima.
Daripada memancing keributan pagi-pagi, aku lanjut mengepel lantai yang sebentar lagi rampung. Setelahnya, aku mulai memasak. Seperti biasa, makanan yang wajib ada di atas meja adalah nasi goreng. Karena itu lah kalau lagi biasanya aku tidak menanak nasi terlalu lembek. Selain nasi goreng, dipadukan dengan lauk lainnya.
Hampir jam 7 pagi baru semuanya selesai kulakukan, dan tugasku yang selanjutnya adalah membangunkan nyonya besar di kamarnya. Aku sudah membawakan secangkir kopi untuk papa. Biasanya sebelum mandi dia akan meminum kopi sembari sedikit bekerja di depan laptopnya.
Tok! Tok! Tok!
"Pa, ini Abi. Boleh masuk?" Tanyaku.
"Hmm..."
Terdengar deheman dari dalam, maka itu artinya aku bisa membuka pintu kamarnya. "Ini kopi pagi buat papa," kataku, menaruhnya di samping laptopnya.
"Hmm..." Jawab papa.
Melihat mama yang susah sekali dibangunkan pagi-pagi, menjadikan agenda ini menjadi hal yang wajib aku lakukan. Aku tidak berani langsung menggoyangkan badan mama, tapi dengan mulai membisikkannya. "Ma, bangun. Ini udah pagi. Aku udah buatkan sarapan juga," bisikku.
Dia pasti terusik, namun susah membuka matanya. "Jangan bangunin aku. Nanti pasti aku bangun. Dasar menganggu saja!" menepis tanganku dan kembali tidur.
Baiklah, aku rasa itu saja sudah cukup. Aku turun ke bawah lagi, mulai bekerja di luar, menyiram tanaman. Baru saja aku memegang keran, suara sebuah motor terdengar berhenti di depan rumah.
"Motor siapa itu?"
Aku mengintip, tidak berani memperlihatkan diriku. Dan ternyata setelah kulihat, dia adalah Adam yang terus memperhatikan ke rumah.
"Kenapa dia bisa tahu rumah Erina ya?"
Aku dibuat bingung jadinya. Kulihat mang Ujang ingin membukakan gerbang, namun aku memberikan kode untuk tidak membukakan gerbang itu untuknya. Sampai akhirnya terdengar lagi suara motornya meninggalkan rumah. Cukup lega.
"Huft... Semoga Erina gak tahu kalau Adam baru saja ke sini," kuhembuskan napas kelegaan dan lanjut menyiram tanaman.
***
Seminggu sudah aku gak bisa sekolah. Erina tidak membiarkanku masuk sekolah begitu saja. Mungkin sekarang dia bisa mendekati Adam dengan bebas tanpa harus merasa cemburu, padahal setelah dipikir-pikir saingan Erina tidak hanya aku, banyak cewek-cewek yang suka dan mau mendekati Adam. Sayangnya aku terlalu malas berurusan dengan cowok itu
"Abila!"
Sontak aku menengok, dan tebak siapa yang memanggilku?
ADAM.
Aku langsung melepas sapu lidi itu, berlari masuk ke dalam rumah. Melihat Erina yang baru saja turun tangga, aku langsung memberitahunya.
"Adam di luar!" Seruku.
Terlihat Erina begitu bersemangat keluar rumah. Aku tidak mau ikut keluar rumah, memilih mendengarkan mereka dari balik pintu dapur. Aku pikir Adam mau bertemu dengan Erina, mengajak jalan atau semacamnya, tapi aku malah mendengar mereka bertengkar.
"Kalau sampai besok Abila tidak masuk sekolah, siap-siap aja lo dan keluarga lo masuk penjara. Gue punya bukti rekaman CCTV saat lo bully Abila!"